Site icon PinterPolitik.com

Polemik PCR, Adakah Bisnis di Sana?

Polemik PCR, Adakah Bisnis di Sana?

Foto: Ekbis Sindonews.com

Wacana pemerintah dalam mewajibkan tes PCR untuk semua moda transportasi menjadi diskursus hangat publik. Berbagai pihak memberi kritik karena terkesan ada bisnis di baliknya. Benarkah dugaan semacam itu?


PinterPolitik.com

Di Sabtu sore yang mendung, Tina bergegas keluar rumah mencari klinik yang menyediakan tes PCR. Tujuan tes PCR penting bukan karena ingin mengecek dia terdampak covid atau tidak, tapi ini syarat untuk bisa masuk kerja di hari Senin.

Dalam perjalanan menuju klinik, teringat berita beberapa hari lalu, pemerintah telah menurunkan harga tes PCR menjadi Rp300 ribu, tentunya ini membuat perasaannya sangat senang karena tidak harus mengeluarkan ongkos besar.

Saat sampai di klinik, petugas yang berjaga ternyata mengatakan, saat ini sedang melakukan perawatan alat, sementara waktu belum bisa menerima untuk tes PCR.

Sudah bulat tekad Tina untuk harus menyelesaikan tes PCR hari ini, akhirnya ia melanjutkan ke rumah sakit terdekat dengan harapan, rumah sakit pasti bisa tes PCR dibanding klinik. Sesampai di rumah sakit, Tina kaget dengan banner besar yang tergantung depan rumah sakit bertuliskan “Harga Baru PCR TEST RP 495.000,-”. Mungkin belum diganti, pikirnya positif tentang banner besar itu.

Setelah mengambil antrian dan mendaftar di meja resepsionis, Tina menanyakan perihal banner di depan tadi, resepsionis membenarkan harga di rumah sakit belum ada perubahan, menunggu keputusan manajemen tegasnya.

Yasudahlah, hanya itu yang terlintas dalam benaknya. Tina harus menerima kenyataan bahwa apa yang ia dengar, belum tentu bisa dijalankan seketika itu juga. Sedikit berat, akhirnya Tina tetap melakukan tes PCR sesuai dengan harga yang dibandrol rumah sakit tersebut.

Baca Juga: Jokowi dan Mahalnya PCR

Anekdot di atas sekiranya menggambarkan peristiwa yang bisa terjadi pada siapa pun akhir-akhir ini. Baru-baru ini khalayak ramai menaruh atensi dengan aturan penurunan tes PCR pada 27 Oktober 2021, bukan hanya karena harganya yang turun, melainkan jarak keputusan yang relatif dekat dengan kebijakan penurunan harga sebelumnya. Jika sebelumnya, pemerintah menurunkan harga butuh waktu 10 bulan, rentang Oktober 2020 ke Agustus 2021, keputusan kali ini hanya selang 2 bulan, Agustus 2021 ke Oktober 2021.

Pemerintah memberikan alasan bahwa penurunan harga PCR di Oktober ini dikarenakan terdapat data penurunan kasus Covid-19. Di pihak lain, BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan) menjelaskan harga PCR turun dikarenakan turunnya harga alat pelindung diri dan reagen. Rasionalisasinya bahwa PCR turun karena harga dasar peralatan juga turun.

Polemik dalam masyarakat muncul disebabkan rencana pemerintah untuk mewajibkan PCR pada semua moda transportasi. Hal ini disebutkan Menko Marves Luhut B. Pandjaitan sebagai upaya meminimalisir mobilitas menjelang libur Natal dan Tahun Baru. Mobilitas masyarakat dalam skala besar bisa membuat penyebaran virus semakin luas.

Dalam komentarnya, epidemiolog Tri Yunis Miko Wahyono menyebut keputusan pencegahan gelombang ketiga menjelang libur terlalu terburu-buru. Di pihak lain, YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) menilai aturan PCR bagi semua moda transportasi akan melegalkan kartel bisnis PCR.

Komentar senada disampaikan aktivis KAMI Said Didu. Menurutnya, jika praktik menyerahkan kepentingan publik untuk dibayar rakyat dibiarkan, ada kekhawatiran akan muncul bisnis-bisnis baru di kemudian hari.

Lantas, tepatkah kecurigaan-kecurigaan semacam itu?

Bisnis saat Pandemi?

Majalah Tempo edisi 30 Oktober 2021, menguak beberapa fakta dalam laporan investigasinya. Saat awal pandemi, para importir alat kesehatan melakukan pendekatan kepada pemilik klinik dan laboratorium untuk membuka layanan tes PCR tanpa harus mengeluarkan investasi yang besar. Dengan iming-iming untung besar, importir menawarkan mesin ekstraksi asal Tiongkok yang lebih murah dibandingkan merek asal Eropa dan Amerika Serikat (AS).

Strategi marketing para importir dapat kita lacak dengan melihat cara mereka memberikan program-program bagi para penyedia layanan jasa PCR. Salah satu contohnya, pembelian minimum 25 ribu viral transport medium (VTM) dan reagen untukmendapatkan mesin ekstraksi gratis dari importir, cara lainnya dengan memberikan target penjualan bulanan dengan asumsi jika mencapai target, maka harga kit yang dibeli dari importir bisa berkurang dari harga semula.

Baca Juga: Covid-19 Berkah Bagi Kelompok Super Kaya Indonesia?

Strategi di atas dijelaskan dalam konsep sales dan marketing yang disebut dengan sales incentive program, sebuah program untuk memperkuat performa rekan bisnis dan meningkatkan revenueSales incentive program adalah program yang memotivasi dan memberi reward pada rekan bisnis ketika mereka berhasil mencapai dan melebihi goal tertentu. Program ini menawarkan keuntungan dan menjadi sistem kompensasi harga, dan reward yang diberikan kepada rekan bisnis memicu agresivitas saat melakukan praktik penjualan.

Well, jika hasil investigasi Tempo tersebut tepat dan memang ada relasi antar pelayan jasa tes PCR dengan para politisi yang mempengaruhi kebijakan, maka bukan hanya dominasi terhadap pasar yang didapatkan, tetapi juga akan mematikan saingan bisnis lain yang tidak bisa mengikuti harga sesuai dengan keputusan pemerintah.

Hegemoni Segala Ruang

Filsuf Prancis, Henri Lefebvre dalam bukunya The Production of Space, menggambarkan bagaimana hegemoni (meminjam istilah Gramsci) kapitalisme telah masuk dan bersenyawa di tiap dimensi ruang. Lefebvre memberikan definisi tentang ruang yang dimaksud bukan hanya ruang Cartesian (ruang yang dapat diukur), melainkan juga ruang Kantian (ruang yang bersifat abstrak). Lebih jauh ia memperkenalkan istilah ruang publik (ruang persilangan semua harapan) juga telah dikuasai  oleh kapitalisme.

Dari penjelasan Lefebvre sekiranya tergambar kondisi kita saat ini, saat harapan banyak orang hanya tersisa di ruang kesehatan, rupanya, ruang kesehatan juga telah dikapitalisasi. Kapitalisme dalam pengertian bisnis yang mengalienasi etika.

Pertanyaan muncul setelahnya, apakah dalam kehidupan ekonomi dikenal etika bisnis? M. Dawam Rahardjo dalam Jurnal Prisma, menggambarkan etika bisnis dengan cara mengelaborasi pemikiran Adolf Berle, Jr. yang mengatakan dalam tahap “kapitalisme yang berbudi” (benign state of capitalism), korporasi yang besar benar-benar dapat disebut sebagai “pemegang amanah masyarakat” (social trustee).

Mereka selalu bermotivasi sosial, berusaha mendatangkan kemajuan, melakukan pelayanan kepada masyarakat dan menganggap kepentingan masyarakat sebagai kepentingan mereka juga, sekalipun masyarakat melihat dunia bisnis hanya pada citra tentang keserakahan, mengejar keuntungan, materialistis dan korupsi yang telanjang saja.

Nah, jika bisnis yang tidak berlandaskan nilai-nilai etis yang terkandung dalam masyarakat, bisnis dapat memunculkan sisi negatif para pelakunya, di mana ini semakin tak terbendung dan membuat pelaku bisnis semakin serakah. Inilah akar kemunculan para pemburu rente.

Baca Juga: Covid-19, Politik Ketakutan, Siapa Menang?

Pemburu rente atau rent seeking, secara elaboratif dijelaskan oleh Didik J. Rachbini dalam kajian ekonomi politik. Secara sederhana, para pelaku usaha melakukan upaya kapitalisasi pendapatan dengan cara monopolisitik yang menggunakan modal kekuasaan politik dalam sebuah bisnis. Pelaku bisnis mengambill keuntungan bukan dengan cara yang legal dalam pasar, melainkan membangun relasi kepada kekuasaan dengan cara memonopoli aturan main atau regulasi, sehingga mendapatkan maanfaat yang tidak dikompenisasikan.

Dengan demikian, aktivitas pemburu rente pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari peluang yang dibuat atau disediakan oleh para pemangku kebijakan publik. Tidak heran kemudian, dugaan-dugaan adanya aktivitas bisnis yang melibatkan kekuasaan di balik polemik tes PCR menjadi sulit untuk dihindari. Namun, tentu harapannya, itu semua bukanlah hal yang terjadi. (I76)

Exit mobile version