Mantan jenderal Polri tampaknya semakin memiliki signifikansi di blantika politik tanah air setelah sejumlah dinamika belakangan ini. Mulai dari semakin banyaknya eks jenderal yang direkrut maupun bergabung dengan partai politik, hingga manuver sowan capres Prabowo Subianto ke Persatuan Purnawirawan (PP) Polri yang dianggap sebagai bagian konsolidasi elektoral. Lantas, mengapa eks Jenderal Polri memiliki kesan semakin signifikan di kancah politik Indonesia?
Tampak perlahan mulai menyaingi para mantan jenderal TNI, para purnawirawan Polri kini seakan semakin memiliki relevansi dalam konstelasi politik tanah air. Utamanya, yang terlihat dalam sejumlah dinamika politik terkini jelang Pemilu 2024.
Terbaru, Ketua Umum Partai Gerindra yang juga calon presiden (capres) Prabowo Subianto mendatangi Kantor Persatuan Purnawirawan (PP) Polri di Jalan Dharmawangsa, Jakarta Selatan pada hari Senin 15 Mei 2023.
Prabowo sendiri sebenarnya menyiratkan ketegasan bahwa tak ada pembicaraan atau keterkaitan silaturahminya itu dengan politik.
“Enggak ada politik ya, enggak ada politik, kalau nanya politik, enggak mau jawab, kalau enggak politik, mau dijawab,” begitu kata Prabowo kepada awak media yang menanyakan seputar perpolitikan.
Kendati demikian, interpretasi keterkaitan dengan diskursus politik tetap tak bisa dipisahkan setelah beberapa manuver Prabowo sebelumnya.
Ya, silaturahmi Prabowo ke PP Polri tampak dilakukan beriringan dengan beberapa variabel politik terkait pencapresannya, seperti serangkaian manuver sebelumnya yang menyambangi para purnawirawan TNI.
Selain manuver Prabowo, mantan purnawirawan Polri, terutama para jenderalnya, juga terlihat kian signifikan setelah banyak dari mereka yang direkrut maupun bergabung dengan partai politik (parpol) jelang 2024.
Satu variabel menarik juga muncul saat mantan Dankor Brimob Polri yang kini menjabat Gubernur Maluku Murad Ismail yang dipecat PDIP karena konflik internalnya, langsung ditawari PAN untuk bergabung.
Meski bukan hal baru karena terdapat beberapa eks jenderal Polri yang bergabung parpol hingga berlaga di pemilu-pemilu sebelumnya, tren meningkatnya eksistensi eks jenderal Polri dalam politik belakangan ini kiranya menjadi sebuah fenomena tersendiri.
Secara kasat mata, faktor kontribusi elektoral tentu menjadi pertimbangan utama di balik relasi entitas politik dengan para mantan jenderal Polri.
Akan tetapi, ihwal yang membuat eks jenderal Polri semakin memiliki daya tawar untuk berkontribusi secara politik elektoral kiranya patut menjadi pertanyaan tersendiri yang layak untuk diajukan di meja analisis. Mengapa demikian?
Pilihan Pragmatis atau Idealis?
Sebelum lebih dalam melakukan interpretasi pertanyaan di atas, mari memetakan sebagian nama-nama eks jenderal Polri yang memulai kiprahnya di perpolitikan Indonesia jelang 2024.
Dari segmen parpol berhaluan Islam, selain mantan Kapolda Gorontalo Irjen Pol. (Purn.) Purn M Adnas yang telah bergabung ke PPP, terdapat nama mantan Kepala BNPT Komjen Pol. (Purn.) Boy Rafli Amar yang mengaku mendapat tawaran bergabung ke partai berlambang Kakbah.
Selain itu, ada nama Komjen Pol. (Purn.) Susno Duadji, mantan Kabareskrim Polri yang baru bergabung dan akan menjadi calon anggota legislatif dari PKB. Sementara PKS pun turut diperkuat dua eks jenderal Polri, yakni Irjen Pol. (Purn.) Muhammad Amhar Azeth dan Brigjen Pol. (Purn.) Susanto Hasny.
Dari sudut parpol berhaluan nasionalis, ada nama mantan Kapolda Sumatera Barat dan Kalimantan Tengah Irjen Pol. (Purn.) Fakhrizal yang merapat ke PDIP, mantan Kabareskrim Polri Komjen Pol. (Purn.) Anang Iskandar yang bergabung dengan Perindo, serta eks Gubernur Akademi Kepolisian (Akpol) Irjen Pol. (Purn.) Achmat Juri yang bergabung dengan Partai Demokrat)
Satu nama lain adalah Mantan Kadiv Propam Polri Irjen Pol. (Purn.) Mochamad Iriawan atau Iwan Bule ke Partai Gerindra.
Menariknya, Iwan Bule langsung mendapat tempat istimewa sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra menggantikan Sandiaga Uno yang mengundurkan diri. Bahkan, Iwan Bule belakangan selalu berada di samping Prabowo saat melakukan manuver politik.
Mengacu pada penelusuran PinterPolitik, Partai Golkar menjadi yang terbanyak diperkuat eks jenderal Polri jelang kontestasi elektoral 2024. Terdapat nama mantan Kapolda Bali dan Dirjen Imigrasi Irjen Pol. (Purn.) Dr. Ronny Sompie, mantan pimpinan di salah satu direktorat BIN Irjen Pol. (Purn.) Yuskam Nur, mantan Kapolda Bengkulu Irjen Pol. (Purn.) Yovianes Mahar, serta mantan Kapolda Kalimantan Selatan Irjen Pol. (Purn.) Rikwanto.
Dalam acara peresmian keanggotaan para eks jenderal Polri di partainya, Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Golkar Bambang Soesatyo a.k.a. Bamsoet menyebut para purnawirawan itu efektif untuk mendulang suara.
Menurutnya, wajar jika banyak parpol merekrut purnawirawan, termasuk dari Polri, utamanya sebagai bakal caleg karena memiliki pengalaman dan jam terbang.
Sementara itu, dari sudut pandang para eks jenderal Polri, terdapat tiga kemungkinan yang tampaknya menjadi alasan eskalasi keterlibatan mereka secara aktif dalam politik praktis.
Pertama, melanjutkan pengabdian kepada negara melalui politik kiranya menjadi landasan idealis probabilitas eks jenderal Polri dalam ekosistem demokrasi.
Ihwal yang tak jauh berbeda kiranya dengan alasan serupa dari kalangan militer atau TNI sebagai bagian dari konsolidasi demokrasi.
Juan Linz dan Alfred Stepan dalam publikasi berjudul Problems of Democratic Transition and Consolidation mengatakan konsolidasi demokrasi berarti bahwa demokrasi bukan hanya telah tegak sebagai sebuah sistem politik, tetapi juga telah membudaya di semua lini kehidupan berbangsa dan bernegara.
Esensi yang dikemukakan Linz dan Stepan tentang konsolidasi demokrasi kemudian menjadi pisau bedah Akademisi Universitas Indonesia (UI) Arie Setiabudi Soesilo untuk melihat peran politik purnawirawan TNI – juga kesamaannya dengan Polri dalam artikel ini – di era konsolidasi demokrasi di Indonesia.
Dalam disertasinya yang berjudul Jaringan Purnawirawan TNI dalam Politik, Arie menyebut purnawirawan TNI tetap memiliki karakter seperti nasionalisme, kebangsaan, dan kedisiplinan yang diharapkan dapat memberikan karakteristik baru dalam pola relasi sipil dan militer di dunia politik.
Sekali lagi, pisau bedah itu kini tampaknya juga relevan untuk melihat eksistensi mulai maraknya eks jenderal Polri dalam perpolitikan tanah air.
Selain itu, Jacqui Baker dalam Professionalism Without Reform: The Security Sector under Yudhoyono mengatakan sebagai akibat langsung dari demokratisasi yang menghilangkan dwifungsi militer, Polri menjadi “pemain baru” di panggung politik Indonesia.
Berbeda dengan militer yang terkesan menentang proses demokratisasi dan pergantian rezim, Polri dikatakan memainkan peran penting dalam masa konsolidasi demokrasi.
Kedua, yakni kemungkinan alasan pragmatis. Justifikasi ini kiranya tak bisa begitu saja disingkirkan dari meja analisis saat proyeksi keuntungan eksis ketika seorang kandidat sukses di dunia politik. Mulai dari advantage sosial (eksistensi dan reputasi), ekonomi-politik (jabatan politik menawarkan “perpanjangan” berbagai fasilitas penunjang bagi pejabat setelah tak lagi berkarier di Polri), hingga peluang memperkuat jaringan institusionalnya.
Lalu, alasan terakhir kiranya terkait dengan prinsip politik dan treatment Presiden Joko Widodo (Jokowi) terhadap Polri di masa kepemimpinannya. Apakah itu?
Karpet Merah Polri?
Selain menjadikan mantan Kapolri Jenderal (Purn.) Budi Gunawan (BG) sebagai Kepala BIN dan instrumen politik dan pemerintahannya selama ini.
Setelahnya dua jenderal Trunojoyo juga diangkat menjadi menteri, yakni Komjen Pol. (Purn.) Syafruddin sebagai Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN RB) pada tahun 2018 dan Jenderal (Purn.) Tito Karnavian sebagai Menteri Dalam Negeri pada Kabinet Indonesia Maju di 2019.
Selain berani menghadirkan eks jenderal Polri di kabinet sejak terakhir kali Jenderal Pol. (Purn.) Awaloedin Djamin yang dilantik sebagai Menaker di Kabinet Ampera tahun 1966, Presiden Jokowi bahkan menjadikan Tito sebagai Mendagri dari unsur kepolisian pertama sepanjang sejarah.
Interpretasi pemberian karpet merah bagi para eks jenderal Polri yang dianggap dapat mendukung kekuasaannya lantas tak bisa dipungkiri hadir sebagai impresi politik yang mengemuka. Termasuk bagi peluang lain bagi karier politik mereka secara umum.
Sugit Sanjaya Arjon dalam jurnal yang berjudul The Contribution of the Police in the Age of Democratic Decline in Indonesia menyebut, selain tugas utama Polri dalam keamanan dan penegakan hukum, peran kepolisian dalam politik dan ekonomi Indonesia semakin meningkat sejak tahun 2014 ketika Presiden Joko Widodo (selanjutnya disebut Jokowi) dilantik sebagai presiden Indonesia yang baru.
Memang, eks jenderal TNI juga turut dirangkul dan menjadi instrumen penunjang kekuasaan Presiden Jokowi. Namun, tak berlebihan kiranya untuk mengatakan Polri diberikan karpet merah oleh sang mantan Wali Kota Solo itu strategi politik dan pemerintahannya.
Tak hanya menjadi anggota parpol dan maju sebagai calon legislatif di 2024, sejak 2015 hingga 2020 terdapat tren kenaikan jumlah purnawirawan Polri yang maju sebagai kandidat kepala daerah.
Tercatat di Pilkada 2015 ada lima kandidat berlatar belakang Polri, delapan kandidat di Pilkada 2018, serta 11 calon di Pilkada 2020.
Menarik kiranya untuk menantikan dampak positif tentunya, dari para eks jenderal Polri dalam blantika politik dan pemerintahan ke depan. (J61)