Site icon PinterPolitik.com

Polisi Dibalik “Air Keras” Novel Baswedan

Berdasarkan hasil penyelidikan polisi, pelaku penyiraman air keras ke wajah Novel Baswedan masih misteri. Sudah lebih dari 50 hari, mengapa begitu lama?


PinterPolitik.com

 “Ada yang membunuh. Ada yang dibunuh. Ada peraturan. Ada undang-undang. Ada pembesar, polisi, dan militer. Hanya satu yang tidak ada: keadilan,” Pramoedya Ananta Toer

[dropcap size=big]M[/dropcap]ata, bagian tubuh yang biasanya digunakan Novel Baswedan melihat dan mengamati gerak-gerik pelaku tindak rasuah, rusak disiram air keras oleh orang tak dikenal. Parahnya, hingga lebih dari 50 hari pasca kejadian, siapa pelaku penyiraman dan dalang dibalik serangan masih belum terpecahkan atau bahkan ada desas-desus tidak mau dipecahkan. Mirip seperti yang diungkapkan Pramoedya Ananta Toer di atas: ada yang disiram, dan ada yang menyiram, tapi tidak ada keadilan bagi Novel  Baswedan.

Begitu banyak kejanggalan yang muncul dalam upaya mencari keadilan bagi Novel Baswedan. Walau pihak kepolisian yang terdiri dari gabungan tim Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya dan Kepolisian Resor (Polres) Jakarta Utara sigap memeriksa 52 orang dan bahkan sempat menangkap empat orang diduga pelaku penyiraman: Muklis Ohorella, Hasan Hunusalela, Ahmad Lestaluhu, dan Miko Panji Tirtayasa. Sekarang, keempatnya dibebaskan karena tidak cukup bukti. (Baca: Apa Kabar Novel Baswedan?)

1. Ditangkap dan Dilepas

Banyak kejanggalan, dari ‘hilangnya’ sidik jari sampai inkonsistensi pernyataan polisi, terjadi beriringan dengan tidak kunjung terungkapnya pelaku penyiraman. Beberapa pihak pun bertanya-tanya soal keseriusan pihak kepolisian untuk mengungkapkan kebenaran.

Kejanggalan pertama terlihat dari dibebaskannya keempat orang di atas, terutama Muklis dan Hasan. Polisi  mengatakan tidak ada bukti, tetapi Muklis dan Hasan terekam dalam foto yang diambil tetangga-tetangga Novel. Salah satu foto merekam Hasan duduk di seberang rumah Novel, Jalan Deposito, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Adapun Muklis terlihat duduk di atas sepeda motor di samping masjid Al-Ikhsan, tempat Novel setiap pagi beribadah salat subuh berjamaah.

Seorang tetangga Novel menyebutkan, “Pandangannya terus menerus ke rumah Novel.”

Beberapa saksi lain juga menyebut bahwa mereka pernah melihat Hasan atau Muklis berkeliaran di sekitar kediaman Novel.

Perwakilan masyarakat Koalisi Masyarakat Sipil Peduli KPK, Alghiffari Aqsa, yakin bahwa Muklis dan Hasan adalah orang yang sama dengan pihak yang sempat dicurigai membuntuti Novel sejak dua pekan sebelum kejadian.

“Kami curiga dua orang ini yang sejak awal memang mengintai rumah Novel,” ujar Alghiffari.

Dugaan Alghiffari ada benarnya. Mellihat gerak-gerik Hasan dan Muklis, bisa saja Hasan dan Muklis bukan pelaku penyiraman, tapi pengintai yang memberikan informasi kepada pelaku penyiraman yang sebenarnya. Meski keduanya tidak berada di lokasi, mereka masih bisa memberikan informasi tindak-tanduk keseharian Novel Baswedan kepada eksekutor melalui media seluler. Jika indikasi tersebut benar, artinya penyiraman air keras sudah direncanakan sebelumnya dan dilakukan secara sistematis.

Apakah pihak kepolisian tidak melihat adanya motif ‘surveillance’ dan ‘execute’ tersebut? Atau mereka takut mencipratkan ‘air keras’ ke dalam instansi sendiri? Pasalnya, seperti dilansir dari Koran Tempo, motor yang digunakan Muklis adalah milik Muhammad Yusmin Ohorella, seorang anggota Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya. Hal tersebut dibuktikan melalui penelusuran kepemilikan pelat nomor kendaraan.

Uniknya pula, baik Muklis, Hasan, Ahmad, dan Yusmin berasal dari desa yang sama, yakni Desa Tulehu, Kecamatan Salahutu, Maluku Tengah. Kebetulan yang teramat sangat bukan?

Jalan Masjid Al-Ihsan

2. Sidik Jari, Datang dan Hilang

Aroma keanehan pihak kepolisian juga tercium dari inkonsistensi penyelidikan sidik jari yang diduga membekas pada cangkir yang digunakan pelaku untuk menyiram air keras.

Awalnya, pada Senin (17/4), Kombes Pol Argo Yuwono mengatakan bahwa pihaknya sulit mendapatkan sidik jari. Tidak ada perkataan darinya bahwa sidik jari hilang.

“Sidik jari pun belum kami dapatkan. Cangkir tempat air raksa itu gagangnya kecil, kami susah mendapatkan dari situ,” ujar Kombes Pol Argo Yuwono.

Namun, tiga pekan setelahnya, pada Senin (5/5), Kombes Pol Argo Yuwono mengatakan bahwa pihaknya kehilangan jejak sidik jari.

“Cangkir itu isinya kan mengandung H2SO4. Kalau mug itu dari seng ada pengaruh reaksi kimia. Jadi walaupun sudah dikeringkan, tetapi tidak ditemukan sidik jari,” ujar Kombes Pol Argo Yuwono.

Alghiffari pun geram. Menurutnya orang butuh tenaga besar untuk menyiramkan air keras. Konsekuensinya, orang tersebut akan memegang cangkirnya dengan erat. Dia mempertanyakan, “Kenapa bisa tidak ada sidik jari. Sudah dihilangkan atau apa?”

Sementara itu, ahli kimia dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Agus Suryana, mengatakan H2SO4 memang cairan yang korosif dan berpotensi tinggi menyebabkan hilangnya sidik jari. Namun korosi hanya akan terjadi jika logam yang terpapar air keras dibiarkan lebih dari satu hari.

“Kalau hanya terciprat atau tersiram, seharusnya sidik jari tetap ada,” ujar Agus.

3. Inkonsistensi Pernyataan Kepolisian

Koalisi Mayarakat Sipil Peduli KPK, dalam rilisnya, juga memperhatikan bahwa beberapa kali pihak kepolisian inkonsisten dalam memberikan keterangan pelaku. Menurut mereka, pada suatu waktu, baik Kombes Pol Argo Yuwono maupun Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian, mengeluarkan keterangan kepada media bahwa kepolisian telah mengetahui pelaku penyiram Novel dan juga telah melakukan penangkapan terhadap orang yang diduga pelaku.

Namun di kemudian hari tidak ada perkembangan yang jelas. Keterangan tersebut bahkan diralat oleh tim penyidik Polda Metro Jaya dan menyatakan orang yang ditangkap bukanlah pelaku.

4. Rekaman Kamera CCTV Yang Diabaikan?

Upaya pengungkapan pelaku penyiraman air keras juga ditempuh dengan melihat rekaman Close Circuit Television (CCTV) yang terpasang di rumah Novel. Sepekan sebelum penyerangan terjadi, seorang pria terekam datang ke rumah Novel dan disambut oleh asisten rumah tangganya. Menurut keterangan pihak kepolisian, setelah menanyakan perihal baju gamis laki-laki, pria itu pun pergi.

Istri Novel, Rina Emilda, memang berdagang pakaian Muslim di rumahnya. Yang buat janggal adalah bisnis Rina  hanya menjual pakaian perempuan.

Hingga kini, siapa gerangan pria itu pun masih menjadi misteri. Kombes Pol Argo mengatakan bahwa timnya belum berhasil mengungkap pria pencari gamis tersebut.

Salah seorang tim penyidik menyebutkan, “Resolusi (video)-nya terlalu rendah.”

Tindakan pria tersebut memang janggal namun sikap polisi terkait CCTV ini pun ganjil. Menurut Alghiffari, pihak kepolisian lazimnya mengeluarkan CCTV yang terkait dengan tindak pidana. Dalam kasus Novel, polisi tidak melakukan hal tersebut.

Padahal, kata Alghiffari, dengan dibukanya rekaman CCTV tersebut, dinilai mampu membantu polisi untuk mendapatkan informasi dari masyarakat.

“Sampai sekarang polisi tidak pernah mengungkap CCTV ini. Masyarakat jadi tidak bisa berpartisipasi, wajar saja kalau polisi tidak dapat informasi yang cukup,” ujar Alghiffari.

Menanti Keberpihakan Pemerintah

“Kami kecewa dengan polisi yang sepertinya tidak serius. Jangan-jangan polisi memang ada kesengajaan untuk tidak ungkap kasus ini,” Alghiffari Aqsa.

Lambat. Satu kata singkat yang menggambarkan penanganan pihak kepolisian terhadap teror yang menimpa Novel Baswedan. Ditambah, pihak kepolisian juga terkesan tertutup. Mereka tidak ingin pihak luar terlibat bersama menangani kasus ini.

“Ikuti aturannya saja. Percayakan pada kepolisian sementara ini. Kepolisian juga ingin (kasus penyerangan terhadap Novel) cepat terungkap, tapi buktinya minim,” ujar Kombes Pol Argo Yuwono.

Menanggapi hal tersebut, pemerintah tampaknya juga belum mengambil sikap yang signifikan. Untuk menangani kasus yang sistematis dan terencana seperti ini semestinya pemerintah membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang terdiri, baik dari pihak sipil, ahli, kepolisian, maupun KPK. Hal ini bukannya tidak pernah dilakukan pemerintah sebelumnya. Pada Desember 2011, pemerintahan Presiden SBY pernah membentuk TGPF untuk menyelidiki konflik di Mesuji, Lampung.

Polisi Dendam Dengan Novel?

Jika bukan lambat, jangan-jangan pihak kepolisian tidak serius menangani kasus Novel karena telah lama menyimpan dendam?

Novel Baswedan adalah salah satu penyidik handal yang dimiliki KPK. Bertugas sejak 2014, perkara korupsi yang ditanganinya hampir semua tergolong kasus ‘kakap’ – tidak terkecuali korupsi yang terjadi di institusi kepolisian.

Novel menjadi kepala Satuan Tugas yang memimpin penyidikan kasus korupsi simulator SIM. Dia memboyong timnya menggeledah Kantor Korlantas Polri di Cawang, Jakarta Timur, 31 Juli 2012. Tidak main-main, terpidana dalam kasus yang merugikan negara sebesar Rp 121 Miliar tersebut adalah Inspektur Jenderal Djoko Susilo.

Sejak KPK menangani kasus korupsi tersebut, teror demi teror datang kepada Novel dan KPK.

Pada Oktober 2012, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri menggerebek gedung KPK dan berencana menangkap Novel karena kasus penganiayaan terhadap pencuri walet yang terjadi tahun 2004.  Karena tidak cukup bukti, Novel dilepaskan. Lalu, pada Mei 2015, Novel ditangkap lagi atas kasus yang sama setelah KPK mengumumkan Komisaris Jenderal (Komjen) Budi Gunawan sebagai tersangka kasus korupsi, kala Presiden Jokowi mendaftarkannya sebagai calon tunggal Kapolri. Setelahnya. Novel ditangkap oleh Bareskrim Mabes Polri di rumahnya. Atas desakan Presiden Jokowi, Novel pun dibebaskan.

Melihat rentetan peristiwa di atas, niscaya, dengan hanya melibatkan pihak kepolisian tentu pengungkapan kasus ‘air keras’ Novel bisa jalan di tempat. Sebabnya, ada kemungkinan pelaku penyiraman juga melibatkan oknum kepolisian yang tidak suka dengan Novel.

Tentu hal ini jangan sampai menghilangkan fakta bahwa Novel disiram air keras setelah KPK mengusik kasus korupsi KTP-elektronik. Kemungkinan pelaku adalah orang yang tidak suka KPK menangani korupsi KTP-elektronik juga tetap ada. Melihat beberapa kasus besar yang pernah ditangani Novel sebagai penyidik KPK, bahkan bisa jadi ada ‘koalisi’ besar elit atas sana untuk melumpuhkan langkah KPK dengan teror dan premanisme.

Dengan demikian, semakin jelas bahwa pembentukan TGPF juga akan menjadi sinyal bahwa pemerintah masih hadir untuk mewujudkan sila kedua Pancasila, ‘kemanusiaan yang adil dan beradab’, dan menunjukkan bahwa pemerintah pro terhadap pemberantasan korupsi. Seperti kata-kata dalam puisi Wiji Thukul di bawah ini, tentu pemerintah tidak boleh takut mengungkapkan kebenaran.

Jika kau menghamba kepada ketakutan
kita memperpanjang barisan perbudakan

Exit mobile version