Cukup mengejutkan mendengar pernyataan ekonom senior Faisal Basri yang menyebutkan PLN dapat kolaps di bulan September apabila pemerintah tidak segera melunasi utangnya terhadap BUMN yang menangani masalah energi listrik tersebut. Lantas, benarkah ini adalah indikasi dari kegagalan negara?
PinterPolitik.com
“Meskipun di wilayah-wilayah tertentu negara perlu dirampingkan, di wilayah-wilayah lain mereka perlu diperkuat terus-menerus” – Francis Fukuyama dalam State-Building: Governance and World Order in the 21st Century
Lahir pada 22 September 1791 dari keluarga kelas pekerja di Newington, London Selatan, Inggris, Michael Faraday mungkin tidak akan pernah membayangkan dirinya akan menjadi salah satu sosok paling berpengaruh sepanjang sejarah. Bagaimana tidak? Sosok yang bahkan pernah putus sekolah ini adalah penemu listrik yang menjadi inti dari setiap teknologi modern yang kita kenal saat ini.
Semenjak ditemukan, listrik kemudian menjadi entitas yang tidak mungkin dihilangkan dalam kehidupan masyarakat modern. Oleh karenanya, keberadaan pembangkit listrik menjadi infrastruktur yang tidak terelakkan bagi setiap negara dewasa ini.
Getirnya, Badan Usaha Milik Negeri (BUMN) yang berwenang mengurus kebutuhan vital tersebut, yakni Perusahaan Listrik Negara (PLN) justru tengah dirundung isu kebangkrutan saat ini. Adalah ekonom senior Faisal Basri yang menyebutkan bahwa PLN terancam kolaps di bulan September apabila pemerintah tidak segera membayar utang sebesar Rp 45,42 triliun kepada BUMN tersebut.
Utang ini sendiri adalah kompensasi dari tidak dinaikkannya tarif listrik dalam dua tahun terakhir. Selain itu, PLN juga diketahui tengah menanggung utang sebesar Rp 500 triliun karena dalam lima tahun terakhir membiayai proyek kelistrikan 35.000 MW yang merupakan penugasan pemerintah sejak 2015.
Mengomentari pernyataan Faisal Basri, mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Said Didu turut menerangkan bahwa masalah di berbagai BUMN terjadi karena adanya berbagai kebijakan yang salah sejak 2016 dengan banyaknya penugasan yang tidak layak dari pemerintah. Pada konteks ini, proyek 35.000 MW boleh jadi yang dimaksud oleh alumnus Institut Pertanian Bogor (IPB) tersebut.
Government: Can I borrow your money?
PLN : Okie dokie, bet let me borrow some money first from the bank, so that I can lend you some. It's okay, though it means that I'm gonna die starving next month.The end. 🤪#politik #pinterpolitik https://t.co/Jd5GRWuanU pic.twitter.com/zUkwu5TQoX
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) July 28, 2020
Menariknya, berbeda dengan Faisal Basri, pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi justru memberikan bantahan. Menurutnya, pernyataan mantan rekannya di Tim Anti Mafia Migas tersebut sedikit berlebihan karena menilai wajar PLN memiliki utang besar – mencapai Rp 694,79 triliun – karena digunakan untuk investasi jangka panjang.
Fahmy juga menegaskan bahwa pemerintah tidak mungkin membiarkan PLN yang perannya begitu vital untuk bangkrut. Kemudian, PLN yang masih berhasil menerbitkan global bonds jelas menunjukkan bahwa BUMN ini masih dipercaya oleh investor global.
Di luar benar tidaknya PLN akan bangkrut nantinya, gestur buruknya pengelolaan PLN yang merupakan BUMN vital memberikan kita interpretasi minor tersendiri, khususnya dari aspek politik. Lantas, apa yang dapat dimaknai dari fenomena ini?
Intervensi Negara
Di tengah perdebatan yang ada, baik PLN akan jatuh ataupun tidak, tentu kita sepakat bahwa terdapat pengelolaan yang buruk di tubuh PLN sehingga Faisal Basri berani menyebut BUMN tersebut akan kolaps di bulan September.
Ulasan Francis Fukuyama dalam bukunya yang berjudul State-Building: Governance and World Order in the 21st Century tampaknya dapat membantu kita memahami fenomena ini dalam kacamata politik.
Kendati sebagian pihak membaca buku ini sebagai revisi atas tesis Fukuyama dalam The End of History and the Last Man, yakni memberikan kritik atas peran negara dalam liberalisme, baik politik dan ekonomi. Namun, jika dibaca dengan lebih saksama, buku ini justru memberikan landasan konseptual yang lebih luas terhadap aspirasi kaum liberal.
Di sini, Fukuyama sebenarnya banyak memberi masukan terhadap liberalisasi ekonomi yang percaya bahwa peran atau intervensi negara dalam ekonomi sebisa mungkin harus dipersempit. Menariknya, di awal pembahasan bukunya, Fukuyama memberi pertanyaan, apakah Amerika Serikat (AS) adalah negara yang lemah atau kuat?
Dengan mengutip sosiolog Jerman Max Weber, Fukuyama berusaha menerangkan bahwa AS adalah negara yang sangat kuat. Uniknya, kendati ruang lingkup pemerintah AS diperlemah atau dipersempit karena etos liberalisme, seperti sangat dihormatinya kebesasan individu, kemampuan negeri Paman Sam dalam memaksa warga negaranya untuk mematuhi hukum justru sangatlah kuat.
Hmm, ini biar nggak kelihatan politik dinastinya atau gimana nih? Uppps. #politik #pinterpolitik #infografis https://t.co/P4lynHaaq1 pic.twitter.com/H91Jn35E7R
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) July 29, 2020
Singkat kata, seperti kutipan pernyataan Fukuyama di awal tulisan, pada konteks politik, seperti yang dikemukakan oleh sosiolog AS Seymour Martin Lipset, pemerintah AS dapat disebut lemah. Akan tetapi, dalam konteks penegakan aturan atau penertiban, pemerintah AS justru sangatlah kuat.
Pembagian di mana negara harus kuat dan lemah – atau kapan harus mengintervensi – semacam ini tampaknya yang juga diperagakan oleh pemerintah Indonesia. Mengacu pada Pasal 33 Ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”, terlihat jelas dalam konteks sumber daya vital, pemerintah Indonesia menerapkan intervensi yang kuat.
Sedangkan di konteks lainnya, intervensi negara dipersempit atau diperlemah, misalnya dengan memberikan ruang terhadap pasar, ataupun kebebasan berpendapat dalam ranah politik.
Lantas, dengan fakta bahwa PLN adalah perwujudan dari intervensi kuat negara, sekarang menjadi menarik untuk dipertanyakan, mengapa pengelolaannya justru memprihatinkan?
Gagalnya Peran Negara?
Meskipun dibaca sebagai salah seorang yang paling vokal mempromosikan demokrasi liberal, uniknya Fukuyama justru menilai bahwa aksi-aksi terorisme, penyebaran penyakit, bertahannya tingkat kemiskinan, serta merebaknya perang sipil, bukanlah suatu entitas yang berdiri sendiri, melainkan itu sebenarnya adalah indikasi bahwa negara telah gagal dalam menjalankan perannya.
Artinya, dengan pemerintah Indonesia yang sebenarnya memegang kendali, kasus buruknya pengelolaan PLN adalah indikasi dari gagalnya pengelolaan negara. Simpulan tersebut dapat diperkuat dengan melakukan komparasi dengan negara yang juga menerapkan intervensi BUMN kuat selain Indonesia.
Telah jamak dipahami, bahwa sejak Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjabat, mantan Wali Kota Solo ini terlihat meniru sistem ekonomi Tiongkok, yakni penerapan state capitalism atau kapitalisme negara, dengan memberikan porsi peran yang besar terhadap BUMN dalam aktivitas ekonomi.
Sebagaimana yang disebutkan oleh Joshua Kurlantzick dalam tulisannya State Capitalism and the Return of Economic Interventionism, kapitalisme negara adalah tanda dari kembalinya intervensi kuat negara dalam aktivitas ekonomi.
Setelah tarik menarik panjang, semoga semua pihak dapat saling mendengarkan satu sama lain. #politik #pinterpolitik #infografis https://t.co/P4lynHaaq1 pic.twitter.com/EnkrYTvJAw
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) July 29, 2020
Melihat pada Tiongkok yang sukses menjadi aktor ekonomi dunia, bahkan disebut-sebut dapat menyaingi peran AS, mudah untuk menyimpulkan bahwa negeri Tirai Bambu telah sukses menjalankan perannya sebagai negara. Artinya, gagalnya pengelolaan PLN, tentu saja dapat dibaca sebagai negasi atas Tiongkok, alias pemerintah Indonesia telah gagal dalam menjalankan perannya sebagai negara.
Selain itu, terdapat perbedaan prinsipiil yang membuat pemerintah Indonesia akan sulit mengikuti kesuksesan Tiongkok. Pasalnya, kapitalisme negara membutuhkan kekuatan politik yang besar untuk dapat terlaksana dengan baik.
Di sini, dengan fakta buruknya birokrasi di Indonesia, serta tidak kuatnya legitimasi terhadap pemerintahan Presiden Jokowi, mudah untuk menyimpulkan bahwa kekuatan politik seperti yang terlihat di pemerintahan Xi Jinping tidak terjadi.
Kembali mengacu pada Fukuyama, negara yang gagal dalam menertibkan, termasuk dalam hal birokrasi, adalah negara yang sejatinya lemah.
Pada akhirnya, kita tentu berharap bahwa PLN tidak akan mengaktualisasi pernyataan Faisal Basri. Kita lihat saja bagaimana pemerintahan Presiden Jokowi memenuhi perannya sebagai negara untuk membenahi BUMN vital tersebut. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.