Site icon PinterPolitik.com

Polarisasi Masyarakat Hanya Mitos?

Polarisasi Masyarakat Hanya Mitos?

Ailangga Hartarto. (Foto: suaramerdeka.com)

Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto menganggap polarisasi di masyarakat sulit terjadi karena kearifan dalam masyarakat begitu kuat mengikat persatuan. Namun, banyak yang melihat ini bertentangan dengan kenyataan, di mana keterbelahan cenderung terjadi akibat perbedaan politik. Lantas, misteri seperti apa di balik  polarisasi masyarakat ini?


PinterPolitik.com

Polarisasi dalam tubuh masyarakat menjadi isu  yang hangat paska pengeroyokan Ade Armando saat momen demonstrasi mahasiswa di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 11 April  2022. Dan pada momen buka bersama kemarin, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto juga mengangkat isu terkait polarisasi.

Airlangga dalam forum tersebut mengatakan umat Islam sekiranya perlu mempunyai peran aktif terhadap pencegahan polarisasi di masyarakat. Ia berharap dengan adanya peran tersebut, maka bangsa Indonesia tidak akan terpecah belah hanya karena perbedaan politik.

Dengan keberagaman yang terbentuk di Indonesia, ini membuat bangsa rentan terpolarisasi. Secara geografis misalnya, bangsa ini dibentuk oleh jumlah suku bangsa yang mendiami suatu wilayah Indonesia yang sangat banyak dan tersebar di berbagai tempat.

Sebagai negara kepulauan, terjadi perbedaan antar suku yang mendiami satu pulau dengan pulau lain. Negara ini berada di satu kawasan yang berbeda-beda budayanya. Dengan jumlah total 1.128 suku, disinyalir juga membentuk beraneka ragam norma-norma, perilaku, termasuk sistem kepercayaan yang berbeda-beda.

Dari pengetahuan umum ini, mungkin menjadi dasar Airlangga untuk mengatakan pada forum tersebut bahwa Indonesia dengan karakter bangsanya, bukanlah negara yang mudah terpecah belah.

Airlangga juga menyayangkan jika Indonesia terpecah belah hanya karena perbedaan pandangan politik, di mana perbedaan tersebut dikarenakan hasil susupan dari berita bohong atau hoaks yang tersebar di tengah masyarakat.

Well, argumentasi Airlangga rupanya jika ditinjau mempunyai landasan historis maupun teoretis tentang kesatuan bangsa yang sulit terpolarisasi meski beragam. Lantas, seperti apa memahami konsep bangsa yang utuh ini?

Keajaiban Kesatuan Bangsa

Kishore Mahbubani dalam tulisannya Indonesia’s Democratic Miracle, mengatakan Indonesia merupakan negara mayoritas Islam yang mampu melanggengkan nilai-nilai kebebasan dan demokrasi yang notabene diperkenalkan di Barat.

Bahkan Mahbubani mengistilahkan Indonesia sebagai mercusuar negara Islam yang seolah diberikan keajaiban bisa bertahan di tengah krisis dan keberagaman yang begitu kompleks. Bahkan jika dibandingkan dengan Amerika Serikat (AS), Indonesia bisa tetap toleran meski terjadi peristiwa-peristiwa terorisme dengan intensitas tinggi.

Mahbubani meminjam pengamatan  dari seorang pakar Indonesia, yaitu Benedict Anderson, yang memperlihatkan bahwa budaya Jawa dengan tradisi wayang yang dimilikinya dapat menjadi pengikat keberagaman yang begitu kompleks di Indonesia.

Sejalan dengan dampak Jawa sebagai pengikat, Jared Diamond dalam bukunya Upheaval: Bagaimana Negara Mengatasi Krisis dan Perubahan, mengatakan, meski bahasa Jawa digunakan oleh sepertiga populasi, justru bahasa Indonesia dipilih sebagai bahasa nasional untuk menghindari persepsi dominasi Jawa.

Hal ini memperlihatkan sikap terbuka dalam menentukan sikap dan pilihan. Karakter ini tidak berangkat dari ruang yang kosong. Karena terdapat pula tradisi Indonesia yang kuat untuk menyelesaikan perselisihan, yaitu dengan konsep ‘musyawarah’ dan ‘mufakat’.

Bahkan, karakter musyawarah dan mufakat ini tidak hanya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Musyawarah juga diperlukan dalam skala yang lebih sempit, semisal dalam kehidupan rumah tangga.

Dalam musyawarah yang dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai demokrasi Pancasila, biasanya sering dilakukan untuk menentukan hasil dari suatu diskusi. Jika mengalami kebuntuan, maka akan dilakukan pemungutan suara atau voting. Artinya voting bukan prioritas.

Selain mencapai kesepakatan bersama, sejatinya musyawarah memiliki banyak manfaat, diantaranya sebagai media untuk melatih seseorang agar berani mengemukakan pendapat dan menguraikannya secara jelas sehingga mudah dimengerti oleh pendengar.

Fitrah masyarakat Indonesia yang toleran itu bukan merupakan keajaiban semata.  Toleransi ini berasal dari psikologi bangsa, sebuah psikologi yang merasa diri benar itu tidak masalah, namun merasa diri paling benar itu bisa berbuah masalah. Merasa diri pintar itu boleh saja, tapi merasa diri paling pintar dan membodohkan yang lain itu jadi masalah.

Pribadi moderat adalah pribadi yang tidak merasa “paling”. Berpendapat sesuatu itu baik, namun membuka celah bahwa mungkin ada yang lebih baik. Sebuah masyarakat yang merasa benar tetapi tidak memaksa orang untuk sependapat dengannya. Ini adalah kunci kesatuan bangsa.

Namun tentu pertanyaannya, jika secara historis dan teoretis telah dibuktikan bahwa bangsa Indonesia tidak mudah terpecah belah, bahkan di tengah masalah-masalah geografis dan budaya. Lantas mengapa kita mengalami polarisasi politik?

Polarisasi Akibat Elite Politik?

Perbedaan yang terjadi dalam masyarakat merupakan anugerah, jika perbedaan ini dianggap membawa hal yang baik bagi bangsa. Tapi jika perbedaan ini berujung pada keterbelahan yang dekonstruktif, maka sesungguhnya ini merupakan bencana bagi bangsa kita.

Hal ini tampak jelas pada realitas politik. Konstitusi bangsa yang digagas oleh pendiri berupaya menekankan adanya kesetaraan antara semua suku dan agama di Indonesia. Tidak ada dikotomi antara hak mayoritas dengan minoritas.

Jika kita potret akar ketebalan dalam politik, sejatinya polarisasi kian tajam sejak pemilihan presiden pada 2014 yang diikuti oleh dua calon, yaitu Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto. Kontestasi dua politisi berulang kembali pada pemilihan presiden 2019.

Sedemikian tajamnya sehingga muncul seruan apa yang disebut sebagai rekonsiliasi nasional. Karena diharapkan isu-isu yang fundamental, seperti agama, adalah isu yang paling mudah dipacu untuk melahirkan sentimen-sentimen dasar dalam politik dapat mereda.

Jika ingin jujur, polarisasi politik sejatinya terbentuk karena perbedaan kepentingan para elite politik yang saling bersaing dalam merebut kekuasaan. Fakta sosio-politik seperti ini yang menjadi bukti bahwa keterbelahan di akar rumput tidak lepas dari efek determinis para elite politisi. Dengan kata lain, akar rumput akan selalu mengekor pada elite politik.

Polarisasi politik tersebut telah menimbulkan permusuhan dan kebencian. Jika perpecahan ini masih terus berlanjut, maka khawatir hal itu akan membahayakan keutuhan Indonesia. Dan hal itu terlihat kembali pada isu yang saat ini sedang ramai, yaitu mengenai penundaan pemilu.

Agus Priyono dalam tulisannya Isu Penundaan Pemilu dan Polarisasi Kekuatan Politik, mengatakan, pernyataan pejabat di lingkaran Istana yang kontroversial telah memicu banyak respons, hingga menjadi polemik yang rentan melahirkan polarisasi. 

Bahkan secara nyata polarisasi itu terbentuk akibat pernyataan para pejabat politik. Terkait  isu penundaan pemilu, elite terpolarisasi menjadi tiga poros kekuatan politik. Pertama, penundaan pemilu yang dipimpin oleh poros Istana. Di poros ini ada Menko Marves Luhut dan secara eksplisit didukung oleh PKB, PAN, dan Golkar.

Kedua, poros konstitusional yang terdiri dari PDIP, Gerindra, NasDem, PKS, PPP dan Demokrat yang menolak penundaan. Ketiga, poros rakyat biasa, mayoritas dari mereka menolak penundaan pemilu, seperti yang dilaporkan oleh berbagai lembaga survei.

Dari realitas di atas, terlihat jelas bahwa polarisasi dalam masyarakat sekiranya berasal dari para pejabat publik dan elite politik. Argumentasi ini merupakan sebuah pledoi rakyat pada penguasa yang selalu menuduh polarisasi terbentuk secara alamiah dari bawah.

Sebagai saran, para elite politik yang merupakan calon pemimpin bangsa ini, dapat lebih bijaksana dan mengedepankan nilai-nilai demokrasi yang sesungguhnya, yakni musyawarah mufakat. Kita tidak ingin perpecahan itu dapat sampai mengubah identitas atau ideologi bangsa.

Harapan besar kita bertumpu pada elite politik yang harus menunjukkan jiwa kenegarawanannya. Di mana dalam berpolitik sekalipun, siasat yang digunakan tetap menjunjung semangat keindonesiaan, sehingga potensi memecah belah keragaman bisa dihindari. (I76)


Exit mobile version