Site icon PinterPolitik.com

Politics of Hope Vaksin Jokowi

Politics of Hope Vaksin Jokowi

Presiden Joko Widodo (Foto: Media Indonesia)

Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali menyatakan optimisme vaksinasi Covid-19 akan dimulai akhir tahun. Kendati begitu hingga kini belum ada satupun kandidat vaksin yang dinyatakan lolos semua tahapan uji klinis. Lalu mengapa Presiden Jokowi kembali menghembuskan ‘angin surga’ vaksin untuk kesekian kalinya?


PinterPolitik.com

“Hope is the only thing stronger than fear. A little hope is effective. A lot of hope is dangerous. A spark is just fine as long as it’s contained.” – Robert Ludlum

Undang-undang kontroversial, gejolak politik, sidang kasus korupsi, hingga persoalan pandemi Covid-19 adalah sejumlah topik pemberitaan yang mejeng di kolom headline semua media massa nasional terkemuka siang ini. Jika diperhatikan, semua topik-topik tersebut bukanlah kabar yang enak untuk didengar.

Fenomena mendominasinya berita-berita yang dapat memicu reaksi negatif dalam dunia jurnalistik dikenal dengan prinsip ‘Bad news is a good news’. Getirnya, hal ini terjadi karena berita negatif memang mengundang lebih banyak pembaca ketimbang berita-berita positif.

Pakar psikologi dari Universitas Sheffield, Tom Stafford menyebut berita-berita buruk secara tak sadar merangsang naluri antisipasi manusia utuk bertindak, atau mengubah arah hidup dengan cara tertentu. Hal itulah yang menyebabkan informasi-informasi negatif lebih menarik perhatian pembaca.

Apalagi di situasi pandemi seperti saat ini. Sebagian besar masyarakat mungkin saja sudah jengah dengan pemberitaan penambahan kasus positif Covid-19 yang belum juga menunjukkan tanda-tanda melandai.

Namun di tengah serbuan kabar-kabar buruk seputar pandemi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) beberapa waktu lalu kembali memberikan ‘angin surga’ mengenai perkembangan vaksin Covid-19.

Kepala negara telah memerintahkan jajarannya untuk segera menyusun regulasi pengadaan dan pendistribusian vaksin yang ditargetkan sudah dimulai akhir tahun ini atau awal tahun depan.

Presiden Jokowi bahkan menyebut setelah proses vaksinasi dilakukan, masyarakat dapat hidup normal seperti sediakala sebelum pagebluk melanda dunia.

Kendati demikian, kabar baik tersebut nyatanya malah mengundang sentimen minor dari ahli kesehatan. Epidemiolog Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono menilai pesimis bahwa target Presiden Jokowi itu bakal tercapai lantaran hingga kini, belum ada satupun kandidat vaksin yang disepakati secara global akan digunakan untuk mengakhiri pandemi.

Jika memang perkataan Pandu itu benar adanya, lantas pertanyaannya mengapa Presiden Jokowi sudah menggembar-gemborkan rencana vaksinasi padahal vaksin itu sendiri belum tampak wujudnya?

Publik ‘Haus’ Kabar Baik?

Kendati semua berita-berita buruk yang berseliweran di media memang nyata adanya, akan tetapi, tak dapat dipungkiri, kabar-kabar tersebut sedikit banyak bisa membuat sebagian orang merasa cemas dan ketakutan. Hal itu bisa saja berdampak negatif bagi psikologi masyarakat.

dr Tirta Mandira Hudhi misalnya, menilai bahwa saat ini masyarakat sedang mengalami stres akibat pandemi. Kondisi psikologis tersebut kemudian membuat mereka lebih memilih percaya pada teori konspirasi yang menafikkan ancaman nyata Covid-19.

Dalam dunia psikologi, fenomena yang dipaparkan dr Tirta tersebut dikenal dengan istilah coping mechanism. Yakni sebuah strategi mengendalikan stres agar tidak menjadi suatu hal yang destruktif. Daripada masyarakat stres karena Covid-19, mereka memilih mengurangi tingkat stres dengan percaya bahwa Covid-19 hanyalah konspirasi, bahkan menyebut virus ini sebenarnya tidak ada.

Dengan kata lain, bisa dipandang bahwa percaya pada teori konspirasi merupakan pelarian masyarakat dari banyaknya kabar-kabar tak mengenakan seputar pandemi.

Thomas Urbain dalam tulisannya untuk AFP menyebut di tengah-tengah pandemi, masyarakat justru haus akan berita-berita baik. Dia mencatat bahwa situs-situs media yang berkonsentrasi pada berita-berita baik mengalami lonjakan pengunjung selama pandemi. Selain itu, penelusuran Google untuk kata kunci ‘kabar baik’ juga melonjak lima kali lipat sejak awal 2020.

Mengutip pernyataan seorang pakar komunikasi dari Center for Media Engagement, Universitas Kansas, Ashley Muddiman, Thomas mengatakan bahwa ketika orang terlalu takut, atau terlalu banyak bersinggungan dengan hal-hal negatif, mereka akan cenderung menutup diri ketimbang mencoba melakukan sesuatu.

Meski begitu, Ia tak menyangkal bahwa masyarakat memang secara tak sadar tertarik dengan informasi-informasi negatif sebagaimana diungkapkan Stafford. Tetapi di kala krisis seperti pandemi, orang-orang juga menginginkan informasi yang sesuai dengan ekspektasi mereka. Yakni pemberitaan mengenai orang-orang yang tengah berusaha menyelesaikan masalah. Oleh karenanya, dia menilai berita positif dapat membantu masyarakat dalam melewati masa-masa krisis.

Untuk melengkapi pendapat tersebut, Shelly L. Gable dan Harry T. Reis dalam tulisan mereka yang berjudul Good News! Capitalizing on Positive Events in an Interpersonal Context mengatakan bahwa kabar baik dapat dikapitalisasi agar bermanfaat baik dalam konteks personal maupun hubungan sosial.

Dalam konteks hubungan sosial, berbagi kabar baik berkolerasi dengan peningkatan kepuasan, keintiman, komitmen, kepercayaan, kesukaan, kedekatan, dan stabilitas.

Selain itu, Gable dan Reis dalam risetnya tersebut juga menemukan korelasi antara manfaat berbagi kabar baik dengan manajemen stres. Menurut mereka, kapitalisasi kabar baik memiliki keuntungan yang sama dengan mendapatkan bantuan, dukungan, atau kenyamanan  dari orang lain untuk meredakan kesulitan. 

Jika berangkat dari pandangan-pandangan ini, maka dapat dikatakan Presiden Jokowi agaknya menyadari bahwa kondisi pandemi yang kian memburuk dapat berdampak pada psikologis masyarakat. Hal itu bisa saja membuat mereka stres hingga akhirnya mencari pelarian yang dapat membahayakan diri mereka sendiri ataupun kontraproduktif terhadap penanganan pandemi, seperti mempercayai teori konspirasi. 

Untuk mengatasi permasalahan itu, mantan Wali Kota Solo tersebut lantas gencar menggembar-gemborkan kabar mengenai vaksin untuk menghilangkan ‘dahaga’ masyarakat akan kabar baik demi meredakan stres yang mungkin mereka alami. Selain itu, berbagi kabar baik nyatanya juga berkolerasi positif terhadap kepuasan dan juga kepercayaan.

Langkah itu menjadi sangat masuk akal diambil oleh Presiden Jokowi mengingat saat ini, pemerintah memang tengah banyak mendapatkan sorotan sinis terutama terkait penanganan pandemi Covid-19.

Namun, meski berbagi kabar baik mengenai vaksin dapat membantu masyarakat melewati masa sulit pandemi bukankah langkah ini sama saja dengan memberikan harapan kosong kepada masyarakat jika vaksin nantinya tidak siap pada awal tahun?

Politics of Hope

Sebagian penggemar sinema agaknya tak asing dengan film kolosal The Hunger Games yang sempat booming sekitar tahun 2012. Dalam sebuah adegan di film tersebut, tokoh antagonis utama, yakni Presiden Coriolanus Snow pernah mengatakan kepada bawahannya, Seneca Crane bahwa harapan adalah satu-satunya hal yang lebih kuat dari ketakukan.

Kebijaksanaan Presiden Snow inilah yang agaknya mengilhami Presiden Jokowi dalam konteks penanganganan pandemi. Sang presiden agaknya sadar betul bahwa harapan, apapun bentuknya, dapat berkontribusi positif terhadap penanganan pandemi.

Politik nyatanya juga mengenal narasi mengenai harapan yang disebut dengan politics of hope atau politik harapan. Konsep ini dikemukakan oleh ilmuwan politik asal Inggris, Jonathan Sacks.

Dalam bukunya yang berjudul Politics of Hope, Sacks menawarkan konsepnya tersebut di tengah maraknya politik berbasis narasi ketakutan, pesimisme, dan kemarahan. Dia mendefinisikan politik harapan sebagai sebuah gagasan yang memperjuangkan terwujudnya negara kesejahteraan. Kesejahteraan yang dimakud Sacks meliputi bidang ekonomi, kebebasan, demokrasi, penegakan hukum, serta jaminan atas hak asasi manusia.

Sacks menegaskan bahwa politik harapan menolak narasi politik yang dikembangkan dengan menebar pesimisme, ketakutan, bahkan kemarahan. Namun, politik harapan juga tidak menoleransi narasi politik yang dibangun atas dasar utopisme atau janji-janji melangit yang membuai, namun sukar direalisasi. Dalam logika politik harapan, narasi politik harus dibangun di atas pondasi visi yang jelas, terukur dan bisa dieksekusi.

Jika mengacu pada definisi yang dikemukakan Sacks, tentu terlalu dini untuk menyebutkan bahwa narasi vaksinasi yang digaungkan oleh Presiden Jokowi merupakan politik harapan atau tidak. Pasalnya, kita harus melihat terlebih dahulu di bulan November atau Desember, bagaimana progres pembuatan vaksin tersebut.

Saat ini pemerintah tengah berupaya untuk menghadirkan vaksin secepat mungkin. Hal ini juga dilakukan dengan cara-cara terukur seperti melakukan diplomasi dengan negara pembuat vaksin sejak jauh-jauh hari, hingga mengupayakan Indonesia bisa membuat vaksin di dalam negerinya sendiri.

Di luar perdebatan ini merupakan politik harapan atau tidak, membiarkan masyarakat percaya bahwa vaksin akan segera ditemukan tentu menjadi prospek yang lebih baik ketimbang membiarkan mereka mencari pelarian dengan mempercayai teori konspirasi yang menafikkan bahaya Covid-19. Namun perlu dicatat, harapan akan vaksin tetaplah tak boleh membuat masyarakat terbuai hingga melupakan protokol kesehatan.

Pada akhirnya, kapan vaksin Covid-19 akan tersedia bagi publik hanyalah waktu yang sanggup menjawabnya. Mari berharap semoga para ilmuwan yang saat ini tengah berusaha mencari penawar Covid-19 dapat segera memberikan kabar baik untuk kita semua. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F63)


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut. vgftrrr 7

Exit mobile version