Site icon PinterPolitik.com

Polemik JIS, Polemik Politik?

polemik jis polemik politik

Jakarta International Stadium (JIS) saat masih dalam proses pembangunan (FOTO: Kompas/Agus Susanto)

Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) dalam inspeksinya ke stadion Jakarta International Stadium (JIS) beberapa hari lalu, menyebut bahwa stadion tersebut akan direnovasi karena dianggap tidak memenuhi standar Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA). Meski terlihat sebagai upaya perbaikan yang baik, beberapa pihak justru merasa keputusan ini sarat akan motif politik, terutama  menjelang Pemilihan Umum 2024 (Pemilu 2024). Lantas, motif seperti apakah yang sebenarnya berlaku?


PinterPolitik.com

“Oknum-oknum ini mungkin mengira politik adalah menang-menangan saja.” Prabowo Subianto

Pemerintah menyatakan bahwa Jakarta International Stadium (JIS) perlu direnovasi karena tidak memenuhi standar Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) yang diharuskan. Renovasi ini meliputi beberapa aspek utama seperti masalah rumput, akses keluar masuk dan fasilitas transportasi umum.

Untuk masalah rumput, Chairman dari Karya Rama Prima (KaerPe) Qamal Mutaqin, menyebut sebenarnya jenis rumput di JIS tidak bermasalah, karena juga dipakai di beberapa stadion lain seperti stadion Si Jalak Harupat. Menurutnya, masalah utamanya adalah karena kurangnya pasokan air dan sinar matahari. Hal ini karena akar yang dangkal sehingga tidak bisa menerima air dengan cukup.

Meski begitu, banyak pihak yang merasa bahwa sebenarnya upaya perbaikan ini bermotif politik. Salah satunya adalah untuk mengaburkan “prestasi dan warisan” Anies Baswedan selama menjadi Gubernur DKI Jakarta. Hal ini tentunya berkaitan dengan Pemilihan Umum 2024 (Pemilu 2024) nanti.

JIS sendiri memang akan digunakan sebagai salah satu venue untuk gelaran Piala Dunia U-17 November nanti. Namun, apakah sebenarnya stadion ini memang membutuhkan renovasi dan perbaikan? Atau bisa jadi ini hanya untuk “akal-akalan” politik saja?

Masalah yang Dibesar-besarkan?

JIS bisa dibilang merupakan salah satu stadion terbaik yang ada di Indonesia saat ini. Karena dari segala aspek, mulai dari desain, kapasitas dan infrastruktur, sangat mumpuni dibanding kebanyakan stadion lain di Indonesia.

Meski begitu, bukan berarti stadion ini tidak memiliki kelemahan dan kekurangan saat ini. Karena sebenarnya ada beberapa aspek mengkhawatirkan yang memang harus direnovasi dan diperbaiki.

Masalah utama adalah soal akses dan transportasi. Jika kita perhatikan di peta, maka terlihat JIS tidak seperti kebanyakan stadion di Indonesia yang memiliki beberapa akses keluar-masuk. Hal ini tentu berbahaya jika sampai terjadi kepadatan di akses satu satunya tersebut. Maka renovasi di aspek ini memang dibutuhkan.

Sementara untuk lahan parkir, tercatat JIS hanya memiliki sekitar 1.200 kapasitas saja. Rencananya akan diperbesar kapasitasnya hingga 5.000 kendaraan. Lahan Intermediate Treatment Facility (ITF) Sunter akan diubah menjadi lahan parkir nantinya.

Kekurangan lahan parkir ini juga disampaikan oleh Ketua Umum The Jakmania, Diky Soemarno yang meminta pemerintah untuk memperluasnya. Menurutnya kebiasaan orang Indonesia yang masih memakai kendaraan pribadi atau rombongan menggunakan bus akan membutuhkan lebih banyak lahan parkir.

Sementara itu, untuk aspek transportasi umum belum sepenuhnya tersedia. Meski telah ada layanan Transjakarta, namun tetap diperlukan tambahan moda transportasi lain. Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta menyatakan bahwa pembangunan Kereta Rel Listrik (KRL) di kawasan JIS sudah mencapai 30% pembangunannya. Tentu hal ini memang diperlukan untuk penyempurnaan JIS.

Meski memang dari aspek-aspek di atas JIS tampak masih perlu direnovasi, tapi sebenarnya apa yang dikatakan pemerintah seluruhnya soal renovasi JIS bisa dibilang terlalu berlebihan atau hiperbola. Terutama, soal masalah rumput yang digunakan di lapangan JIS.

Model rumput hibrida yang digunakan di JIS sendiri bukan model yang “aneh”, karena di stadion-stadion Eropa juga banyak yang telah menggunakan model ini. Jika memang ada masalah dalam penyinaran dan kandungan air, akan lebih bijak bagi pemerintah untuk menyelesaikannya tanpa menyorotnya terlalu tajam.

Selain itu, dengan menggunakan kata “tidak standar FIFA” tentu membuat kegaduhan dan kritik dari berbagai pihak. Secara objektif, meski JIS memang tidak sempurna, tapi  JIS bukan stadion yang begitu jelek sehingga tidak memenuhi standar.

Jika kita bandingkan dengan stadion lain yang sering digunakan oleh tim nasional (Timnas), seperti Stadion Pakansari dan Patriot, tentu JIS jauh lebih baik dari segala sisi. Atau dengan kebanyakan stadion klub-klub Liga 1, tentu kita mengakui JIS masih jauh lebih baik.

Lantas, apakah pernyataan “hiperbola” pemerintah memang dipengaruhi oleh motif politik? Dan mungkinkah ini jadi indikasi bahwa sepak bola selalu menjadi objek politisasi di Indonesia?

Korban Pemilu 2024?

Dalam setiap pemilu, kompetisi dan persaingan antar partai atau para calon kepala daerah dan negara adalah hal yang wajar. Persaingan ini seharusnya menjadi sebuah ajang untuk saling menunjukkan kelebihan mereka dari yang lain.

Meski begitu, negative campaigning masih sering terjadi. Hal ini sendiri merujuk pada kegiatan yang dilakukan untuk menunjukkan citra buruk dari seseorang, yang bisa juga merupakan lawan politik.

Dalam kasus JIS, meski tentu pemerintah tidak mengakuinya, pernyataan bahwa JIS tidak sesuai dengan “standar FIFA” merupakan sebuah gambaran persaingan tidak sehat antara pemerintah dan oposisi. 

Hal ini besar dugaannya bersinggungan dengan pertarungan paling panas dalam Pemilu 2024 nanti, yakni antara PDIP vs koalisi perubahan, dan Anies vs Ganjar. 

JIS sendiri sangat identik dengan Anies Baswedan, bahkan bisa disebut sebagai sebuah warisan dan prestasi yang dibanggakan oleh para pendukung Anies. Pernyataan ketidaksesuaian JIS dengan standar FIFA tentu terlihat seperti ingin memperburuk citra JIS, dan juga berdampak pada citra Anies.

Kalau memang dugaan ini benar, maka kita bisa melihatnya lewat sesuatu yang disebut policy reversal theory. Teori dari Christopher Hood ini menyatakan bahwa penguasa yang baru kerap kali akan berusaha untuk menghapus dan menghilangkan warisan dan jejak dari pemerintahan lama. Hal ini bisa berlaku pada kebijakan dan infrastruktur dari pemerintahan sebelumnya.

Dalam konteks JIS dan pemprov DKI, kebijakan saat ini dapat terlihat sebagai suatu upaya untuk menghilangkan pengaruh dan warisan Anies. Seperti penggantian slogan “Jakarta, Kota Kolaborasi” menjadi “Sukses Jakarta untuk Indonesia, misalnya. Lalu, renovasi JIS yang secara besar-besaran, dan framing yang menunjukkan kesan betapa “buruknya” JIS juga dapat dipandang memiliki maksud seperti itu.

Akhir kata,  kita semua tentu berharap bahwa “hajatan” negara di event Piala Dunia U-17 ini jangan sampai dipolitisasi. Rasa-rasanya, sudah cukup pengalaman batalnya Piala Dunia U-20 beberapa bulan lalu,  yang salah satunya dikarenakan masalah politik.

Tentu, mimpi agar Indonesia bisa berlaga dan menyelenggarakan event Piala Dunia bisa dimulai dari kejuaraan U-17 nanti. Seperti yang dikatakan oleh Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, bahwa jangan sampai kita merunyamkan sepak bola dengan politik. Tentu semua pihak, baik pemerintah, oposisi, masyarakat sama-sama ingin melihat Indonesia dikenal dunia.

Maka dari itu, semoga tuduhan politisasi pada polemik JIS itu tidak benar-benar terjadi. Harapannya, pemerintah bisa lebih objektif dan pihak lain bisa lebih menghargai usaha pemerintah. Karena pada akhirnya, semua yang dilakukan akan balik  untuk kebaikan Indonesia. (R87)

Exit mobile version