HomeNalar PolitikPolitik Di Balik Kemesraan PPP-Anies

Politik Di Balik Kemesraan PPP-Anies

Dari Jakarta hingga ke Jogja, rangkaian kunjungan Anies Baswedan dalam acara-acara yang diagendakan oleh PPP dihadiri semuanya. Begitu akrab Anies dan PPP, sehingga banyak yang berspekulasi keakraban ini memang ada kepentingan di baliknya. Lantas, seperti apa politik di balik kemesraan antara Anies dan PPP?


PinterPolitik.com

Februari identik dengan bulan kasih sayang atau romantisme, tentunya karena ada hari valentine di bulan itu. Tidak terkecuali di politik, di awal Februari ini muncul cerita romantis yang menghiasi pemberitaan politik di Indonesia.

Pemberitaan romantis yang dimaksud adalah hubungan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) terlihat makin mesra dan harmonis belakangan ini. Dalam beberapa kegiatan yang seolah maraton dilaksanakan, terlihat begitu erat hubungan keduanya.

Permulaannya di Jakarta, DPW PPP DKI Jakarta menobatkan Anies sebagai tokoh persatuan dan pembangunan. PPP Jakarta menilai Anies berhasil membangun Jakarta menjadi lebih baik, penobatan ini dilakukan pada peringatan Hari Lahir (Harlah) ke-49 PPP.

Najmi Mumtaza Rabbany, Sekretaris DPW PPP Jakarta, mengatakan, penobatan dan penghargaan ini diberikan kepada Anies karena dinilai mampu membangun Jakarta selama kepemimpinannya sebagai Gubernur DKI.

Selain di Jakarta, Anies juga menghadiri acara Harlah dan Muskerwil DPW PPP DIY di Hotel Grand Rohan di Yogyakarta. Pada acara tersebut, Anies mengungkapkan cerita semasa kecil pernah mengikuti kampanye PPP.

Menurut cerita Anies, pada Pemilu 1982 sewaktu masih SMP, dia pernah ikut hadir kampanye PPP di Jogja dengan memakai bandana PPP, begitu juga dalam Pemilu 1987. Hal ini memperlihatkan bahwa PPP telah hadir dalam kenangan masa kecil Anies Baswedan.

Ketua DPP PPP Illiza Sa’aduddin Djamal, mengatakan, apa yang diungkapkan Anies itu untuk menggambarkan hubungan emosionalnya yang dekat dengan PPP. Sejak April tahun lalu, Anies berkali-kali memenuhi undangan PPP di berbagai kota dan beragam jenis acara.

Acara PPP yang dihadiri Anies di antaranya peluncuran Gerakan Terima Kasih Ibu, Munas Alim Ulama PPP, dan Istighosah di DPW PPP DKI Jakarta. Disebutkan, PPP merasa dekat dengan Anies sebagai salah satu kepala daerah sekaligus tokoh yang dihormati oleh para pemilih PPP dan umat Islam secara umum.

Sebaliknya, Anies juga rupanya memandang PPP bukan sebagai partai yang asing. Seolah keduanya telah mempunyai ikatan yang kuat sejak lama. Lantas, seperti apa sepak terjang politik  PPP dalam gelagatnya mendekati Anies?

Baca juga: Pasukan Siber, Senjata Pamungkas PPP?

Partai Flamboyan yang Meredup

PPP bisa dikatakan sebagai salah satu partai senior di Indonesia, lahir pada 5 Januari 1973. Sebagaimana Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), ketiganya adalah produk rekayasa politik rezim Orde Baru.

Baca juga :  Segitiga Besi Megawati

Sejak tampil di pentas politik nasional menggantikan rezim Orde Lama Soekarno, Orde Baru telah mencanangkan penyederhanaan partai politik. Gagasan Soeharto ialah ingin menggabungkan kelompok spiritual atau religius yang terpisah-pisah di parlemen menjadi satu.

Kelompok ini terdiri dari anggota DPR dari Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Islam Perti. Kelompok inilah yang pada 5 Januari 1973 bersepakat memfusikan seluruh kegiatan politiknya ke dalam PPP.

Fraksi PPP di parlemen di bawah komando Rais ‘Aam Majelis Syuro yang juga Rais ‘Aam Syuriah PBNU, KH Bisri Syansuri (Mbah Bisri) lantang menyuarakan penolakan terhadap RUU-P (Perkawinan) yang sekularistik. Peristiwa itu dicatat sebagai peristiwa umat Islam Indonesia mempertaruhkan “Aqidah” mereka dalam ranah politik di era Orde Baru.

Momen itulah yang membuat PPP membentang di hati umat, dan mulai terlihat hasilnya pada Pemilu 1977. Hampir semua komponen umat secara terbuka menyatakan dukungan kepada PPP. Para kiai di seluruh penjuru Tanah Air mengeluarkan fatwa wajib mencoblos PPP yang bertanda gambar Ka’bah.

Tokoh utama Partai Masyumi, Mohammad Natsir, dalam wawancara yang dikutip luas oleh media massa, menegaskan sikapnya akan menggunakan hak pilihnya dengan memilih tanda gambar Ka’bah. Ini merupakan momen penting karena ketokohan Natsir sendiri.

Tokoh Muhammadiyah, Mr Kasman Singodimedjo, malah bergerak lebih jauh. Tokoh yang bukan pengurus dan bukan calon anggota legislatif (caleg) ini  aktif menjadi juru kampanye PPP. Kasman berkampanye sampai wilayah yang jauh dari ibu kota Jakarta, seperti di sebuah pulau di Maluku.

Nurcholish Madjid yang dikenal sebagai tokoh pembaruan pemikiran Islam, dengan dalih memompa ban kempes, menyerukan seluruh warga bangsa untuk memilih PPP dan mencoblos tanda gambar Ka’bah.

Ali Pasha dalam tulisannya Membaca Halaman Terakhir Buku PPP, mencoba menjelaskan bagaimana PPP yang pernah besar justru mulai meredup belakangan ini. Meredupnya bahkan di era Reformasi, di mana kebebasan politik sudah terbuka luas.

Pasha mengandaikan PPP merupakan hasil fusi partai Islam, maka tradisi PPP adalah tradisi kebersamaan, kolektif-kolegial. Kepemimpinan PPP di seluruh tingkatan senantiasa mencerminkan semangat fusi. Begitulah riwayat PPP pada mulanya.

Nah, disebutkan tradisi kebersamaan mulai meredup sejak Muktamar Ancol 2007. Untuk mengakomodir semua unsur fusi dalam semangat kebersamaan, PPP yang dari muktamar ke muktamar selalu memilih pemimpinnya dengan sistem formatur.

Tapi pada Muktamar Ancol, sistem formatur diganti dengan sistem pemilihan langsung. Dan karena pemenang mengambil dan menentukan semuanya, Hamzah Haz yang merupakan mantan Wakil Presiden RI dan mantan Ketua Umum PPP, tidak diakomodir dalam kepengurusan.

Baca juga :  Prabowo and The Nation of Conglomerates

Ketika dipimpin hanya oleh satu unsur inilah PPP terpecah menjadi dua, perpecahan akut yang sampai sekarang masih belum terselesaikan. Akibat pemenang menguasai semua, muncul egoisme, muncul keengganan untuk menjalin silaturahmi dengan para pemimpin informal pendukung PPP.

Saat ini, PPP butuh sosok yang bisa menyatukan keakraban yang telah lama pernah terjalin pada partai Islam ini. Beberapa pihak menilai sosok Anies sekiranya mampu melakukan itu. Dengan momen pilpres mendatang kemungkinan itu akan terwujud. Lantas, benarkah spekulasi bahwa sosok kolaboratif yang mampu menyatukan PPP yang dimaksud tersebut adalah Anies?

Baca juga: Sandiaga Uno: ‘Penyelamat’ PPP?

Lebih Dari Kolaborator

Menurut pengamatan berbagai pihak, Anies memiliki keunggulan linguistik, yang mana dalam setiap uraiannya ketika menjelaskan sesuatu terlihat pemilihan diksi yang menarik. Ini keunggulan seorang pendidik yang terjun dalam politik.

PPP memang membutuhkan sosok yang dapat meningkatkan elektabilitasnya. Hal itu diperlukan karena hingga sekarang elektabilitasnya relatif rendah. Bahkan dari beberapa hasil survei, PPP diperkirakan tidak akan masuk Senayan bila elektabilitasnya terus di bawah 4 persen.

Untuk mendongkrak elektabilitas PPP, Anies termasuk sosok yang tepat. Sebab, pendukung Anies juga menjadi target sasaran PPP. Jika PPP dekat dengan Anies apalagi mengusungnya menjadi capres, maka diharapkan sebagian pendukung Anies akan beralih ke partai Ka’bah.

Djayadi Hanan dalam tulisannya Efek Ekor Jas, mengatakan efek ekor jas umumnya didasarkan karena terdapat hubungan yang positif antara kekuatan elektoral seorang calon presiden dan partai yang mengusungnya. Artinya, seorang calon presiden atau presiden yang populer dengan tingkat elektabilitas yang tinggi akan memberikan keuntungan positif secara elektoral kepada partai yang mengusungnya sebagai calon.

Tanpa dukungan partai, tentu elektabilitas Anies yang tinggi tidak berarti apa-apa. Oleh karenanya, Anies tentu akan berusaha untuk dekat dengan sebanyak mungkin partai agar pencapresannya terwujud.

PPP kiranya membuka pintu untuk itu karena akan menguntungkan partainya. Jadi, kedekatan Anies dan PPP tampaknya didasari dari saling membutuhkan. Kepentingan itulah yang kemudian membuat hubungan Anies dan PPP terkesan dekat dan harmonis, dan itu normal dalam relasi politik.

Hendri Satrio, pendiri KedaiKOPI, mengatakan peristiwa ini merupakan simbiosis mutualisme. Jadi PPP perlu tokoh untuk mengangkat elektabilitasnya, sementara Anies butuh partai pendukung. Selama ini tokoh yang banyak disorot seperti Suharso Monoarfa juga tidak terlalu bisa mengangkat elektabilitas PPP.

PPP menjadi salah satu opsi Anies, begitu pula sebaliknya. Lebih dari hanya sosok kolaborator, kepentingan Anies sendiri juga perlu membangun hubungan baik dengan partai politik, salah satunya PPP, sehingga nanti dia mampu mengamankan tiket menuju Pilpres 2024 mendatang. (I76)

Baca juga: Rangkulan Maut PPP


spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Ganjar Punya Pasukan Spartan?

“Kenapa nama Spartan? Kita pakai karena kata Spartan lebih bertenaga daripada relawan, tak kenal henti pada loyalitas pada kesetiaan, yakin penuh percaya diri,” –...

Eks-Gerindra Pakai Siasat Mourinho?

“Nah, apa jadinya kalau Gerindra masuk sebagai penentu kebijakan. Sedang jiwa saya yang bagian dari masyarakat selalu bersuara apa yang jadi masalah di masyarakat,”...

PDIP Setengah Hati Maafkan PSI?

“Sudah pasti diterima karena kita sebagai sesama anak bangsa tentu latihan pertama, berterima kasih, latihan kedua, meminta maaf. Kalau itu dilaksanakan, ya pasti oke,”...