HomeNalar PolitikPolemik Nikuba, Bukti Indonesia "Gagal" Maju?

Polemik Nikuba, Bukti Indonesia “Gagal” Maju?

Kecil Besar

Diabaikannya riset Nikuba milik Aryanto Misel membuat sejumlah orang kebingungan. Meski keabsahan klaim Nikuba perlu diriset lebih lanjut, banyak yang menilai pemerintah terlalu merendahkan potensi inovasi anak bangsa sendiri. Mengapa Indonesia kerap “nyuekin” riset penting dari para ilmuwannya?


PinterPolitik.com 

Di balik berita-berita politik yang selalu menjadi headline mendekati Pemilihan Umum 2024 (Pemilu 2024), belakangan ini terselip satu berita menarik yang kiranya membuat banyak orang di Indonesia menggaruk kepala. Berita itu adalah kabar tentang seorang insinyur otomotif kelahiran Semarang bernama Aryanto Misel, dan temuannya yang diberi nama “Niku Banyu”, yang disingkat menjadi “Nikuba”. 

Kabar tentang Nikuba yang disebut bisa membuat kendaraan bermotor menggunakan air sebagai pengganti bensin meledak tiba-tiba setelah beredar informasi bahwa Aryanto berlabuh ke italia untuk memberikan presentasi kepada beberapa perusahaan otomotif top di sana, seperti Ferrari dan Lamborghini.  

Namun, bukan hanya itu faktor yang membuat Aryanto terkenal, melainkan kabar bahwa ternyata temuannya sebelumnya pernah mendapatkan perhatian dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), tapi “dicuekin”.

Yap, sebelumnya diketahui bahwa peneliti BRIN, Arifin Nur, mengatakan dirinya meragukan teknologi yang dikembangkan Aryanto. Cerita tersebut sontak membuat banyak warganet mempertanyakan sekaligus menyayangkan sikap yang ditunjukkan oleh badan riset negara tersebut. Tidak sedikit yang menuliskan opini di media sosial berbunyi “diragukan di negara sendiri, tapi diperhatikan di luar negeri”. 

Menariknya, setelah Aryanto viral, Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko, menyebutkan bahwa pihaknya justru kini berantusias mengembangkan penelitian dan riset tentang Nikuba bersama Aryanto. Dalam catatan tambahan, Handoko tetap bersikeras pada argumen BRIN sebelumnya, bahwa Nikuba masih perlu diriset lebih jauh sebelum dapat digunakan untuk publik. 

Terlepas dari persoalan teknis apakah teknologi Nikuba secanggih yang diperbincangkan media atau tidak, kita tidak bisa mengabaikan begitu saja fakta bahwa Aryanto dan risetnya seakan baru mendapat perhatian negara setelah diviralkan oleh media sosial. Padahal, bila Nikuba tetap memerlukan riset tambahan, bila benar potensinya sesuai klaimnya, seharusnya pemerintah juga memberikan perhatian khusus untuk ikut bantu kembangkan riset tambahan sejak awal.

Hal ini tentu memancing rasa penasaran kita terhadap pengembangan riset Indonesia secara keseluruhan. Mengapa negara kita seakan meremehkan riset yang dilakukan orang-orang kecil seperti Aryanto? 

image 5

Indonesia Krisis Antusiasme Sains? 

Sebelum kabar tentang Aryanto viral, melihat pada sejarah, kita sebelumnya juga kerap disajikan berita tentang riset para ilmuwan Indonesia yang kurang mendapat dukungan dari pemerintah.  

Sebagai contoh, beberapa tahun silam, Ilham Habibie, anak presiden ke-3 Indonesia mengembangkan pesawat buatan negeri yang berkode R80. Akan tetapi, proyek tersebut sayangnya dihapus dari proyek strategis nasional (PSN) pemerintah 2020-2024 oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), karena dianggap tidak bisa memenuhi tenggat target tahun 2024. 

Lalu, ada juga kabar tentang mobil buatan pakar mesin asal Indonesia, Ricky Elson, bernama Selo, yang tidak hanya memiliki desain visual keren, tapi juga berbahan bakar listrik. Sayangnya, Selo harus menerima nasib yang sama dari penemuan-penemuan Indonesia lainnya yang ditinggalkan, karena Selo tidak mendapat bantuan pemerintah akibat dianggap tidak lulus uji emisi.  

Baca juga :  The Tale of Budi Gunawan

Hal-hal di atas sebenarnya tidak perlu terhambat bila pemerintah benar-benar antusias mengembangkan potensi inovasi yang ditemukan. Karena tentu, penyesuaian seharusnya bisa tetap dilakukan walau dalam keadaan yang sekarang belum mumpuni untuk diproduksi, bukan? 

Pertanyaannya kemudian adalah, mengapa pemerintah sering terlihat tidak antusias menaruh perhatian pada riset yang dilakukan para anak bangsa? 

Sebagai masyarakat awam, kita mungkin tidak akan bisa mengetahui pasti alasan sebenarnya dari persoalan ini. Akan tetapi, kita setidaknya bisa menalarkan alasannya, salah satunya dengan berkaca pada fenomena “pembusukan ilmu pengetahuan” dari buku berjudul The Neglect of Science oleh Michael Gibbons, dan kawan-lawan. 

Di dalamnya, disebutkan bahwa negara berkembang umumnya memiliki empat hambatan utama yang menyebabkan pengembangan riset begitu sulit.  

Pertama, adalah karena ketidakstabilan politik dan korupsi. Suatu pemerintahan yang menghadapi tantangan politik atau praktik korupsi tinggi kerap sulit mengembangkan teknologi canggih karena para politisi yang menjadi penguasa di sana memiliki urgensi untuk selalu mengalokasikan sumber daya mereka yang terbatas ke bidang yang lebih menghasilkan keuntungan politik, ketimbang investasi jangka panjang dalam ilmu pengetahuan dan penelitian. 

Bisa jadi, dengan pandangan ini, riset yang dikembangkan Aryanto kurang menggiurkan bagi para politisi untuk dijadikan pencitraan. Atau di sisi lain, mungkin karena riset tersebut membuat ia berada di posisi yang terancam akibat persaingan bisnis oligarki yang terkait.

Kedua, waktu. Riset yang besar sering terkendala oleh perlunya pengembangan dalam waktu yang lama. Meskipun suatu riset menjanjikan sesuatu yang fenomenal, pada akhirnya prioritas akan diberikan pada riset yang dianggap bisa memberikan dampak yang lebih cepat. Akibatnya, riset-riset yang mendapat dukungan hanyalah riset yang bisa menjawab masalah-masalah terdekat, seperti pengentasan kemiskinan, misalnya. 

Ketiga, keterbatasan sumber daya. Riset dan pengembangan tidak hanya membutuhkan alat dan teknologi yang canggih untuk mendukungnya, tetapi juga upah yang tinggi agar para ilmuwan bisa termotivasi untuk selalu berkarya. Di dalam sebuah negara berkembang, tidak heran bila para ilmuwan tidak dibayar dengan semestinya, karena kembali lagi, negara berkembang sering dihadapi persoalan pemerataan ekonomi dan korupsi. 

Keempat, kurangnya budaya ilmiah. Suatu riset yang sukses tidak hanya memerlukan dukungan uang dan politik, tetapi juga apresiasi dari masyarakat. Bila keperluan politik dan ekonomi tidak mendukung, maka dukungan masyarakat seharusnya bisa mendorong dua hal tadi. Masalahnya, kalau masyarakat pun kurang atau bahkan tidak bisa mengapresiasi riset, maka akan banyak riset cemerlang dari para ilmuwan Indonesia yang terabaikan.  

Empat hal tadi pada akhirnya mampu menciptakan sebuah fenomena yang disebut national brain drain (pembusukan otak negara), yakni kejadian di mana terdapat banyak orang cerdas dari suatu negara berkembang memilih bermigrasi ke negara maju. Dan kalau boleh jujur, belajar dari kasus Aryanto, Habibie, dan lainnya yang bernasib serupa, sepertinya fenomena brain drain ini sudah terjadi pada Indonesia. 

Namun, sebenarnya apa dan siapa yang bisa kita salahkan atas kondisi yang seperti ini? 

Baca juga :  Di Balik Kisah Jokowi dan Hercules?
image 6

Akibat Kapitalisme dan Globalisasi? 

Dalam lingkup domestik, berdasarkan alasan-alasan yang kita bicarakan di atas, mungkin pemerintah-lah yang benar-benar bertanggung jawab atas persoalan ini. Akan tetapi, jika kita mencoba melihat masalah ini dengan pandangan yang lebih luas, pemerintah sepertinya hanya menjadi korban. 

Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Deus, menyebutkan bahwa orientasi umat manusia sejak adanya industrialisasi, modernisasi, dan globalisasi, adalah keuntungan ekonomi yang setinggi-tingginya. Hal itu saat ini seakan menjadi perjanjian tak tertulis yang akhirnya harus diikuti semua negara di dunia, kalau tidak, mereka akan tertinggal dari sengitnya persaingan dalam mempertahankan eksistensi. 

Keadaan yang seperti itu kemudian menciptakan sebuah teori yang disebut sebagai compressed development, dari Hugh Whittaker dalam bukunya Compressed Development: time and timing economic and social development

Di dalamnya, dijelaskan bahwa negara-negara ekonomi besar saat ini, seperti Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Jerman, adalah negara yang sukses karena melewati ratusan tahun proses pendewasaan ekonomi, yang tentunya dibarengi oleh inovasi dan riset yang terkadang sukses dan terkadang gagal. Dampaknya, mereka melalui revolusi industri secara bertahap, dari revolusi industri 1.0 ketika mesin uap pertama kali dikembangkan, hingga revolusi industri 4.0 teknologi artificial intelligence mulai mempengaruhi aktivitas ekonomi. 

Masalahnya, di era yang serba terkoneksi ini, akan sulit bagi sebuah negara baru, seperti Indonesia, untuk secara bertahap mengembangkan ekonominya dari nol. Tentunya, kita perlu sebuah loncatan agar bisa keep up dengan intensitas perekonomian dunia, bukan? Hal inilah yang kemudian disebut sebagai compressed development, atau pengembangan yang terkompresi. Maka dari itu, di negara yang berkembang seperti kita, mungkin ruang bagi pengembangan riset yang murni untuk ilmu pengetahuan sangatlah sempit. 

Mungkin, bila Indonesia memiliki sikap yang sama seperti Korea Utara (Korut), di mana mereka sama sekali dikucilkan oleh dunia, kita bisa memiliki perhatian politik yang cukup untuk mengembangkan teknologi bombastis, seperti misil berkapabilitas nuklir, dan semacamnya. Akan tetapi, karena kita adalah bagian dari masyarakat dunia yang tiada hentinya bersaing satu sama lain, segala riset yang ada di negara kita pun hanya akan didukung bila orientasi ekonominya sudah jelas, tanpa perlu waktu yang lama untuk riset tambahan. 

Dalam keadaan yang seperti itu, korupsi hanya menjadi salah satu gejala tambahan atas beragam kesulitan yang dihadapi negara dalam mengembangkan kapabilitasnya sendiri. 

Dari pandangan yang demikian, tentu kita bisa sedikit memahami alasan mengapa pemerintah perlu memiliki logika terhadap riset yang begitu berorientasi pada pragmatisme ekonomi. Aryanto di sini hanyalah salah satu korban dari sebuah negara yang mungkin dalam keadaan tidak berkutik melawan kerasnya persaingan dunia.

Akhir kata, besar harapannya Indonesia bisa sedikit demi sedikit memberi perhatian lebih pada potensi inovasi yang dikembangkan anak bangsanya. Karena pada akhirnya kemajuan sebuah negara bergantung pada kemajuan teknologinya, dan kemajuan teknologi tidak akan ada tanpa adanya dukungan politik. (D74) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Prabowo dan Lahirnya Gerakan Non-Blok 2.0?

Dengan Perang Dagang yang memanas antara AS dan Tiongkok, mungkinkah Presiden Prabowo Subianto bidani kelahiran Gerakan Non-Blok 2.0?

Kongres, Mengapa Megawati Diam Saja?

Dengarkan artikel ini. Audio ini dibuat dengan teknologi AI. Kongres ke-6 PDIP disinyalir kembali tertunda setelah sebelumnya direncanakan akan digelar Bulan April. Mungkinkah ada strategi...

Di Balik Kisah Jokowi dan Hercules?

Tamu istimewa Joko Widodo (Jokowi) itu bernama Rosario de Marshall atau yang biasa dikenal dengan Hercules. Saat menyambangi kediaman Jokowi di Solo, kiranya terdapat beberapa makna yang cukup menarik untuk dikuak dan mungkin saja menjadi variabel dinamika sosial, politik, dan pemerintahan.

Prabowo dan Strategi “Cari Musuh”

Presiden Prabowo bertemu dengan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri pada Senin (7/4) kemarin. Mengapa Prabowo juga perlu "cari musuh"?

Hegemoni Dunia dan Misteri “Three Kingdoms” 

Di dalam studi politik internasional, perdebatan soal sistem seperti unipolarisme, bipolarisme, dan multipolarisme jadi topik yang memicu perbincangan tanpa akhir. Namun, jika melihat sejarah, sistem hegemoni seperti apa yang umumnya dibentuk manusia? 

The Game: PDIP Shakes the Cabinet?

Pertemuan Prabowo dan Megawati menyisakan tanda tanya dan sejuta spekulasi, utamanya terkait peluang partai banteng PDIP diajak bergabung ke koalisi pemerintah.

Saga Para Business-Statesman

Tak lagi seputar dikotomi berlatarbelakang sipil vs militer, pengusaha sukses yang “telah selesai dengan dirinya sendiri” lalu terjun ke politik dinilai lebih ideal untuk mengampu jabatan politis serta menjadi pejabat publik. Mengapa demikian?

Yassierli, PHK, dan Kegagalan Menteri Dosen

Gelombang PHK massal terjadi di banyak tempat. Namun, Menaker Yassierli tampak 'tak berkutik' meski punya segudang kajian sebagai dosen.

More Stories

Kongres, Mengapa Megawati Diam Saja?

Dengarkan artikel ini. Audio ini dibuat dengan teknologi AI. Kongres ke-6 PDIP disinyalir kembali tertunda setelah sebelumnya direncanakan akan digelar Bulan April. Mungkinkah ada strategi...

Hegemoni Dunia dan Misteri “Three Kingdoms” 

Di dalam studi politik internasional, perdebatan soal sistem seperti unipolarisme, bipolarisme, dan multipolarisme jadi topik yang memicu perbincangan tanpa akhir. Namun, jika melihat sejarah, sistem hegemoni seperti apa yang umumnya dibentuk manusia? 

PHK Indonesia, Waspada Sindrom Katak Rebus? 

Bahaya PHK masih terus mengancam Indonesia. Bagaimana kita bisa mengambil pelajaran besar dari permasalahan ini?