Site icon PinterPolitik.com

PMP Kembali, Jokowi Menuju Orba?

Foto: Reuters

Wacana untuk memasukkan mata pelajaran Penanaman Moral Pancasila (PMP) oleh Kemendikbud mengingatkan kembali pada rezim Orde Baru, di mana Pancasila dijadikan alat indoktrinasi melawan paham-paham yang dianggap bertentangan.


Pinterpolitik.com 

[dropcap]P[/dropcap]emerintah, melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) berencana untuk memasukkan kembali mata pelajaran Penanaman Moral Pancasila atau PMP pada kurikulum sekolah.

Pemerintah berpendapat, wacana tersebut dihidupkan kembali atas dasar menguatnya paham-paham radikal dan intoleran yang berkembang dalam institusi pendidikan. Beberapa survei menyatakan hal tersebut.

Rencana tersebut menuai pro dan kontra. Banyak yang mendukung, namun tidak sedikit yang menolak. Bagi para penolak rencana itu, pemerintah terkesan gegabah dan misleading dalam mengambil keputusan. Selain itu, rencana tersebut ditengarai akan menimbulkan suasana romantika era Orde Baru (Orba).

Apalagi saat ini dalam kurikulum sekolah sudah ada mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) yang secara konsep mirip dengan PMP.

Sejalan dengan hal itu, ada anggapan bahwa rencana pemerintah tersebut merupakan salah satu upaya untuk mengukuhkan rezim yang berkuasa saat ini. Dalam hal ini, Joko Widodo (Jokowi) dianggap sedang membangun sebuah pondasi untuk mempertahankan rezim dengan cara meredam isu-isu yang tidak sesuai dengan Pancasila – menurut penafsiran pemerintah – dan paham-paham lainnya, termasuk isu PKI yang selama ini selalu menghantam citranya.

Lantas pertanyaannya adalah bagaimana seharusnya Pancasila diajarkan dalam institusi pendidikan? Mungkinkah wacana pemberlakuan PMP tersebut akan terwujuddan benarkah menjadi taktik Jokowi untuk mengukuhkan rezimnya demi memberangus paham-paham yang bertentangan dengan kepentingan politiknya?

Pendidikan Emansipatoris

Memang jika diperhatikan, berkembangnya paham-paham radikal cukup meresahkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Penetrasi kelompok radikal saat ini dianggap sangat masif di berbagai lini kehidupan. Bahkan penetrasi di dunia pendidikan bisa dikatakan yang paling berhasil.

Hal itu terjadi lantaran adanya kekosongan ideologi kebangsaan di dalam lingkungan sekolah dan tidak efektifnya pendidikan kewarganegaraan. Riset yang dilakukan oleh Ma’arif Institute terkait sekolah misalnya, menemukan belum adanya kebijakan internal sekolah yang secara spesifik menguatkan kebhinekaan.

Selain itu, lemahnya kesadaran masyarakat dinilai sebagai penyebab dari mudahnya terpapar paham-paham radikal. Dalam hal ini, tokoh pendidikan asal Brazil, Paulo Freire memberikan analisanya terkait apa yang dibutuhkan oleh pendidikan untuk menumbuhkan pemikiran kritis.

Menurut Freire, dibutuhkan pendidikan untuk kembali ke masyarakat dan membantu mereka untuk memasuki proses pembentukan sejarahnya secara kritis. Ia kemudian menjelaskan bahwa prasyarat yang dibutuhkan adalah bentuk pendidikan yang memungkinkan individu merefleksikan dirinya, tanggung jawabnya dan perannya dalam konteks sosio-politiknya. Bahkan pendidikan yang mengindoktrinasi harus dihindari, dan diarahkan ke konsep yang lebih emansipatoris.

Melihat bagaimana Indonesia mengaktualisasi pendidikannya, maka perlu ada redefinisi makna dari “kualitas” pendidikan. Hal ini tidak hanya mengacu pada kualitas pendidikan dari sudut pandang yang teknis, seperti kemampuan membaca dan berhitung, namun juga harus terbuka akan beragam permasalahan yang tak tampak di dalam kelas, atau sering disebut hidden curriculum.

PMP yang diwacanakan pemerintah menuai kontroversi. Share on X

Hierarki ilmu pengetahuan dan strukktur sosial yang masih sangat terpaku pada penafsiran Orba  yang cenderung bersifat indoktrinasi dengan melihat pendidikan sebagai hasil akhir dan bukan sebuah proses, hanya membuat pendidikan menjadi proses massification – produksi massal layaknya pabrik – dan pada akhirnya tidak memberikan jalan bagi para peserta didik untuk mengeksplorasi dan merefleksikan diri terkait dengan keadaan masyarakatnya secara kritis dan objektif.

Yang diharapkan oleh Freire akan sebuah pendidikan yang reflektif terhadap diri maupun struktur sosio-politik, adalah agar terbentuk sebuah kapasitas kritis untuk memilih. Tujuannya adalah membentuk masyarakat yang sejatinya demokratis, yang mampu mengerti ketika kebutuhan mereka telah ditunggangi oleh kepentingan para elite, yang mampu melihat melampaui retorika politik, maupun penyebaran paham-paham radikal dan intoleran yang belakangan ini marak akibat politik identitas.

Sayangnya, pendidikan hari ini hanya mematikan daya pikir, tak menyentuh secara kritis keadaan masyarakat dan hanya menanamkan retorika toleransi yang dilandasi oleh solidaritas semu.

Indoktrinasi Orba, Ingin Diulang?

Dalam satu bab disertasinya yang kemudian dibukukan dengan judul Illiberal Democracy in Indonesia: The ideology of the family state, David Bourchier menunjukkan bagaimana rezim Orba mengkonstruksi Pancasila sebagai asas tunggal ideologi bangsa.

Pada tahun 1975, Orba mulai memberlakukan kurikulum PMP sebagai pengganti Pendidikan Kewarganegaraan dan pendidikan Budi Pekerti. Tiga tahun kemudian, tepatnya pada 1978, Soeharto membelokkan kerangka diskusi Pancasila, dari semula sebagai falsafah politik menjadi pedoman berperilaku. Pendidikan pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila (P4) pun diresmikan dan berlaku ke seluruh pelajar dan pegawai pemerintah melalui keputusan MPR no. II/1978.

Lebih lanjut Bourchier menulis bahwa PMP dimaksudkan sebagai penegas batasan antara Pancasila dan komunisme yang “ateistik”. Model penafsiran ini membuat masing-masing sila tersusun bak piramida, dengan sila pertama sebagai sila yang paling puncak dan pokok.

Redefinisi Pancasila sebagai pedoman tingkah laku ini pula menjadi sangat operasional ketika Orba menghadapi perlawanan Islam politik sepanjang dekade 1980-an dan ketika rezim mulai memangkas subsidi dan melakukan deregulasi pada 1988.

Tangan kanan Soeharto pada saat itu, Ali Moertopo, seperti ditulis oleh Bourchier, menyebutkan bahwa P4 didesain untuk “mengindonesiakan masyarakat Indonesia.”

Moertopo mengklaim Pancasila digali dari nilai-nilai luhur budaya bangsa. Menurutnya, bangsa Indonesia tak butuh ideologi politik seperti sosialisme, komunisme, liberalisme, ideologi agamis, bahkan nasionalisme. Hal ini juga ditekankan oleh Soeharto dalam pidatonya pada April 1980.

Pidato itu sebetulnya momentum yang telah dinantikan Soeharto, yang mendambakan ketertiban sosial sejak 1968. Kecaman Soeharto terhadap “ideologi-ideologi asing” mencerminkan ketidaksukaannya terhadap kompetisi politik. Kenyataannya, fusi partai-partai politik ke dalam tiga partai besar pada 1971 terbukti gagal meredam persaingan antar-golongan, juga antar-ideologi.

Pancasila pun kemudian menjadi alat represi politik. Sejak itu ia jadi mantra, hafalan, dan etiket sosial yang diujikan tiap semester di sekolah-sekolah. Sejak itu pula kampus-kampus sibuk dengan diskusi seputar Demokrasi Pancasila, Ekonomi Pancasila, hingga yang paling absurd dari segalanya, gurauan “sepak bola Pancasila”.

Sementara itu, di sisi lain, saat ini pemerintahan Jokowi hendak mengembalikan lagi fungsi PMP dalam mata ajar pendidikan. Meski hal itu masih sekedar wacana, namun bisa dimaknai sebagai sesuatu yang gegabah dan naif.

Hal ini salah satunya disampaikan oleh pengurus Asosiasi Profesi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) Indonesia, Satriwan Salim. Salim menyebutkan bahwa rencana tersebut naif dan tidak tepat karena pada dasarnya pelajarannya sudah ada, yakni pada PPKn.

Lebih jauh, hal itu malah ditakutkan akan mengarah pada kondisi yang berkembang pada masa Orba. Sebab pelajaran tersebut hanya menjadi sekedar mantra dan hafalan. Pada akhirnya akan menyempitkan pola pikir dengan menerima Pancasila sebagai asas tunggal yang tidak bisa ditawar atau diinterpretasi.

Seharusnya pemerintah sadar bahwa Pancasila adalah ideologi yang terbuka terhadap pemikiran-pemikiran lain yang konnstruktif. Keterbukaan ini bukan celah untuk merongrong atau mengganti ideologi tersebut, melainkan untuk mengisi dan mengokohkannya serta memperkuat kehidupan bersama.

Jika memang paparan paham-paham radikal yang dianggap menggerus nilai-nilai Pancasila seharusnya dilawan dengan menanamkan kritisisme, sehingga mampu menumbuhkan afeksi para siswa dan mendorong mereka untuk mengaplikasikan nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya.

Jokowi Kuatkan Pondasi

Sebetulnya, hal ini bisa juga dilihat sebagai upaya Jokowi untuk mereduksi isu-isu yang saat ini sedang menghinggapi rezimnya, misalnya paham-paham radikal dan intoleran, serta isu tentang PKI.

Isu PKI kembali mencuat di tahun politik dengan menyeret nama Jokowi sebagai anggota partai “haram” tersebut.

Untuk meredam isu PKI ini, maka wacana menghidupkan kembali mata pelajaran PMP ini dibuat.

Sebelum ini, Jokowi melalui Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) juga telah mengeluarkan kebijakan tentang Unit Kegiatan Mahasiswa Pengawal Ideologi Bangsa (UKM-PIB) di kampus-kampus. Alasannya sama, untuk menangkal paham radikal tersebut.

Jauh sebelum itu, DPR pun telah mengesahkan Undang-Undang Ormas yang diusulkan oleh pemerintah dengan alasan yang lagi-lagi sama, menjaga ideologi Pancasila dari ancaman paham “asing”. Undang-undang tersebut sudah memakan ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebagai korban pertamanya.

Dalam berbagai tulisan, banyak pihak yang menyebutkan jika Islam politik akan menjadi lawan utama Jokowi dalam kontestasi Pilpres 2019. Oleh karenanya, Jokowi perlu meredam kekuatan-kekuatan ini agar tidak mengganjal langkah politiknya. Jurnalis Nithin Coca, menulis dalam situs Religion News bahwa pasca kasus Ahok, Jokowi cenderung khawatir dan memanfaatkan Pancasila untuk melawan “ancaman” politik identitas Islam.

Pada akhirnya, tidak ada yang salah dengan upaya memperkuat Pancasila sebagai ideologi bangsa. Pancasila dalam mata ajar juga penting dalam konteks pendidikan yang emansipatoris.  Namun, yang perlu dicatat adalah program ini juga perlu dikaji agar tafsir Pancasila jangan sampai dijadikan alat oleh penguasa untuk melanggengkan rezimnya. (A37)

Exit mobile version