Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Anwar Makarim memberikan instruksi tegas untuk menjatuhkan sanksi kepada oknum pengajar yang disebut-sebut terlibat dalam polemik kewajiban pengenaan hijab bagi siswi non muslim di salah satu sekolah di Kota Padang, Sumatera Barat. Sudah tepatkah instruksi Nadiem tersebut?
Fauzi Bahar mungkin tak pernah mengira bahwa instruksi yang Ia keluarkan 15 tahun lalu terkait kewajiban siswi mengenakan jilbab di sekolah menuai polemik bertahun-tahun setelah dirinya tak lagi menjabat sebagai Wali Kota Padang. Ya, aturan tersebut kini memang tengah menjadi buah bibir masyarakat seantero negeri selama sepekan terakhir.
Polemik ini berawal dari video viral di media sosial yang diduga merekam pertemuan antara salah satu orang tua murid dengan pihak Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 2 Kota Padang. Pertemuan itu disebut-sebut merupakan buntut dari penolakan salah seorang siswi beragama non muslim yang merasa keberatan menjalani kewajiban mengenakan atribut Islami di sekolah.
Menanggapi kontroversi ini, Fauzi Bahar pun akhirnya angkat suara. Ia menyebut Instruksi Wali Kota Padang No. 451.442/BINSOS-iii/2005 tersebut dikeluarkan salah satunya dimaksudkan untuk mengembalikan nilai-nilai budaya Minang. Ia kemudian heran mengapa instruksi yang telah berlaku selama belasan tahun itu baru diributkan saat ini.
Polemik yang berkepanjangan ini pun akhirnya sampai ke telinga Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Anwar Makarim. Ia merespons kejadian ini dengan meminta Pemda setempat memberikan sanksi tegas bagi seluruh pihak yang terbukti terlibat, termasuk kemungkinan pembebasan tugas.
Namun bukannya mendapatkan pujian, ultimatum Nadiem itu malah menuai sentimen minor dari kalangan pengamat di dunia pendidikan. Pemerhati Pendidikan Indra Charismiadji mengatakan jika tak menjaga jarak dengan insan pendidikan, Nadiem seharusnya tahu bahwa para pendidik di SMKN 2 Padang hanya menjalankan instruksi Wali Kota.
Menyikapi polemik ini, maka pertanyaan yang perlu dijawab adalah mengapa di tingkat lokal, aturan-aturan yang bersifat eksklusif bagi kelompok masyarakat tertentu ini kerap muncul dan menuai polemik?
Identitas Itu Alamiah?
Selain untuk menghidupkan kembali budaya Minang di tengah masyarakat, Fauzi Bahar mengaku instruksi yang Ia terbitkan demi melindungi perempuan, terutama kaum minoritas di tempat mayoritas.
Berkaca dari pernyataan Fauzi tersebut, maka persoalan ini memang tak bisa dilepaskan dari logika mayoritas-minoritas yang hidup di tengah masyarakat. Dalam konteks sosiologi, kecenderungan masyarakat mayoritas yang ingin mendominasi kelompok yang lebih inferior berkaitan dengan konsep yang disebut Social Dominance Orientation atau dominasi kelompok sosial.
Namun sebelum masuk pada pembahasan tersebut, kiranya kita perlu memetakan dulu apa akar persoalan yang menyebabkan fenomena Social Dominance Orientation itu dapat terjadi. Dalam konteks ini, sepertinya berlaku bias yang disebut dengan in-group bias atau in-group favoritism.
Guido Hertel dan Norbert L.Kerr dalam tulisan mereka yang berjudul Priming In-Group Favoritism: The Impact of Normative Scripts in the Minimal Group Paradigm mengatakan bahwa in-group favoritism ini membuat seseorang berusaha untuk mempertahankan kekhasan positif dalam perbandingan sosial dengan meningkatkan status kelompoknya. Sebab kekhasan positif tersebut dianggap sebagai konsep diri atau identitas sosial mereka.
Terkait dengan hal itu, pemahaman manusia akan identitas sebenarnya merupakan sesuatu yang alamiah. Sejumlah ahli bahkan menyebut ada bagian tertentu dalam otak manusia yang khusus berfungsi memproses informasi mengenai identitas. Nicklas Balboa and Richard D. Glaser dalam tulisannya yang berjudul The Neuroscience of Identity mengatakan bagian otak itu disebut korteks prefrontal medial dan korteks prefrontal dorsal medial.
Korteks prefrontal medial disebut berperan dalam mengubah pemikiran kita menjadi egosentris, sedangkan korteks prefrontal dorsal medial aktif ketika manusia memproses informasi sosial yang menonjol terkait posisi seseorang dalam kelompok. Berangkat dari sini, maka dapat dikatakan orientasi manusia terhadap identitas adalah sesuatu yang sangat alamiah dan sulit untuk dihindari.
Social Dominance Theory
Pemahaman mengenai sifat naluriah manusia dalam memproses identitas tersebut kemudian dapat memudahkan kita untuk memahami mengapa fenomena Social Dominance Orientation ini jamak terjadi di masyarakat.
Stephen Laa Macchia dan Helena R.M. Radke dalam tulisannya yang berjudul Social Dominance Orientation menyebut ada tiga bentuk dasar dalam teori dominasi kelompok sosial. Pertama, dominasi yang berlandaskan pada usia. Kedua, dominasi yang berlandaskan pada gender. Ketiga, dominasi yang berlandaskan pada kelompok sosial.
Macchia dan Radke kemudian menilai hierarki masyarakat yang berbasis pada kelompok sosial ini cenderung memiliki ketahanan yang kuat dalam menghadapi perubahan sosial.
Hierarki semacam ini bahkan dinilai mampu mempertahankan status quo konsensual termasuk menetapkan nilai-nilai yang dianggap positif dan negatif untuk didistribusikan ke kelompok-kelompok sosial berbeda yang ada di masyarakat. Ini kemudian ditandai dengan terserapnya nilai-nilai kolektif kelompok dominan ke dalam seperangkat aturan bermasyarakat dan bernegara. Dalam kacamata hukum, ini dikenal dengan teori budaya hukum.
Lawrence M. Friedman sebagaimana dikutip oleh Any Ismayawati dalam tulisannya yang berjudul Pengaruh Budaya Hukum terhadap Pembangunan Hukum di Indonesia mengatakan bahwa kultur hukum merupakan pola pengetahuan, sikap, dan perilaku sekelompok masyarakat terhadap sebuah sistem hukum. Dari pola-pola tersebut, dapat dilihat tingkat integrasi masyarakat tersebut dengan sistem hukum terkait.
Selain itu, argumen Fauzi Bahar yang menyebut bahwa salah satu tujuan dari diterbitkannya Instruksi tersebut demi mengembalikan kebudayaan Minang bisa juga dilihat melalui konsep teori hukum responsif.
Philippe Nonet dan Philip Selznick dalam buku mereka yang berjudul Law and Society in Transition mengatakan bahwa hukum responsif menekankan pada pandangan kritis bahwa hukum merupakan cara untuk mencapai tujuan. Sifat responsif dapat diartikan sebagai usaha melayani kebutuhan dan kepentingan sosial.
Dalam konteks ini, kepentingan Fauzi Bahar adalah ingin kembali menghidupkan falsafah hidup masyarakat Minang, selaku kelompok mayoritas di Padang, yang memang berorientasi pada nilai-nilai agama Islam dengan adagiumnya adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah yang berarti adat bersendi kepada agama, agama bersendi pada Alquran.
Kemudian, jika memang instruksi Wali Kota tersebut merupakan upaya untuk melayani kebutuhan dan kepentingan sosial terkait identitas, mengapa kemudian hal ini menimbulkan gesekan seperti yang terjadi dalam polemik SMKN 2 Padang?
Potensi Konflik
Kendati dianggap sebagai sesuatu yang alamiah, namun Amartya Sen dalam bukunya Identity and Violence: The Illusion of Destiny menyebut bahwa identitas merupakan ilusi yang begitu kejam.
Menurut Sen, rasa memiliki identitas tidak hanya menjadi sumber tumbuhnya kekuatan dan kepercayaan diri, melainkan juga melahirkan rasa keterikatan yang kuat dan eksklusif yang menciptakan persepsi tentang jarak dan keterpisahan dari kelompok lain. Pada kasus ekstrem, Ia juga mencontohkan berbagai kasus, di mana identitas telah menjadi pemicu konflik sosial dan pembunuhan.
Kendati begitu, dalam konteks polemik SMKN 2 Padang, perlu digarisbawahi pula bahwa hingga kini, belum ada aturan hukum yang tegas melarang kepala daerah untuk menerbitkan peraturan yang berbasis nilai-nilai agama maupun budaya, seperti misalnya Peraturan Daerah (Perda) Syariah.
Syamsul Wahidin dan Abdurrahman dalam tulisannya yang berjudul Perkembangan Ringkas Hukum Islam di Indonesia tak menyangkal bahwa kembalinya bangsa Indonesia ke Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 melalui Dekrit Presiden yang mengaitkannya dengan Naskah Piagam Jakarta, memang belum bisa dijadikan landasan bagi berlakunya Syariat Islam di Indonesia secara utuh.
Namun, di sisi lain hal itu telah memberikan tempat bagi kedudukan Syariat Islam di Indonesia. Dengan kata lain, ada peluang yang diberikan Konstitusi untuk dimanfaatkan umat Islam dalam pembentukan perundang-undangan nasional yang didasarkan kepada Syariat Islam.
Dengan mempertimbangkan adanya kompleksitas persoalan sosial, budaya, dan hukum dalam polemik ini, maka instruksi sepihak Mendikbud Nadiem yang memerintahkan agar oknum pengajar SMKN 2 Padang diberi sanksi pemecatan bisa dianggap sebagai keputusan yang gegabah. Apalagi, Kepala SMKN 2 Padang, Rusmadi sendiri mengaku belum pernah sekali pun dimintai klarifikasi oleh pihak Kemendikbud.
Sebaliknya, Pemerhati Pendidikan Indra Charismiadji menyarankan Nadiem untuk menggelar dialog internal dengan pihak sekolah untuk menyelesaikan polemik ini. Sementara terkait dengan kompleksitas hukum, Kemendikbud kiranya juga perlu membahas persoalan tersebut bersama instansi pemerintah terkait seperti Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agama, dan Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam) karena persoalan ini menyangkut instruksi kepala daerah.
Pada akhirnya, suka tidak suka, fenomena lahirnya peraturan-peraturan lokal yang berbasis nilai budaya dan agama tertentu adalah realitas yang tak bisa disangkal karena didorong orientasi alamiah manusia dalam memandang identitas. Tinggal bagaimana komitmen negara dalam menyelesaikan kompleksitas hukum agar persoalan di SMKN 2 Padang dan permasalahan serupa di daerah lain tak terus menerus menjadi polemik yang berulang di kemudian hari. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F63)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.