“Kontrol minyak, maka Anda akan kendalikan negara. Kontrol pangan, maka Anda akan mengendalikan rakyat.” ~ Henry Kissinger
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]P[/dropcap]angan merupakan salah satu kebutuhan utama manusia untuk hidup. Tak heran bila Mantan Presiden Amerika Serikat Henry Kissinger mengatakan, orang atau kelompok yang mampu mengontrol pangan akan mengendalikan rakyat. Oleh sebab itulah, ketahanan pangan menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan suatu pemerintahan dan menjadi alat vital dalam mempertahankan kestabilan negara.
Jadi, saat Kapolri Tito Karnavian dan Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman mengatakan kalau beras premium dengan nama dagang “Maknyuuss” dan “Cap Ayam Jago” merupakan oplosan dari beras subsidi pemerintah, wajar bila masyarakat sontak merasa gelisah. Bukan hanya karena merasa tertipu membeli beras murah dengan harga mahal, tapi juga karena beras tersebut terbukti tidak sesuai kadar gizinya dengan yang dijanjikan.
Eks Menteri SBY dan Pakar Kuliner di Balik Beras Premium Palsu https://t.co/fyLqFgeeO3
— CNN Indonesia (@CNNIndonesia) 22 Juli 2017
Terungkapnya kecurangan bisnis yang dilakukan PT Indo Beras Unggul (IBU) ini, ternyata juga membuat Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ikut blingsatan. Pasalnya, PT IBU merupakan anak perusahaan dari PT Tiga Pilar Sejahtera (TPS) yang salah satu komisarisnya anggota partai tersebut. Walau tidak berada dalam kepengurusan, namun keberadaan Anton Apriantono tentu cukup penting bagi PKS, karena pernah menjabat sebagai menteri pertanian pada Kabinet Indonesia Bersatu di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Buktinya, tak hanya Wakil Ketua Majelis Dewan Syuro PKS Hidayat Nur Wahid saja yang membela Anton, dengan mengatakan ia hanya kebetulan menjabat sebagai komisaris di TPS. Kader PKS lainnya, seperti Said Didu dan Tifatul Sembiring pun bereaksi keras dan menuding pemerintah telah melakukan fitnah. Mengapa reaksinya begitu keras, padahal bahkan Mentan maupun Kapolri saja masih belum memberikan status apapun pada PT IBU, apalagi Anton Apriantono?
Bukan Hanya Beras
“Sekali lagi sangat tidak fair kalau persoalan ini dikait-kaitkan dengan partai, padahal partai nggak ada hubungannya sama sekali. Dan beliau (Anton Apriantono) pun bukan pengurus di PKS.” ~ Hidayat Nur Wahid
Permintaan Hidayat Nur Wahid di atas, dikeluarkan tak lama setelah Kapolri mengungkapkan kecurangan yang dilakukan oleh PT IBU. Walaupun mengatakan kalau Anton bukanlah pengurus di PKS, sehingga seolah-olah bukan kader ‘penting’, tapi tetap ada unsur pembelaan bahwa Anton hanyalah ‘korban’ karena kebetulan menjabat sebagai komisaris di perusahaan tersebut.
Belakangan, partai beraliran Islam yang sebelumnya selalu digadang-gadang sebagai partai bersih dan anti korupsi ini, memang telah beberapa kali “babak belur” oleh kasus suap dan korupsi yang melibatkan kadernya. Peristiwa yang langsung diungkit masyarakat berkaitan beras oplosan ini, tentu saja kasus suap daging sapi impor. Kasus ini memang cukup fatal, karena membuat Lutfi Hasan Ishaaq yang tak lain adalah mantan presiden PKS, meringkuk di penjara selama 16 tahun.
Sohibul Iman: Jangan Kaitkan Kasus Beras PT IBU dengan PKS https://t.co/gKtBrOkC2N pic.twitter.com/BI0IM0XS4e
— detikcom (@detikcom) July 25, 2017
Di tahun ini saja, sudah ada dua kasus di luar kasus beras yang membuat wajah PKS coreng moreng. Mei lalu, dua kadernya di DPR ditetapkan sebagai tersangka karena terbukti menerima suap dari kasus proyek infrastruktur di Maluku. Bahkan di media sosial (medsos), transaksi suap tersangka yang menggunakan bahasa Arab, sempat menjadi perbincangan hangat oleh para netizen. Sebulan kemudian, salah satu kader PKS pun tertangkap Densus 88 karena terkait dengan organisasi Islam radikal, ISIS.
Upaya Menjatuhkan Partai?
“Struktur industri beras cenderung kompetitif di tingkat petani dan pengecer, tapi cenderung oligopoli di pusat-pusat distribusi (middleman).” ~ Syarkawi Rauf
Sebagai Ketua Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Syarkawi menduga terjadinya penipuan dengan modus menjual beras medium bersubsidi seharga beras premium, akibat persaingan usaha tak sehat di industri beras selama ini. Padahal, pemerintah telah menetapkan harga dasar pembelian gabah dan harga eceran tertinggi beras. Namun di hilir, diserahkan pada mekanisme pasar, sehingga penguasa jejaring distribusi leluasa mengeksploitasi konsumen melalui kenaikan harga.
Bila kader PKS yang juga mantan alumni IPB, Said Didu mengatakan kalau tudingan Mentan dan Kapolri aneh dan memalukan, mungkin karena penjelasan yang diberikan kemudian menjadi rancu antara beras yang disubsidi maupun beras bersubsidi. Menurut Syarkawi, PT IBU membeli beras yang disubsidi. Artinya, beras itu dihasilkan melalui bibit, pupuk, dan alat yang disubsidi oleh pemerintah. Sehingga, hasil yang diperoleh seharusnya juga dijual dengan harga yang telah ditetapkan pemerintah.
Jurubicara TPS sendiri sebenarnya tidak menampik bila mengambil beras IR64, namun dengan alasan diolah sendiri oleh perusahaannya, beras tersebut tercipta sebagai beras premium yang dapat dijual dengan harga pasar. Padahal menurut Kepala Sub bidang Data Sosial-Ekonomi pada Pusat Data dan Sistem Informasi Kementerian Pertanian, Ana Astrid, beras IR64 tidak akan berubah menjadi premium hanya karena diolah berbeda, sebab kandungan berasnya akan tetap sama dengan beras medium dengan harga jual yang telah ditetapkan pemerintah.
Fakta inilah yang kemudian menunjukkan kalau PT IBU telah meraup keuntungan besar, di tengah upaya pemerintah yang fokus meningkatkan produksi demi tersedianya beras secara kontinu dengan harga normal, sehingga petani dan konsumen diuntungkan. Tapi tindakan pelaku usaha ini membuat pemerintah, petani, dan konsumen dikorbankan. Lalu apakah tudingan bahwa kasus ini merupakan fitnah pemerintah untuk menjatuhkan PKS, silahkan masyarakat sendiri yang simpulkan.
Upaya “Bersih-bersih” Jokowi?
“Saya akan buat mata rantai distribusi beras menjadi sependek mungkin tanpa harus melalui apa yang selama kita sebut middle men atau pedagang perantara.” ~ Andi Amran Sulaiman
Memberantas mafia beras, itulah janji Mentan yang ia deklarasikan setahun lalu. Sejak tahun lalu juga, sebenarnya Amran telah mengincar TPS yang diduga ikut serta dalam melakukan penimbunan beras untuk mempermainkan harga beras di pasaran. Menurutnya, ulah mafia beras ini telah menyusahkan masyarakat sehingga ia bertekad untuk memendekkan jalur distribusi beras guna memberangus mafia beras yang biasanya bermain sebagai middle men atau pedagang perantara. Amran memberikan penjelasan yang lebih lengkap di sini:
Tapi siapa sangka bila ulah bersih-bersih Amran ini, ternyata harus berurusan dengan salah satu kader PKS. Bila dirunut ke belakang, di era Presiden SBY, posisi menteri pertanian memang selalu dipegang oleh PKS. Tercatat dalam dua kabinet Indonesia Bersatu, baik Anton maupun Suswono berasal dari Partai Putih tersebut. Herannya, kedua menteri itu juga tersangkut kasus-kasus korupsi, seperti korupsi daging sapi dan korupsi Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT).
Bila kita berpikir sedikit kritis, alasan Anton sebagai komisaris TPS tidak terlibat dalam kasus beras juga sebenarnya agak naif. Sebagai komisaris, Anton memiliki kewajiban untuk memantau dan memberikan nasihat demi kemajuan perusahaannya. Apakah mungkin, seorang komisaris tidak tahu menahu mengenai adanya ‘keanehan’ di anak perusahaannya? Lagi pula, keterangan yang disampaikan Anton juga tidak sesuai dengan keterangan Amran mengenai beras yang disubsidi. Apakah sebagai mantan Mentan, ia tidak tahu kebijakan pemerintah tentang beras varietas IR64 atau apapun nama penggantinya tersebut?
Di sisi lain, walaupun pada Selasa (25/7), Amran telah menyampaikan permintaan maaf pada fraksi PKS di DPR karena mengaitkan kasus beras dengan partainya. Namun sebagai seorang menteri, apakah Amran benar-benar tidak sengaja menyatakan afiliasi partai Anton pada publik dan media? Atau memang ada ‘sesuatu’ dibaliknya, mengingat PKS akan menjadi salah satu oposisi bagi Jokowi di Pilpres 2019 nantinya. Karena bagaimana pun juga, kasus ini telah sekali lagi menjatuhkan citra PKS sebagai partai yang bersih di mata rakyat.
Namun apapun itu, bahkan DPR pun tetap memberikan apresiasi pada Amran, karena telah berupaya meminimalisir kerugian bagi pemerintah, konsumen, dan khususnya petani. (R24)