Sandiaga Uno belakangan sering tampil dalam gimmick yang nyeleneh, lucu dan berhasil mengundang perhatian. Ada yang menyebutnya humor dan komedi, namun tidak sedikit yang menyebutnya “maksa”. Apa pun itu, nyatanya aksi-aksi sederhana seperti pertanyaan “seberapa greget” adalah hal yang esensial dalam kampanye. Pilpres AS 2012 adalah contoh kontes politik yang hasilnya ditentukan oleh faktor humor dalam kampanye tersebut.
PinterPolitik.com
“Man is the only animal that laughs and has a state legislature.”
:: Samuel Butler (1835-1902), novelis ::
[dropcap]T[/dropcap]ak ada yang aneh dengan petai di kepala seseorang. Yang membuatnya aneh dan lucu adalah karena bahan makanan kesukaan banyak orang itu nangkring di kepala Sandiaga Uno, cawapres pendamping Prabowo Subianto. Demikian pun, tak ada yang aneh dengan video “seberapa greget” yang dibuat akun Bang Ijal TV di Instagram. Lucu memang, tetapi mungkin kalah lucu dengan “seberapa greget” versi Sandiaga Uno dan istrinya.
Faktanya, seiring masa kampanye jelang Pilpres 2019, kandidat-kandidat yang bertarung semakin giat untuk mempromosikan diri dan gagasan yang dijual ke masyarakat. Hal ini juga yang belakangan semakin sering dilakukan oleh Sandiaga Uno.
Selain sering melakukan kunjungan ke daerah-daerah, Sandi pun kini juga menggunakan pendekatan media sosial yang berbeda dari biasanya. Belakangan ia semakin suka menggunakan humor dan lelucon sebagai alat kampanye.
Yang terbaru misalnya, seperti disebutkan di awal, mantan wakil gubernur DKI Jakarta itu ikut larut dalam trend “seberapa greget” yang sedang populer di Instagram. Trend lelucon dua baris yang umumnya berisi sebuah premis dan diikuti punch line – part komedi atau leluconnya – sebagai jawaban dari pertanyaan “seberapa greget lu” ini memang sedang menarik banyak perhatian. Sandi – atau mungkin tim konsultan kampanye politiknya – terlihat cukup memperhatikan trend tersebut di media sosial.
Pasalnya, jumlah pengguna internet antara umur 15-34 tahun di Indonesia mencapai 50 persen dari total keseluruhan pengguna dan jumlah penduduk di usia ini mencapai 42,27 juta orang – ceruk pemilih yang tentu saja tidak sedikit.
Pada saat yang sama, kini Instagram sendiri menjadi platform media sosial dengan pertumbuhan pengguna yang luar biasa cepat dengan sekitar 53 juta pengguna aktif setiap bulannya di Indonesia. Populer di Instagram, maka sangat mungkin lebih mudah bagi Sandi meraih suara ceruk pemilih berjumlah besar ini.
Namun, selain karena alasan menarik pemilih, nyatanya Sandi juga menampilkan satu hal yang agak kurang – bahkan mungkin tidak sama sekali – diperhatikan oleh kandidat lain, yaitu humor dan komedi dalam kampanye.
Apalagi, jika menilik beberapa postingan medsos Sandi hari-hari terakhir ini yang memang menampilkan sisi tersebut. Misalnya, ada parodi aksi paspampres yang mengatur jari mahasiswa yang ingin berfoto dengan Jokowi yang dibuat Sandi dengan tajuk “pencitraan”, hingga yang terbaru aksinya bermain ping pong dengan caption “kok jadi lagu”, serta terakhir adalah foto petai di kepala yang bikin ngakak.
Tentu pertanyaanya adalah apakah penggunaan humor dan komedi ini menjadi strategi kampanye Sandi? Atau ini hanya gimmick biasa seperti yang dilakukannya saat masih menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta?
Humor dan Politik, Kampanye Efektif?
Nyatanya, jika mundur ke belakang, bukan kali ini saja Sandi melakukan hal yang demikian. Mantan Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) itu pernah membuat konten kampanye yang berisi humor saat berpasangan dengan Anies Baswedan pada Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu.
Publik mungkin masih ingat bagaimana keduanya larut dalam fenomena “Om Telolet Om” – yang adalah aksi meminta supir bus untuk membunyikan klakson dengan membawa spanduk bertuliskan “Om Telolet Om”. Saat itu keduanya membuat video yang memparodikan aksi tersebut.
Sandi berdiri di pinggir jalan membawa tulisan “Om Telolet Om” dan meminta pengendara membunyikan klakson, sementara Anies dalam mobil yang lewat, membuka kaca dan mengucapkan kata-kata: “Memangnya saya Om kamu?”
Situasi yang mengundang tawa juga terjadi saat produksi video tentang Kartu Jakarta Jomblo, sekalipun saat itu Anies sendiri yang melakoninya. Awalnya serius mempresentasikan program-program, Anies kemudian tak bisa menahan tawa ketika masuk ke bagian “perawatan rambut gratis” yang menjadi keuntungan memiliki kartu tersebut.
Video-video di atas menunjukkan bahwa model kampanye dengan menggunakan humor dan komedi sudah sering dipraktikan oleh Sandi. Apalagi saat Pilkada DKI Jakarta lalu, ada komedian Pandji Pragiwaksono yang menjadi salah satu bagian dari tim pemenangan Anies-Sandi, sehingga penggunaan unsur komedi dalam politik menjadi mudah dilakukan oleh keduanya.
Hasilnya, tanpa mengurangi dampak isu lain – misalnya penistaan agama dan lainnya – kampanye komedi Anies-Sandi linear dengan kemenangan keduanya. Sekalipun banyak yang juga mengernyitkan dahi dan bertanya-tanya, namun setidaknya keduanya berhasil menarik perhatian publik.
Dalam konteks Pilpres 2019, Sandi sepertinya belajar dari pengalaman tersebut dan kini kembali menggunakan hal serupa. Tentu pertanyaannya adalah apakah hal itu bisa berhasil?
Faktanya, humor dan komedi adalah alat politik yang sangat esensial untuk dimiliki oleh seorang politisi. Koresponden National Public Radio (NPR) Ari Shapiro dalam tulisannya menyebut penggunaan humor dan komedi dalam politik membantu kandidat yang mampu menggunakannya secara efektif untuk meraih hati pemilih yang masih ragu.
Humor – entah dalam bentuk jokes atau lelucon hingga lakon tertentu – menjadi alat yang efektif untuk melucuti senjata (disarm) lawan dan menjadi anti-venom – semacam penawar – untuk kondisi politik dan ekonomi yang sedang dihadapi.
Shapiro menyoroti pertarungan jokes pada Pilpres AS 2012 antara Barack Obama dan Mitt Romney yang menjadi salah satu warna penting dalam kontestasi politik kala itu. Baik Obama maupun Romney menggunakan humor sebagai bagian dari kampanye politik untuk meninggalkan kesan kaku dan keras sebagai politisi.
Selera humor dan lelucon nyatanya memang membuat jarak antara pemimpin dan pemilih menjadi dekat, terutama meruntuhkan sekat-sekat antara status elite dengan rakyat biasa.
Selain itu, Orly Kayam, Arie Sover dan Yair Galily dalam tulisannya yang berjudul Humor, Media and The Public Discourse: A Case Study of Humor and Politics menyebutkan bahwa intersection atau persinggungan antara humor dan politik adalah pada fleksibilitasnya.
Menurut ketiganya, politik adalah seni untuk melihat setiap kemungkinan yang tentu saja pada akhirnya membutuhkan fleksibilitas. Sementara humor juga butuh fleksibilitas – bahkan humor adalah fleksibilitas itu sendiri. Mungkin hal inilah yang ada dalam sosok Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai presiden yang terkenal karena lelucon-leluconnya.
Dalam konteks pilihan politik yang bertujuan untuk mendapatkan posisi, lagi-lagi hal ini berhubungan dengan entitas humor itu sendiri sebagai bagian dari ekspresi untuk menyatakan posisi. Humor juga menjadi alat kritik terhadap politik.
Menariknya lagi, humor sering kali dipakai sebagai alat untuk melawan status quo atau kondisi yang saat ini sedang terjadi. Artinya, dalam konteks politik kekuasaan, humor adalah alat “perlawanan”.
Tidak perlu jauh-jauh, beberapa komedian di Indonesia, misalnya Dono, Kasino dan Indro lewat grup Warkop adalah salah satu contohnya – sekalipun ketiganya tidak menggunakan humor untuk meraih kekuasaan pribadi. Lewat tagline “tertawalah sebelum tertawa itu dilarang”, mereka menyampaikan kritik terhadap otoritarianisme Soeharto yang membelenggung negara ini.
Sandi Melawan Status Quo
Tentu saja pada titik kampanye politik, Sandiaga masih sangat jauh dari level komedi seperti Warkop. Apalagi, masih menjadi perdebatan apakah yang dilakukan Sandi murni menjadi bagian dari komedi dan humor politik, atau bagian lain dari gimmick penarik perhatian yang memang juga sering dilakukannya.
Yang jelas, karena beberapa bagian dari aksi Sandi memang membuat masyarakat terpingkal-pingkal, maka aksi gregetan atau yang lainnya bisa dianggap sebagai humor. Mungkin salah satu persamaan dalam konteks katakanlah komedi sebagai alat perjuangan politik, adalah bahwa Sandi juga menggunakannya untuk melawan status quo.
Sebagai penantang Presiden Joko Widodo (Jokowi), tentu saja predikat melawan status quo inilah yang paling ditonjolkan, terutama sejak dirinya dan Anies menggunakan hal serupa saat melawan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang juga adalah petahana di ibu kota. Sifat humor yang menyatakan posisi sekaligus melawan status quo inilah yang terlihat ingin digunakan oleh Sandi.
Namun, tanpa mengurangi intensitas penggunaannya, Sandi juga perlu hati-hati. Pasalnya, ketika humor terlalu berlebihan digunakan saat kampanye, maka boleh jadi publik justru akan menilai visi-misi dan program kerja yang diusung tidak lebih dari sekedar lelucon.
Jika hal ini terjadi, maka tentu saja akan ada bahaya yang akan menghadang Sandi, bahwasanya humor politik yang ia gunakan hanya akan dipandang sebagai strategi yang muncul tidak dari kejujuran jiwa. Sebab, bagaimanapun juga, humor adalah juga tentang kejujuran. Apakah Sandi jujur? Hanya ia yang tahu.
Yang jelas, pada akhirnya kita masih akan terus menyaksikan aksi-aksi nyeleneh dan lucu yang dilakukan Sandi di sisa masa kampanye ini karena seperti kata Samuel Butler di awal tulisan ini, hanya manusialah “hewan” yang bisa tertawa dan pada saat yang sama punya lembaga legislatif. (S13)