Site icon PinterPolitik.com

PM 08, “Tentara Kontrak Mematikan” Prabowo?

prabowo turki

Menteri Pertahanan Turki Hulusi Akar menerima kunjungan resmi Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto di Ankara pada 28 November 2019 silam. (Foto: Anadolu Agency)

Menarik dukungan dari Ganjar Pranowo sebagai calon presiden (capres) 2024, Jokowi Mania (JoMan) pimpinan Immanuel Ebenezer mengalihkan dukungan ke Prabowo Subianto. Pertanyaannya, mengapa fenomena relawan seolah begitu menarik perhatian? Serta, apa maknanya bagi pencapresan Prabowo? 


PinterPolitik.com 

Pentolan Jokowi Mania (JoMan) Immanuel Ebenezer alias Noel telah mengumumkan relawan yang dipimpinnya bertransformasi menjadi Prabowo Mania (PM 08) menyongsong Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. 

Hal itu disampaikannya usai menyambangi kediaman Ketua Umum (Ketum) Partai Gerindra Prabowo Subianto di Jalan Kertanegara pada hari Kamis 16 Februari lalu. 

Kepada awak media, Noel mengatakan PM 08 bukan lagi relawan, tetapi organisasi kemasyarakatan (ormas) sebagai tim pemenangan sosok yang kini menjabat Menteri Pertahanan (Menhan) itu. 

Perubahan haluan Noel dan JoMan sendiri cukup menarik dan mengejutkan. Pasalnya, relawan Joko Widodo (Jokowi) di Pilpres 2019 itu sempat menyatakan dukungan bagi Ganjar Pranowo di 2024. 

Bahkan, relawan bernama GP (Ganjar Pranowo) Mania sempat dibentuk Noel dan elite JoMan sebelum dibubarkan. Tentu setelah mereka berubah haluan. 

Dalam beberapa kesempatan, Noel menyebut penarikan dukungan dari Ganjar akibat minimnya gagasan politik konkret yang dibawa sang kader PDIP. 

Prabowo, menurut Noel, lebih memiliki gagasan dan nyali. Sosok yang dinilai pantas meneruskan kepemimpinan Presiden Jokowi di tahun 2024. 

Sementara itu, Sekretaris Jenderal (Sekjen) JoMan Akhmad Gojali Harahap menyebutkan dua alasan perubahan haluan dari Ganjar kepada Prabowo. 

Pertama, tidak adanya kepastian Ganjar akan diusung sebagai capres PDIP. Kedua, Ganjar dinilai tidak mampu meyakinkan rakyat, pendukungnya, dan partainya sendiri untuk dijadikan capres. 

Sontak, perubahan dukungan kepada Prabowo mengguncang narasi politik tanah air. Meskipun hanya bertajuk “relawan”, alasan JoMan meninggalkan Ganjar seolah turut mewarnai persepsi publik di tengah manuver dan persaingan daya tawar partai politik (parpol) untuk mengusung capres di 2024. 

Satu pertanyaan kemudian muncul di balik langkah terbaru Noel dan JoMan, yakni mengapa fenomena relawan seakan cukup memberikan pengaruh dalam konstelasi politik jelang 2024? 

Konsolidasi Kearifan Lokal? 

Jawaban atas pertanyaan sebelumnya agaknya dapat sekaligus menjawab latar belakang dan makna dari eksistensi para relawan dalam dimensi perpolitikan Indonesia. 

Setidaknya, terdapat tiga interpretasi yang menjadi jawabannya. Pertama, fenomena pengaruh relawan dapat dianggap sebagai tanda skeptisisme terhadap partai politik (parpol). 

Dalam publikasi berjudul The Myth of Civil Society’s Democratic Role: Volunteerism and Indonesian Democracy, Hurriyah mengutip pendapat dari Edward Aspinall dan Marcus Mietzner bahwa parpol dianggap sebagai entitas yang semakin tak representatif. Bahkan, dianggap sebagai platform neo-otoriter. 

Akibatnya, ketika kelompok relawan muncul dan berbagi peran untuk “membantu” parpol, mereka menjadi lebih diterima publik. Termasuk peran yang tidak dicurigai ketika menggalang dukungan terhadap kandidat. 

Kedua, satu hal menarik dikemukakan Hurriyah yang kiranya memiliki relevansi. Fenomena relawan seperti JoMan juga dianggap sebagai perjuangan melawan oligarki. 

Itu berangkat dari impresi pasca transisi politik Indonesia yang dinilai dicirikan oleh demokrasi bertendensi oligarkis. 

Dalam publikasi tersebut, sampel pencalonan Prabowo sebagai calon presiden (capres) pada tahun 2014 yang disebut perpanjangan tangan dari oligarki di era Orde Baru (Orba) membuat relawan memiliki sesuatu yang menarik untuk diperjuangkan.  

Terakhir, munculnya kelompok-kelompok relawan kiranya juga bermakna hadirnya bentuk baru politik elektoral atau keterlibatan aktif masyarakat sipil dalam pemilihan presiden. 

Faktor tingkat popularitas dan keterbatasan akses pencalonan masyarakat sipil dalam kontestasi politik membuat mereka bergabung atau bertransformasi menjadi relawan politik. 

Berdasarkan tiga alasan tersebut, terdapat penilaian bahwa relawan dapat dikatakan memiliki akses lebih terhadap konsolidasi akar rumput dibandingkan parpol sekalipun. 

Kembali ke sampel pencapresan Prabowo di 2014 dan 2019, mantan Panglima Kostrad itu sesungguhnya juga memiliki relawan. Akan tetapi, “pasukan sukarela” yang dimiliki kebanyakan merupakan perpanjangan tangan langsung dari partai pengusung, terutama Partai Gerindra. 

Sementara relawan Jokowi disebut cukup majemuk. Pergerakan relawan digarap oleh aktivis masyarakat sipil dan terdiri dari berbagai segmen masyarakat, mulai dari pemuda, pelajar, aktivis, musisi, pekerja, selebritas, dan tokoh politik. Ciri yang kemudian membuat mereka lebih “fleksibel”. 

Jika ditelusuri, eksistensi relawan Jokowi bahkan telah terbentuk sejak Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2012 silam. 

Di titik ini, ciri fleksibilitas relawan yang ditampilkan JoMan dengan mengubah haluan kepada Prabowo di 2024 memantik sebuah tanya. Sejauh mana JoMan dapat “menguntungkan” Prabowo? 

Bahaya, Benalu dan Problematik? 

JoMan dan Noel seolah menjadi bukti sahih keberpihakan politik yang tidak saklek. Perubahan haluannya pun cukup mengejutkan dan bukan tidak mungkin bisa memengaruhi arah dukungan eks relawan Jokowi lainnya. 

Pada Pilpres 2014 lalu saja, selain JoMan, tercatat 22 entitas relawan eksis mendukung Jokowi. Mereka di antaranya Bara JP, Projo, Almisbat, Seknas Jokowi, Duta Jokowi, ARM, Solmet Jokowi, Arus Bawah Jokowi, Kawan Jokowi, Jasmev, Gerak Indonesia, Kornas Jokowi, JPKP, GK Center, RPJP, EP for Jokowi, Komunitas Alumni Perguruan Tinggi, Sekber Jokowi, GRI, RKIH, Kabar Nawacita, dan Forkami. 

Dalam pernyataan terakhirnya, Prabowo mengatakan akan meneruskan kepemimpinan Presiden Jokowi yang dinilainya cukup berhasil. Dan itu bukan ekspresi serupa pertama Prabowo. 

Jika sinyal dan intensi meneruskan visi itu membuat relawan Jokowi lain berubah haluan dan menyokongnya di 2024, bukan tidak mungkin kekuatan Prabowo akan berlipat ganda. 

Itu dikarenakan, menurut Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Jati relawan sangat ampuh menyentuh akar rumput dan jauh lebih militan. Di 2019, misalnya, disebutkan sejumlah relawan turut mengawal pemungutan suara hingga pemutakhiran suara. 

Karakteristik dan kekuatan itu seolah tak berbeda jauh dengan dua konsep “relawan” yang kian marak dalam konflik dan peperangan kontemporer, yakni tentara bayaran swasta dan korps tentara sukarela. 

Konsep kontraktor tentara swasta atau private military company (PMC) sendiri marak digunakan dalam sebuah konflik tanpa keberpihakan bernuansa utopis seperti nasionalisme. Motif pragmatisme berupa imbalan menjadi kunci pergerakan militan mereka. 

Sementara itu, konsep korps tentara sukarela yang berasal dari berbagai negara dan jamak bergabung dengan pasukan Ukraina di konflik dengan Rusia saat ini, tampaknya bisa menjadi analogi lain dari relawan politik dengan intensi idealisme “di permukaan”. 

Kendati begitu, menurut Hurriyah, sifat dan agenda kelompok relawan pada dasarnya cukup problematik dalam ekosistem demokrasi. 

Di balik progresivitasnya, efektivitas relawan sebenarnya juga dipertanyakan dipertanyakan. Sampel relawan Ganjar jelang Pilpres 2024 yang seolah terlalu banyak menjadi salah satu contohnya. 

Selain itu, keterbatasan gerakan relawan secara umum dapat menyebabkan putusnya keterkaitan antara masyarakat sipil dan konsolidasi demokrasi di Indonesia yang menjadi impresi pertama keberadaan relawan. 

Lalu, ketika direfleksikan pada politik kontemporer dalam konteks transaksional. Relawan kerap disebut sebagai “benalu”, baik dalam sudut pandang konstituen maupun parpol. 

Ketika berhasil memenangkan laga dan mendapat apresiasi berupa sejumlah posisi dalam lini Badan Usaha Milik Negara (BUMN), misalnya, motif sesungguhnya mereka seolah benar-benar serupa tentara kontrak swasta. 

Di sisi lain, para elite relawan juga bisa mengurangi jatah kursi aktor-aktor di dalam parpol pemenang. 

Aris Santoso dalam tulisannya Anomali Tim Mawar: Kopassus di Bawah Danjen Prabowo Subianto, menegaskan bahwa Prabowo dikenal loyal kepada para anak buah dan pasukannya. Pertanyaan kemudian mengemuka, apakah dirinya berkenan stabilitas parpol pendukung “diganggu” oleh relawan yang harus diberikan “jatah”?. 

Terlebih, mengutip temuan Djayadi Hanan dalam bukunya Presidensialisme Multipartai di Indonesia: Upaya Mencari Format Demokrasi yang Stabil dan Dinamis dalam Konteks Indonesia, pembagian pos-pos kekuasaan kepada partai politik pendukung seolah menjadi keniscayaan demi stabilnya kepemimpinan Presiden. 

Sebagai penutup, tentu perlu digarisbawahi bahwa penjelasan di atas masih sebatas interpretasi semata. Sifat dan peran relawan selayaknya korps tentara sukarela yang mengutamakan nilai konstruktif bagi demokrasi tetap dinantikan. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61) 

Exit mobile version