Site icon PinterPolitik.com

Plate Ditahan, Anies Wait-and-see?

plate ditahan anies wait and see

Mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (kiri) dan Ketua Umum (Ketum) Partai NasDem Surya Paloh (kanan). (Foto: Detik)

Keadaan di NasDem Tower tiba-tiba menjadi tegang pada hari Rabu, 17 Mei 2023. Bagaimana tidak? Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai NasDem Johnny G. Plate ditahan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) karena dugaan korupsi base transceiver station (BTS) di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).


PinterPolitik.com

“Pride is not the opposite of shame, but its source. True humility is the only antidote to shame” – Iroh, Avatar: The Last Airbender (2005-2008)

Apabila mengingat kembali momen-momen ketika masih anak-anak dulu, banyak dari mereka yang berasal dari generasi kelahiran 1990-an mengingat masa-masa ketika banyak tontonan menarik – khususnya kartun – tayang di berbagai saluran televisi nasional.

Salah satu kartun yang sempat menarik banyak perhatian mereka yang disebut sebagai generasi Milenial – dan sebagian Generasi Z – adalah Avatar: The Last Airbender (2005-2008). Bisa dibilang, seri kartun besutan Nickelodeon ini menjadi salah satu franchise yang paling sukses dari mereka.

Sebenarnya, alur yang digunakan pun cukup klasik. Ketika kekacauan terjadi – yakni ketika Negara Api melaksanakan invasi ke banyak negara lainnya, satu karakter yang begitu kuat nan mampu menyelesaikan berbagai persoalan dinanti-nanti kehadirannya, yakni Avatar yang akhirnya baru datang setelah bertahun-tahun Negara Api mendominasi dunia.

Namun, dari sekian banyaknya karakter dari seri kartun tersebut, terdapat satu karakter yang cukup menarik perhatian dengan kebijaksanaannya. Karakter tersebut adalah Iroh.

Ketika keponakannya, Zuko, begitu emosional dan tenggelam dengan upaya pembuktian dirinya, Iroh hadir untuk menjadi penyeimbang yang selalu mengingatkan Zuko. Iroh pun menjadi tokoh yang selalu tenang dan tidak bertindak gegabah setiap sebuah persoalan atau tantangan datang.

Nah, mungkin sikap tidak gegabah ini sepertinya ingin ditunjukkan oleh Partai NasDem di dunia politik Indonesia. Padahal, pada Rabu, 17 Mei 2023, kemarin, Sekretaris Jenderal (Sekjen) NasDem Johnny G. Plate yang menjabat sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) ditahan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) atas dugaan korupsi base transceiver station (BTS) di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).

Sikap ini mulai terlihat dari bagaimana Ketua Umum (Ketum) NasDem Surya Paloh memberikan keterangan pers. Paloh tampak berusaha tidak mencampurkan penahanan tersebut dengan urusan politik dan malah menyarankan agar proses hukum dituntaskan hingga setuntas-tuntasnya.

Tidak hanya Paloh, komunikasi publik yang tidak berusaha memosisikan diri di pihak tertentu juga ditunjukkan oleh mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang kini menjadi bakal calon presiden (bacapres) dari NasDem. Ini terlihat dari bagaimana Anies memberikan keterangan pers saat berkunjung ke NasDem Tower, Jakarta.

Bukan tidak mungkin, permainan komunikasi publik dari Anies dan NasDem ini memiliki sejumlah alasan taktis di baliknya. Mengapa Anies-NasDem berusaha tidak memosisikan diri terhadap penahanan Johnny? Mungkinkah ada keuntungan strategis yang ingin dicapai?

Sikap Anies-NasDem Tak Jelas?

Saat itu, tepat di hari pertama pada tahun 1979, pemerintah Amerika Serikat (AS) berhenti mengakui Republik Tiongkok (Taiwan) dan mulai mengakui pemerintahan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) di Beijing. Keputusan diplomatis itu dilakukan karena kepentingan strategis yang ingin dicapai Washington saat harus menghadapi Uni Soviet di Perang Dingin.

Pasalnya, kala itu, retakan tengah terjadi antara dua negara Blok Timur terbesar, yakni Uni Soviet dan RRT. Keretakan yang dikenal sebagai Sino-Soviet Split ini akhirnya dimanfaatkan oleh AS untuk membuat keseimbangan politik baru – melalui diplomasi tiga sudut (triangular diplomacy).

Alhasil, RRT yang sebelumnya dianggap musuh perlahan-lahan mulai didekati oleh negeri Paman Sam. Puncaknya adalah ketika Presiden ke-39 AS Jimmy Carter mengirimkan perwakilan pada tahun 1978 ke RRT yang akhirnya menciptakan kesepakatan baru agar kedua negara menjalin hubungan diplomatis.

Namun, keputusan untuk mengakui RRT itu bukan berarti serta merta membuat AS meninggalkan Taiwan. Negeri Paman Sam menggunakan berbagai teknik diplomatis – baik verbal maupun non-verbal – untuk tetap menjalin hubungan baik dengan Taiwan sekaligus menjalin hubungan lebih dekat dengan RRT.

Posisi diplomatis inipun masih dilakukan oleh AS hingga saat ini. Meskipun tidak mendeklarasikan dukungan secara langsung, AS dinilai masih mendukung Taiwan secara politis – bahkan ketika RRT dinilai mulai agresif untuk mendorong Taiwan bersatu dengan Tiongkok daratan.

Posisi Taiwan yang strategis sekaligus berisiko di sini bisa jadi semacam sandera – baik bagi AS maupun Tiongkok. Pasalnya, salah langkah sedikit bisa membuat hubungan dua negara besar memanas – membuat stabilitas kawasan menjadi terdampak.

Oleh sebab itu, menjadi masuk akal apabila AS menerapkan strategic ambiguity (ambiguitas strategis). Pada intinya, sikap yang tidak jelas ini memang sengaja dijaga oleh AS.

Mengacu pada penjelasan Brett V. Benson dan Emerson M.S. Niou di tulisan mereka yang berjudul Comprehending Strategic Ambiguity, ambiguitas ini diciptakan karena kepentingan-kepentingan AS paling mungkin terpenuhi apabila status quo terjaga.

Lantas, apa hubungannya ambiguitas strategis ala AS di antara Taiwan-RRT dengan kasus penahanan Plate? Mengapa strategi ini menjadi relevan?

Wait-and-see ala Anies-NasDem?

Bukan tidak mungkin, cara yang sama tengah dilakukan oleh Anies dan NasDem dalam menanggapi penahanan Plate oleh Kejagung. Pasalnya, reaksi yang terlalu reaktif bisa saja mengubah peta kontestasi menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.

Bagaimana juga, Plate adalah bagian dari NasDem. Maka dari itu, Paloh sendiri pun mengatakan bahwa NasDem akan memberikan bantuan hukum kepada Paloh.

Bila disandingkan, Plate bisa saja menjadi semacam “Taiwan” dalam dinamika politik domestik Indonesia. Apalagi, banyak pihak mengakui bahwa kasus ini bisa saja menjadi sangat politis – seperti yang diakui oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD.

Meski begitu, Paloh dan Anies tidak bisa serta merta mengatakan bahwa terdapat unsur politik di balik penahanan Plate. Setidaknya, mereka hanya bisa berkata bahwa mereka berharap tidak ada intervensi politik di baliknya.

Ini sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Dražen Pehar dalam tulisannya yang berjudul Diplomatic Ambiguity: From the Power-centric Practice to a Reasoned Theory. Ambiguitas diplomatis (diplomatic ambiguity) merupakan sebuah pola bahasa (pattern of language) yang menciptakan banyak makna.

Salah satu contohnya adalah ketika seseorang mengatakan, “menerbangkan pesawat bisa saja berbahaya.” Kalimat ini secara tidak langsung memberikan lebih dari satu makna. Bisa saja, kegiatan untuk terbang dianggap berbahaya. Namun, bisa juga, pesawatnya lah yang berbahaya.

Lantas, bila ambiguitas diplomatis lah yang dilakukan oleh Anies dan Paloh, apa kemudian alasannya? Mengapa Anies dan Paloh sangat berhati-hati dalam menanggapi penahanan Plate?

Nah, tujuan yang ingin dicapai dari ambiguitas itu adalah multi-makna yang dihasilkan. Pehar dalam tulisan itupun menjelaskan bahwa ambiguitas diplomatis menciptakan banyak kemungkinan bila dibandingkan dengan kepastian (certainty).

Dengan membuka jalan bagi banyak kemungkinan, Anies dan Paloh bisa saja ingin menciptakan banyak jalan keluar dari situasi yang membelenggu. Apalagi, terdapat banyak hal yang harus dipertimbangkan menyongsong Pilpres dan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

Anies, misalnya, memiliki kepentingan untuk menjaga kohesivitas Koalisi Perubahan yang terdiri atas NasDem, PKS, dan Partai Demokrat. Pasalnya, dengan adanya kasus besar yang menyerang NasDem, potensi perolehan suara NasDem di Pemilu 2024 bisa saja menurun – bisa saja berdampak pada reputasi koalisi yang berkaitan erat dengan partai-partai politik (parpol) anggota.

Selain itu, dengan mengutip Henry Kissinger, Pehar menjelaskan bahwa ambiguitas bisa membuat banyak pihak – utamanya pihak lawan – menjadi ragu dan berpikir kembali untuk melakukan tindakan tertentu. Dalam hal lain, Anies dan Paloh bisa juga membuat kubu lawannya menerka-nerka kembali respons yang mereka berikan bila ingin melakukan langkah politis selanjutnya.

Pada ujungnya, dengan adanya jalan-jalan kemungkinan lainnya, Anies dan Paloh berusaha meformulasi kembali langkah yang mereka akan ambil ke depannya dalam menyongsong Pilpres dan Pemilu 2024. Dengan kata lain, banyaknya kemungkinan memberikan waktu lebih untuk Anies dan Paloh – layaknya strategi wait-and-see atas kemungkinan apa yang kemudian muncul di masa mendatang. 

Boleh jadi, layaknya Iroh di Avatar: The Last Airbender, Anies dan Paloh berusaha untuk tidak gegabah ketika berada di situasi sulit semacam ini. Mungkin, ada baiknya Anies dan Paloh minum teh bersama – layaknya Iroh – guna menenangkan diri. Atau, mungkin, saatnya mereka juga ajak aktor-aktor politik untuk “minum teh” juga? (A43)


Exit mobile version