Survei LSI menunjukkan 13,3 persen warga akan memilih FPI jika mengikuti Pemilu. Apa saja poin plus dan minus ormas besutan Rizieq Shihab tersebut jika berubah jadi parpol?
PinterPolitik.com
[dropcap]N[/dropcap]ama Front Pembela Islam (FPI) kian lama kian diperhitungkan. Deretan Aksi Bela Islam yang berjilid-jilid melambungkan nama organisasi massa (ormas) yang didirikan Rizieq Shihab ini. FPI kini tidak hanya memiliki kekuatan massa saja, tetapi juga mulai diperhitungkan secara politik.
Popularitas ormas yang bermarkas di Petamburan, Jakarta Pusat ini kini mengekor dua ormas Islam yang telah lama berdiri di negeri ini. Berdasarkan survei Alvara Research Center, FPI berada di urutan ketiga di bawah Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sebagai ormas Islam yang paling diingat masyarakat.
Secara khusus, FPI juga cukup diperhitungkan jika memutuskan untuk mengikuti gelaran Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 mendatang. Hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan bahwa 13,3 persen responden akan memilih FPI jika ikut Pemilu Legislatif pada 2019.
Berkembangnya kekuatan FPI secara politik tersebut menimbulkan suatu pertanyaan. Haruskah ormas yang kini diketuai Sobri Lubis ini bertransformasi menjadi partai politik (parpol)? Jika ya, apakah untung dan ruginya bagi FPI?
Mungkinkah FPI Jadi Parpol?
Pada tahun 2008, FPI pernah mempertimbangkan untuk mendirikan partai politik. Hal ini merupakan bentuk respons atas kegagalan partai-partai Islam untuk memperjuangkan aspirasi umat Islam. Saat itu mereka menyebut saran untuk mengubah ormas tersebut menjadi parpol akan mereka pertimbangkan dengan serius.
Parpol Islam dianggap tidak mengakomodasi aspirasi umat Islam dalam mengusung syariat. Meski begitu, mereka juga masih menunggu jika ada parpol lain yang mau memperjuangkan syariat Islam tersebut.
Pertanyaan apakah FPI sudah siap menjadi Parpol kemudian ditanyakan kembali pada tahun 2013. Dalam konferensi Pers milad FPI di tahun 2013, Imam Besar FPI Rizieq Shihab menyatakan bahwa FPI belum siap menjadi parpol.
Meski begitu, FPI tidak mengharamkan diri bermitra dengan parpol, asalkan memiliki napas yang sama. Mereka juga tidak melarang anggotanya terlibat dalam aktivitas politik. Jelang Pemilu 2014 lalu misalnya, salah satu pentolan FPI,Munarman pernah mendaftar menjadi calon anggota legislatif (caleg) untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Meski begitu, pendaftarannya dibatalkan oleh PPP.
Jika melihat kemampuan FPI menggalang massa dan menggiring opini, sebenarnya ormas ini bisa dikatakan cukup mumpuni. Terlebih jika klaim bahwa mereka memiliki 7 juta anggota yang tersebar dari Aceh ke Papua terbukti benar.
Kekuatan tersebut – jika terbukti benar – tentu dapat memudahkan FPI untuk mendaftarkan diri menjadi parpol. Syarat menjadi parpol berdasarkan Undang-Undang (UU) Partai Politik dapat dengan mudah dipenuhi.
Merujuk pada UU nomor 2 tahun 2011 tentang Partai Politik, ada sejumlah syarat yang perlu dipenuhi sebuah parpol. Salah satunya adalah mempunyai kepengurusan sekurang-kurangnya 50% dari jumlah provinsi, 50% dari jumlah kabupaten/kota, 25% dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota. Jika jumlah anggota 7 juta orang yang disebut Ketua DPP FPI Muchsin Alatas benar adanya, maka syarat tersebut akan mudah dipenuhi.
Untuk syarat lain seperti didirikan 30 orang, didaftarkan oleh 50 anggota, memiliki kantor tetap, dan syarat lain juga dapat dengan mudah dipenuhi. Maka secara persyaratan sebenarnya FPI sudah relatif siap.
Keuntungan FPI Jadi Parpol
Jika menilik keinginan FPI menjadi parpol pada tahun 2008, maka keuntungan bagi ormas yang identik dengan seragam putih ini adalah FPI dapat menyalurkan aspirasi mereka sebagai umat Islam secara langsung.
Dalam upaya mewujudkan NKRI yang sesuai dengan syariat Islam, mereka dapat melakukannya secara konstitusional. Kekesalan FPI saat penggodokan RUU Pornografi di DPR dapat diartikulasikan secara langsung di parlemen jika FPI menjadi parpol dan punya perwakilan di DPR.
Dengan berjuang di parlemen, cap anti-demokrasi yang diberikan kepada FPI hilang dengan sendirinya. Mereka dapat memperjuangkan cita-cita mereka secara konstitusional melalui jalan yang dilindungi secara hukum.
WOW! Survei LSI: 13,3% Warga Coblos FPI Jika Jadi Parpol pada Pemilu 2019; FPI Runner Up Setelah PDIP https://t.co/Z5IxTxtwoD pic.twitter.com/DMMg8Uy32z
— Mas Piyu (@maspiyuuu) November 21, 2017
FPI tidak lagi harus berjuang di jalanan dan dapat terlibat langsung dalam pembuatan Undang-Undang. Cita-cita yang mereka anggap suci yaitu NKRI bersyariah dapat dilakukan secara gradual dengan mewarnai produk hukum agar tidak bertentangan dengan syariat Islam.
FPI juga tidak lagi perlu menempel pada parpol tertentu jika benar-benar ingin mewujudkan cita-cita NKRI yang bersyariah. Mereka juga tidak perlu menaruh harapan di pundak parpol-parpol Islam yang pernah mengecawakan mereka di 2008.
Ormas ini juga berpeluang mengusung calon pemimpin yang sesuai dengan aspirasi mereka. FPI juga dapat mewujudkan impian memiliki pemimpin yang mendukung syariat Islam.
Secara spesifik, mereka juga berpeluang menjadikan Sang Imam Besar Rizieq Shihab sebagai presiden di negeri ini. Jika melihat hasil survei, nama Rizieq Shihab tengah meroket dalam bursa capres. Pada survei Median Februari 2017 misalnya, nama Rizieq menembus lima besar dengan persentase 4,2 persen. Mereka dapat mengkapitalisasi popularitas Sang Habib jika bertransformasi menjadi parpol.
Di luar aspek elektoral, jika FPI mempertimbangkan diri berubah menjadi parpol, maka ancaman pembubaran juga dapat berkurang. Mekanisme pembubaran parpol tidak semudah pembubaran ormas. Terlebih kini ada UU Ormas yang mengancam eksistensi mereka.
Sesuai Undang-Undang, parpol hanya dapat dibubarkan melalui dua jalur, yaitu internal dan eksternal. Secara internal, artinya parpol tersebut menghendaki pembubaran mereka sendiri. Sementara secara eksternal, parpol dapat dibubarkan melalui mekanisme khusus di Mahkamah Konstitusi. Ini berbeda dengan mekanisme pembubaran ormas yang dapat terjadi tanpa mekanisme pengadilan.
Kerugian Bila Bertransformasi
Meski berubah menjadi parpol menawarkan sejumlah kelapangan jalan, ada beberapa poin minus yang harus dihadapi FPI jika berubah menjadi parpol. Ancaman yang cukup mengganggu adalah dari segi hukum.
Jika bertransformasi menjadi parpol, ruang manuver FPI menjadi amat terbatas. Status parpol akan membuat FPI tersandera UU Parpol dan UU Pemilu. FPI yang semula bergerak secara bebas, kini harus patuh pada dua aturan tersebut.
Aktivitas mereka dapat terbatas pada aktivitas yang bersifat elektoral saja. Hal ini dapat membuat kegiatan yang biasa mereka lakukan sehari-hari seperti sweeping menjadi hal terlarang karena dapat dianggap mencuri start kampanye.
Berdasarkan UU Parpol juga disebutkan bahwa parpol memiliki kewajiban untuk diaudit keuangannya. Mereka wajib melaporkan keuangan mereka dan dipublikasikan secara tahunan. Ini bisa saja membatasi sumber pendanaan mereka yang sebelumnya lebih bebas.
Kesulitan lain yang harus dihadapi ormas yang mengusung syariat Islam ini adalah mereka harus berebut suara dengan parpol berhaluan Islam lainnya. Jika melihat tren dalam tiga pemilu terakhir, pamor partai bernapas Islam kian tergerus dibanding partai berhaluan nasionalis. FPI harus berbagi ‘kolam’ yang sama dengan parpol Islam yang kian sempit itu.
Pada pemilu 2014 lalu, total persentase suara parpol bermasis massa kelompok Islam (PKS, PKB, PPP, dan PBB) adalah 23,82 persen. Jika ingin bertarung di Pemilu, maka FPI harus berebut suara sebesar 23,82 persen tersebut. Hal ini bukanlah perkara mudah, apalagi jika harus bertarung di kolam yang lebih besar dengan parpol nasionalis.
Mereka juga perlu memperhatikan peta elektoral pada saat Pemilu dilakukan. Secara sosial, FPI cenderung kuat di Jawa dan secara spesifik di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten saja. Banyak cerita penolakan pada ormas ini di berbagai provinsi lain. Mereka bisa saja mengalami kesulitan meraup suara di luar daerah tersebut jika menggunakan identitas FPI.
Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut, opsi membentuk parpol bisa saja ditempuh. Akan tetapi, FPI tidak perlu berubah total dari ormas menjadi parpol. FPI bisa melahirkan parpol baru yang berasal dari rahim ormas ini. Strategi ini misalnya dapat dilihat pada NU yang tidak berubah wujud, tetapi melahirkan parpol seperti PKB, PPNUI, atau PKNU. Opsi ini lebih aman karena dapat mengkapitalisasi popularitas yang menanjak tanpa mengorbankan wujud asli organisasi. (Berbagai sumber/H33)