HomeNalar PolitikPKS Tolak RUU PKS

PKS Tolak RUU PKS

“Fraksi PKS menyatakan dengan tegas menolak draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,” Jazuli Juwaini, Ketua Fraksi PKS DPR RI


Pinterpolitik.com

[dropcap]K[/dropcap]asus pemerkosaan mahasiswi UGM yang berakhir dengan perjanjian damai membuat geram beberapa orang. Kasus tersebut dianggap sebagai alarm bahwa isu kekerasan seksual di Indonesia telah dalam posisi yang mengkhawatirkan. Secara spesifik, Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dianggap menjadi isu mendesak yang harus diselesaikan.

Sayangnya, di tengah kondisi darurat tersebut, tampaknya tak semua pihak ingin upaya menebas kekerasan seksual diselesaikan dengan RUU PKS. Di internal DPR sebagai dapur pembuatan Undang-Undang, penolakan muncul dari partai berhaluan Islam, yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

PKS kemudian hadir dengan berbagai argumentasinya terkait dengan penolakan RUU tersebut. Menurut partai yang dipimpin oleh Sohibul Iman itu, RUU PKS berbau liberalisme dan tak sesuai untuk diberlakukan di Indonesia yang menganut Pancasila dan adat ketimuran.

Sikap PKS ini tergolong ironis jika melihat kondisi Indonesia yang terus-menerus dilanda kasus kekerasan seksual. Lalu, mengapa partai berlogo padi dan bulan ini begitu gigih menolak RUU yang dimaksudkan untuk melindungi masyarakat ini?

Agama dan Moralitas

“Indonesia darurat kekerasan seksual”. Kata-kata semacam itu kerap digunakan oleh para aktivis anti kekerasan seksual untuk menggambarkan kondisi di Indonesia. Dalam kadar tertentu, kata-kata tersebut bukanlah hal yang berlebihan jika melihat fenomena beberapa waktu terakhir. Jelang tutup tahun 2018 misalnya, kasus pemerkosaan mahasiswi UGM dan pelecehan yang menimpa Baiq Nuril menjadi luka baru dalam kasus kekerasaan seksual di Indonesia.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh Komnas Perempuan, angka kekerasan seksual di Indonesia memang tergolong mengkhawatirkan. Berdasarkan catatan akhir tahun mereka tahun 2018, terjadi kekerasan seksual di ranah privat sebanyak 2.979 kasus dan di ranah publik sebanyak 2.670 kasus. Data tersebut sama sekali tidak menggembirakan, sehingga lembaga tersebut menyelipkan pentingnya RUU PKS sebagai salah satu solusi dari kondisi tersebut.

Merujuk pada hal tersebut, geliat PKS untuk menolak RUU PKS ini memang terbilang membingungkan bagi sebagian kalangan. Bagaimana mungkin ketika warga membutuhkan regulasi yang melindungi mereka dari kekerasan seksual, PKS secara terang-terangan menolaknya?

Jika diperhatikan, RUU PKS ini belakangan kerap diributkan dari sisi agama Islam. Di satu sisi, beberapa kelompok Islam di Indonesia tampak tak bermasalah dan bahkan mendukung RUU yang diniatkan untuk melawan kekerasan seksual ini. Kelompok ini diwakili misalnya oleh Nahdlatul Ulama (NU) melalui sayap perempuannya, Fatayat NU.

Meski begitu, kelompok Islam yang lain justru menolak dengan keras RUU yang begitu didambakan oleh pegiat hak-hak perempuan ini. Salah satu yang paling ramai diberitakan adalah sikap yang diambil oleh pegiat petisi online Maimon Herawati. Setelah beberapa kali menuai sensasi dengan petisi online-nya, kini pengajar di Universitas Padjadajaran ini menuai kritik karena petisinya yang menolak RUU PKS.

Seribu satu alasan disebutkan oleh kelompok-kelompok Islam konservatif ini. Salah satu yang kerap digunakan adalah bahwa RUU PKS ini dianggap akan memberi ruang bagi perilaku zina dan LGBT yang tak sesuai dengan pandangan agama.

Penolakan dari kelompok-kelompok konservatif itu tampak disambut baik oleh PKS sebagai salah satu wajah Islam konservatif di parlemen. Dengan terang dan jelas, fraksi PKS menolak RUU yang  diharapkan bisa melindungi warga negara tersebut.

PKS bahkan tak ragu untuk berbeda posisi dengan sahabat sejatinya, Partai Gerindra. Fraksi Gerindra di DPR tampak merespons lebih positif RUU tersebut ketimbang PKS yang dengan tegas menolaknya.

Serupa dengan pandangan kelompok-kelompok konservatif, argumentasi PKS berkutat pada perkara agama dan moralitas. PKS menganggap bahwa RUU PKS ini berperspektif liberal, sehingga bertentangan dengan Pancasila, agama, dan budaya ketimuran. Tak hanya itu, PKS juga menganggap RUU itu membuka ruang sikap permisif kepada perilaku seks bebas dan juga LGBT.

Langkah tersebut membuat PKS dikritik keras oleh elemen-elemen masyarakat sipil. Salah satu yang bersuara adalah putri Presiden Abdurrahman Wahid, Inayah Wahid. Menurut Inayah, PKS sudah ada dari sejak awal pembuatan RUU tersebut. Untuk itu, ia mempertanyakan ke mana saja PKS selama ini dan mengapa baru sekarang menolak RUU tersebut.

Sentimen Populisme Islam

Di satu sisi, sebagai sebuah partai berhaluan Islam yang cenderung konservatif, pilihan PKS boleh jadi ada alasannya. PKS boleh jadi hanya ingin mengambil sentimen populisme Islam yang tengah menanjak dengan menolak RUU PKS secara terang-terangan. Apalagi, hal ini sudah ditandai oleh orang-orang seperti Maimon dengan petisinya.

Mengapitalisasi momentum tersebut jelas merupakan hal yang menggiurkan bagi partai-partai yang akan berlaga pada Pemilu 2019. Secara spesifik, memanfaatkan sentimen tersebut berpotensi mendongkrak perolehan suara PKS yang notabene adalah partai Islam di pesta demokrasi nanti.

Apalagi, PKS sendiri kerap dianggap dalam posisi rawan tak bisa lolos ke parlemen. Dalam survei Indikator Politik Indonesia misalnya, PKS hanya mendapatkan 4,2 persen suara responden, raihan yang nyaris tak lolos dari ambang batas minimal 4 persen.

Menggunakan sentimen agama dalam membahas suatu peraturan memang wajar terjadi dan kerap berkaitan dengan popularitas aktor politik di mata masyarakat. Hal ini diungkapkan misalnya oleh Robin Bush saat membahas fenomena regulasi-regulasi berbau syariah. Menurut Bush, para pejabat di Indonesia memang memasukkan unsur agama atau syariah dalam kebijakan, sehingga dianggap sebagai peraturan populis karena sesuai dengan agenda kelompok Islam konservatif.

Tak hanya itu, memasukkan konteks agama ke dalam pembuatan kebijakan juga dianggap sebagai upaya untuk mengakumulasi kekuasaan oleh suatu aktor politik. Hal ini diungkapkan oleh Michael Buehler. Menurutnya, pasca reformasi, para aktor politik harus bekerja lebih dekat dan lebih rutin agar tetap berada dalam kekuasaan. Regulasi berbau syariah dianggap sebagai salah satu cara untuk bertahan dalam kekuasaan tersebut.

Perkara popularitas dan akumulasi kekuasaan ini, boleh jadi adalah motif PKS di balik pernyataan terang-terangan untuk menolak RUU PKS. Apalagi, menurut Bush, hal seperti ini menimbulkan respons kuat, sehingga para politisi kerap memberikan pernyataan terkait hal tersebut secara publik, termasuk langkah PKS dalam RUU PKS ini.

PKS tampak hanya membawa sentimen konservatisme saja saat menolak RUU PKS Share on X

Pada titik ini, publik bisa saja mengartikan PKS rela agar RUU PKS dikorbankan demi mengambil suara sebanyak-banyaknya pada Pemilu nanti. Masyarakat bisa saja menganggap PKS mau mengorbankan nasib penyintas kekerasan seksual demi kebutuhan elektoral mereka di Pemilu 2019.

PKS tampak memahami ada kelompok pasar masyarakat yang tak sepakat dengan RUU PKS ini, seperti Maimon dan sejenisnya di  internet. Boleh jadi, ceruk pasar seperti Maimon inilah yang coba diraup oleh PKS melalui sikapnya di DPR. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bush di atas tentang kesesuaian dengan agenda kelompok Islam konservatif.

Yang jadi persoalan adalah dari sikap PKS ini bisa saja ada yang mengartikan bahwa partai tersebut mewajarkan berbagai aksi kekerasan seksual di negeri ini. Apalagi, tampaknya PKS menolak RUU ini secara keseluruhan, alih-alih menolak pasal yang dianggap bertentangan dengan moral yang mereka usung.

Pada titik ini, ada potensi PKS justru dianggap tak sensitif kepada kasus-kasus kekerasan seksual saat mendukung agenda kelompok konservatif.

Pada akhirnya, sangat wajar jika PKS ingin memanfaatkan sentimen dan suara kelompok konservatif untuk mendongkrak raihan suara mereka. Langkah PKS menolak RUU PKS memang terlihat sejalan dengan agenda kelompok konservatif seperti Maimon dan orang-orang yang mendukung petisinya.

Meski begitu, akan lebih ideal jika PKS tak mengorbankan penyintas-penyintas kekerasan seksual dengan merespons lebih positif RUU PKS. Patut ditunggu seperti apa langkah PKS berikutnya seiring dengan kritik keras dari masyarakat sipil kepada partai tersebut dan pembahasan RUU ini secara umum. (H33)

Baca juga :  Ridwan Kamil “Ditelantarkan” KIM Plus? 
Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...