“Mau cari kader terbaik, kader yang bisa punya kinerja yang tidak memalukan partai,” Al Muzzammil Yusuf, Ketua DPP PKS
PinterPolitik.com
[dropcap]B[/dropcap]ara di dalam tubuh PKS tampaknya masih belum akan padam. Alih-alih mereda, api konflik sepertinya berpotensi tambah menyala. Setelah berkonflik dengan salah satu pentolan utama mereka, Fahri Hamzah, partai dakwah tersebut juga kini tengah menghadapi konflik dengan bakal caleg mereka.
Kontroversi menyeruak setelah DPP PKS mengeluarkan surat edaran mengenai permintaan Bakal Calon Anggota DPR (BCAD) PKS agar bersedia mengundurkan diri. Surat edaran tersebut ditentang oleh banyak caleg yang semula akan melaju dari partai yang dipimpin Sohibul Iman tersebut.
Banyak caleg yang tidak menerima peraturan yang dibuat melalui surat edaran tersebut. Banyak dari mereka memilih untuk mengundurkan diri dari pencalegan partai yang berkantor di MD Building tersebut. Babak baru konflik pimpinan PKS dengan kadernya pun kini resmi dimulai.
Konflik antara pimpinan dengan kader bagi partai seperti PKS adalah hal yang aneh. Sebagai sebuah partai kader yang kerap dipuji sistem kaderisasinya, PKS seharusnya terhindar dari konflik internal semacam ini. Lalu, mengapai bisa ada bara di dalam tubuh partai ini?
Surat Edaran Pemicu Perang
“Perang sipil” antara pimpinan-pimpinan PKS dan kader-kadernya seolah tidak ada habisnya. Saat konflik dengan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah belum berakhir, episode baru konflik internal kini dimulai melalui selembar surat.
Surat pembawa prahara tersebut ditujukan kepada BCAD PKS. DPP PKS memberi persyaratan baru yang relatif “unik” kepada kader-kadernya yang ingin melaju menjadi anggota legislatif. Aturan yang tertera di dalam surat tersebut dianggap menjadi kerangkeng bagi kader-kader partai dakwah.
Bagaimana tidak, surat edaran tersebut memuat kesediaan bakal caleg untuk menandatangani surat pengunduran diri yang bertanggal kosong.
Di mata sejumlah pihak, surat itu menjadi semacam kerangkeng bagi kader-kadernya. Surat itu disebut-sebut sebagai trauma partai dakwah terhadap perilaku kader seperti Fahri Hamzah. Seperti diketahui, Fahri memang mengambil sikap berseberangan dengan PKS dan menimbulkan konflik berkepanjangan.
Para bakal caleg partai berlogo bulan sabit dan padi ini pun segera mengambil sikap. Beberapa kader memutuskan untuk mengundurkan diri dari daftar pencalegan partai tersebut. Tidak tanggung-tanggung, beberapa kader yang sudah duduk di kursi parlemen juga memilih mundur akibat kebijakan tersebut.
Secara spesifik, surat edaran tersebut memperuncing konflik elite-elite PKS dengan para loyalis Anis Matta, mantan presiden mereka. Nama seperti Mahfudz Siddiq misalnya mempertanyakan kebijakan tersebut dan mengurungkan niatnya untuk kembali melaju ke Senayan.
Suara loyalis Anis Matta yang lain muncul dalam sosok Fahri Hamzah. Secara khusus, ia menyoroti bahwa sikap partai yang seperti ini bisa menyebabkan partai yang ia dirikan akan berakhir prematur. Ia memprediksi PKS hanya akan berumur 20 tahun dan berakhir di tahun 2018.
DPP PKS sendiri tampak tidak bergeming atas lautan kritik yang dialamatkan kader-kader mereka. Sikap mereka tampak terang dan jelas: taat atau pisah. Mereka mengaku bahwa mereka memang sengaja mencari kader terbaik yang taat.
Partai dakwah ini menyebut bahwa mereka memiliki kebijakan, kode etik, dan fastun partai tersendiri. Jika memang kader atau caleg tidak setuju dengan hal-hal tersebut, maka mereka tidak akan menutup pintu jika ingin pergi mencari rumah lain.
Menjadi Partai Elite?
Banyak yang menilai bahwa PKS kini mengalami perubahan yang cukup drastis. Partai ini semula kerap dijadikan contoh partai kader dengan sistem terbaik di negeri ini. Meski begitu, hal ini tampaknya justru dikikis perlahan oleh perilaku elite mereka sendiri.
Kader-kader mereka mengritik bahwa PKS kini sudah melupakan jati diri mereka sebagai partai kader. Fahri Hamzah misalnya menyebut kini PKS seolah-olah telah menjadi alat bagi kemauan para elitenya.
Terlihat bahwa ada semacam transformasi atau setidaknya pergeseran PKS dari semula partai kader, menjadi partai elite. Secara konseptual, istilah partai elite dikemukakan pertama kali oleh Edmund Burke. Konsep ini kemudian dibicarakan lebih lanjut di dalam pemikiran Maurice Duverger.
Tindakan menghancurkan PKS melalui pemilu oleh pimpinan PKS sekarang ini semakin nyata. Setelah menekan Caleg supaya teken pengunduran diri sebelum #Pileg2019 , isu lain yg akan hancurkan PKS adalah permainan elite dalam hadapi #Pilpres2019
— #2019HayyaAlalFalah (@Fahrihamzah) July 10, 2018
Partai elite kerap digambarkan sebagai partai yang dikuasai oleh elite yang berasal dari kelas sosial tertentu. Elite-elite ini sepakat untuk berkooperasi secara politik untuk mencapai tujuan atau prinsip-prinsip tertentu.
Menurut Richard Gunther dan Larry Diamond, partai elite juga cenderung bersifat klientelistik. Partai semacam ini memobilisasi dukungan melalui sumber daya pribadi dan melalui hubungan patron-klien.
Di dalam PKS, elite yang dimaksud adalah para petinggi DPP dengan sejumlah kebijakannya. Mereka mulai menyempurnakan sistem kepatuhan di dalam partai dengan surat edaran tentang pengunduran diri. Dengan begitu, sentral kekuatan menjadi murni di tangan elite, bukan kader.
Hubungan patron-klien dari titik ini dapat muncul karena elite hadir sebagai sosok yang memberikan kekuasaan kepada kader dengan menjadi caleg. Melalui surat kesediaan mengundurkan diri, elite sebagai patron bisa mengambil kuasa dari caleg kapan saja.
Ironi Partai Kader
Jika diperhatikan, perubahan sifat PKS dari partai kader menjadi partai elite dapat dikatakan sebagai sesuatu yang disayangkan. Bagaimana tidak, sistem kaderisasi partai berhaluan Islam ini tergolong mentereng dan banyak diidamkan oleh pihak lain.
Kaderisasi yang hierarkis di partai ternyata tidak sepenuhnya berjalan. Posisi-posisi penting di partai kini berada di tangan para elite dan lingkar satu kekuasaannya, alih-alih para kader yang bekerja keras dari tingkat akar rumput.
Tampak bahwa doktrin ketaatan dalam jamaah – PKS kerap disebut partai rasa jamaah – justru dimanfaatkan oleh elite-elite partai untuk kepentingan mereka. Atas nama ketaatan, para elite ini justru mengebiri hak-hak kader dengan memaksa untuk mau mengundurkan diri kapan saja.
Saat kader-kader tersebut mencoba melakukan mobilitas dengan menjadi caleg, kiprah mereka justru dihambat dengan surat edaran tersebut. Akibatnya, kader-kader kesulitan untuk mencapai tingkatan yang setara dengan para elite.
Terlihat bahwa kini kader-kader yang semula menjadi tumpuan utama justru hanya dimanfaatkan saja untuk kepentingan elite partai. Alih-alih menjadi motor utama bagi partai, para kader tersebut justru kini seperti hanya dimanfaatkan sebagai konstituensi saja. Berdasarkan kondisi tersebut, terlihat bahwa telah terjadi peralihan kekuatan utama partai, dari kader militan ke segelintir elite. Kondisi ini jelas merupakan sebuah ironi bagi partai yang dikenal karena kaderisasinya.
Itu puncak kebekuan pikiran….anggota DPR adalah wakil RAKYAT….pergantian ya diatur UU…intervensi partai seperti surat itu berbahaya… dulu PKS memakai slogan: “loyalty to my party ends when loyalty to my country begin…” Sekarang semua orang mau dikerangkeng… pic.twitter.com/22oeG1FdqE
— #2019HayyaAlalFalah (@Fahrihamzah) June 30, 2018
Dengan berkonflik dengan kadernya sendiri, para elite ini seperti tengah membangun oligarki atau bahkan monopoli di dalam partai. Para elite ini seperti tidak lagi ingin mendapatkan gangguan dari kadernya. Trauma dengan Fahri memang wajar dan manusiawi. Akan tetapi, memenjara kader melalui surat pengunduran diri boleh jadi tindakan yang kelewat batas.
Dengan mengalihkan kedaulatan partai dari kader ke elite, PKS telah mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi dalam berpartai. Padahal, partai politik sendiri adalah instrumen utama di dalam demokrasi. Sebuah kontradiksi jika partai seperti PKS justru tidak menjalankan demokrasi di dalam internal partainya sendiri.
Di atas kertas, sangat rasional jika kemudian para caleg berniat memupuskan keinginan mereka duduk di kursi parlemen. Mereka jelas tidak ingin hak mereka sebagai legislator dan juga individu dibelenggu oleh partai.
Tingkah para elite yang mengalihkan kekuasaan dari kader ke mereka hanya memperburuk hubungan mereka dengan kader. Konflik yang lebih dahulu muncul antara pimpinan DPP dengan loyalis Anis Matta jelas tambah berkobar disiram bensin berupa surat edaran.
Idealnya, para elite ini harus melihat kembali tujuan mereka berpartai. Mereka memang memiliki kredo ketat tentang ketaatan kader kepada pemimpin. Meski begitu, sistem kaderisasi akan sia-sia jika kedaulatan terbesar justru berada di tangan elite, alih-alih kader. Jika hal itu terus dipaksakan, mungkin bukan ucapan syukur yang terucap di 2019 nanti, tetapi ucapan Fahri Hamzah saat melihat kondisi PKS sekarang: Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. (H33)