Pemberian skor atau penilaian terhadap kinerja Menhan Prabowo Subianto yang dilakukan oleh Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo merupakan langkah politik yang taktis. Pasalnya besar kecil angka bisa mempengaruhi arah persepsi publik yang memaknai angka tersebut. Publik akan melihat pencapaian Prabowo cenderung buruk dan secara tidak langsung ikut terbangun narasi politik Anies dan Ganjar itu.
“The ballot is stronger than the bullet”.
– Abraham Lincoln
Debat capres yang diadakan pada 7 Januari 2024 lalu telah menarik perhatian publik. Utamanya terkait pertanyaan yang diajukan oleh Anies Baswedan kepada Ganjar Pranowo mengenai penilaian kinerja Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto. Ini menarik karena seolah dua kandidat itu memberikan catatan merah mereka kepada Prabowo yang saat ini masih menjabat.
Dalam debat yang bertema pertahanan, keamanan, geopolitik, hubungan internasional, dan politik luar negeri ini, Ganjar memberikan skor 5 dari 10 untuk kinerja Prabowo, sementara Anies memberikan skor yang jauh lebih rendah, yaitu 11 dari 100.
Ganjar, yang memberikan skor 5, menjelaskan bahwa keajegan dalam sistem pertahanan Indonesia sangat penting dan bahwa proses perencanaan harus konsisten dan melibatkan masukan dari semua matra pertahanan. Pendekatan bottom-up yang dia sebutkan menunjukkan pentingnya mendengarkan masukan dari berbagai pihak yang terlibat langsung dalam sistem pertahanan.
Ia lantas bercerita soal curhatan sosok militer yang ia temui yang menceritakan bagaimana tidak efektifnya sistem perencanaan pemenuhan kebutuhan militer Indonesia, mulai dari soal pembelian alutsista dan lain sebagainya. Narasi yang ia bangun memang menempatkan Prabowo sebagai Menhan dengan kinerja yang tidak beres.
Di sisi lain, Anies Baswedan menyoroti bahwa kebijakan di Kementerian Pertahanan di bawah kepemimpinan Prabowo terbilang parah. Anies mengkritik bahwa kenaikan gaji di era Prabowo hanya terjadi tiga kali, yang akan naik lagi menjelang pemilu. Ia juga menyebutkan bahwa kesejahteraan TNI dan Polri tidak dipikirkan dengan serius.
Anies juga menyinggung masalah alutsista yang berisiko pada keselamatan, yang menurutnya membuat skor kinerja Kemenhan harus di bawah lima. Ketika didesak Ganjar, Anies akhirnya memberi skor 11 dari 100, yang artinya lebih rendah dari penilaian Ganjar.
Pemberian skor yang berbeda ini mencerminkan pandangan yang beragam terhadap kinerja Prabowo sebagai Menhan. Ganjar tampaknya memberikan penilaian yang lebih moderat, sementara Anies memberikan penilaian yang sangat kritis. Perbedaan ini dapat diinterpretasikan sebagai perbedaan pendekatan dan prioritas dalam menilai kinerja seorang menteri.
Dalam konteks politik, pemberian skor ini juga dapat dilihat sebagai strategi dari masing-masing kandidat untuk memposisikan diri mereka dalam debat. Ganjar, dengan skor moderatnya, mungkin ingin menunjukkan sikap yang lebih berimbang dan tidak terlalu kritis. Sementara itu, Anies, dengan skor yang sangat rendah, mungkin ingin menonjolkan diri sebagai kritikus yang tegas terhadap pemerintahan saat ini.
Pemberian skor ini juga menimbulkan pertanyaan tentang kriteria dan dasar penilaian yang digunakan oleh masing-masing kandidat. Apa yang menjadi tolok ukur Ganjar dalam memberikan skor 5? Dan apa yang membuat Anies memberikan skor yang sangat rendah, 11 dari 100? Ini menunjukkan bahwa penilaian kinerja seorang pejabat publik dapat sangat subjektif dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk perspektif politik dan kepentingan elektoral.
Pasalnya, kalau melihat hasil survei kepuasan publik yang dilakukan sebelum Pilpres, Prabowo selalu menjadi salah satu menteri dengan kinerja yang paling memuaskan. Survei Indo Strategi dan Poltracking misalnya, menempatkan Prabowo sebagai menteri dengan kinerja paling memuaskan. Sementara Indikator Politik menempatkan Prabowo di urutan 2, hanya kalah dari Sandiaga Uno.
Dengan demikian, memang ada narasi politik atau political narrative yang tengah dibangun Anies dan Ganjar untuk memenangkan pembentukan opini publik. Pertanyaannya adalah akankah mereka berhasil?
Political Narrative Anies dan Ganjar
Political narrative bukanlah konsep baru dalam dunia politik. Sejak zaman kuno, para pemimpin politik telah menyadari kekuatan cerita untuk membentuk persepsi dan opini masyarakat. Politik naratif melibatkan penyampaian pesan melalui narasi yang menyelipkan nilai-nilai dan keyakinan yang ingin dikomunikasikan oleh kandidat atau partai politik.
Salah satu contoh yang mencolok adalah kampanye pemilihan presiden, di mana kandidat sering kali menggunakan cerita pengalaman hidup mereka atau narasi tentang perjuangan mereka sebagai alat untuk membangun keterhubungan emosional dengan pemilih. Ganjar Pranowo adalah salah satu kandidat yang cukup mahir menggunakan political narrative ini. Politik naratif bukan hanya tentang menyampaikan fakta, tetapi juga tentang menciptakan identifikasi dan keterlibatan emosional.
Politik naratif dapat membantu dalam membentuk identitas kandidat di mata masyarakat. Misalnya, melalui cerita-cerita tentang keberhasilan, ketekunan, atau pengalaman hidup yang sulit, seorang kandidat dapat membangun citra dirinya sebagai pemimpin yang memiliki integritas dan komitmen terhadap kepentingan rakyat.
Nah, cerita-cerita yang kuat dan emosional dapat memanipulasi perasaan pemilih. Penggunaan narasi dramatis yang menyoroti perjuangan atau keberhasilan dapat menciptakan ikatan emosional dengan pemilih dan membentuk opini mereka terhadap kandidat. Emosi yang kuat dapat mempengaruhi keputusan pemilih lebih daripada argumen rasional.
Politik naratif juga sering kali digunakan untuk membawa pemilih untuk fokus pada isu-isu tertentu yang dianggap penting oleh kandidat atau partai politik. Dengan merancang cerita yang berkaitan dengan isu-isu tersebut, kandidat dapat membentuk persepsi masyarakat terhadap kebijakan atau pendekatan yang mereka usulkan.
Politik naratif juga digunakan untuk menciptakan citra positif tentang kandidat sendiri dan citra negatif tentang lawan politik. Cerita-cerita yang merinci prestasi dan kontribusi positif kandidat dapat menguatkan dukungan, sementara narasi negatif tentang lawan politik dapat merusak opini masyarakat terhadap mereka.
Cara Ganjar dan Anies menarasikan kinerja Prabowo tentu saja membuat mantan Danjen Kopassus itu jadi terlihat negatif, sekalipun punya penilaian kinerja yang memuaskan dari masyarakat.
Meskipun politik naratif dapat menjadi alat yang sangat efektif dalam mengubah opini masyarakat, ada beberapa tantangan yang perlu diatasi. Salah satunya adalah kebenaran dan integritas naratif. Jika apa yang disampaikan terlalu jauh dari kenyataan atau terlalu dibuat-buat, hal ini dapat menyebabkan kehilangan kepercayaan pemilih.
Dengan demikian, politik naratif memang memiliki peran penting dalam membentuk opini masyarakat tentang kandidat dalam Pemilu. Dengan memahami kekuatan dan potensi dampak dari cerita politik, kita dapat lebih kritis dan berpikir rasional dalam mengevaluasi pesan yang disampaikan oleh kandidat.
Selain itu, penting untuk memahami bahwa naratif politik tidak selalu bersifat fiksi; sebaliknya, ia dapat didasarkan pada fakta dan kenyataan yang terjadi. Namun, terdapat situasi di mana naratif politik dapat terdistorsi atau dibentuk sedemikian rupa untuk mengarahkan persepsi publik sesuai dengan kepentingan tertentu.
Banyak ahli dan pakar yang telah membahas mengenai politik naratif. Beberapa di antaranya adalah George Lakoff yang adalah seorang ahli linguistik dan kognitif yang telah memberikan kontribusi signifikan dalam pemahaman tentang bagaimana narasi dan bahasa mempengaruhi pemikiran politik. Lakoff menggagas konsep framing, di mana cara sebuah isu atau pernyataan dibingkai dapat memengaruhi persepsi publik.
Ahli lain adalah Drew Westen, seorang psikolog, yang telah menulis banyak mengenai psikologi politik dan peran emosi dalam pengambilan keputusan politik. Dalam karyanya, Westen menyoroti pentingnya naratif emosional dalam meraih dukungan politik.
Siasat Mengubah Opini Publik
Pilpres adalah panggung penting di mana politik naratif memainkan peran sentral dalam membentuk dan mengubah opini masyarakat. Kandidat dan partai politik tidak hanya berkompetisi untuk kebijakan terbaik, tetapi juga untuk menyusun narasi yang meyakinkan dan membangun keterhubungan emosional dengan pemilih.
Politik naratif dalam Pemilu memiliki kekuatan untuk meroboh atau membangun, memperoleh atau kehilangan dukungan, dan pada akhirnya, memengaruhi hasil dari proses demokratis.
Salah satu aspek penting dari politik naratif adalah kemampuannya untuk membentuk identitas kandidat. Kandidat yang efektif menggunakan naratif dapat membangun citra dirinya sebagai pemimpin yang berkarakter, berintegritas, dan memiliki keterhubungan yang kuat dengan masyarakat.
Ganjar dan Anies memang tengah berupaya untuk mengubah opini masyarakat tentang Prabowo. Selama ini Prabowo dilihat sebagai pemimpin yang positif dan menjunjung kepentingan bangsa di atas segalanya.
Dengan memberikan skor yang rendah pada Prabowo, baik Ganjar maupun Anies berharap dapat mempengaruhipenilaian publik, sehingga pada akhirnya bisa memenangkan dukungan.
Sebab, bagaimanapun juga, seperti kata Abraham Lincoln di awal tulisan, suarat suara jauh lebih kuat dibandingkan peluru. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)