Setelah PDIP mengusulkan untuk menambah parliamentary threshold (PT) sebesar 5 persen, partai-partai lain kemudian turut memberikan tanggapan, baik penolakan maupun dukungan. Menariknya, di tengah penolakan partai-partai seperti PSI dan PBB, partai lain seperti PKS dan Nasdem justru mengusulkan PT yang jauh lebih besar dari PDIP, yakni masing-masing 7 dan 7,5 persen. Diusulkannya jumlah PT yang besar tersebut tentu saja menunjukkan bahwa PKS dan Nasdem begitu percaya akan keberhasilannya di Pemilu selanjutnya. Lantas, manuver politik apakah yang tengah dipersiapkan keduanya di balik optimisme tersebut?
PinterPolitik.com
Parlementary threshold atau ambang batas persyaratan minimal yang harus diperoleh partai politik (parpol) untuk mendapatkan kursi di parlemen mulai ditetapkan pada Pemilu 2009 dengan tujuan untuk melakukan penyederhanaan parpol di parlemen.
Dengan catatan terdapat 9 dari 38 parpol pada Pemilu 2009, 10 dari 12 parpol pada Pemilu 2014, dan 9 dari 16 parpol pada Pemilu 2019 yang berhak mendapatkan kursi di parlemen, terlihat jelas penerapan PT telah memenuhi raison d’etre atau alasan keberadannya untuk diterapkan.
Tidak hanya tren pemangkasan jumlah parpol di parlemen, terjadi pula tren peningkatan persentase PT di setiap gelaran Pemilu. Pada Pemilu 2009, PT yang ditetapkan sebesar 2,5 persen, dan pada Pemilu 2014 dan 2019 masing-masing sebesar 3,5 dan 4 persen. Melanjutkan trennya, parpol pemenang pemilu, PDIP, kemudian memberikan usul agar PT ditetapkan menjadi 5 persen.
Seperti “lagu lama”, usulan kenaikan PT selalu menjadi momok menakutkan bagi parpol kecil atau bagi parpol yang tidak lolos ke Senayan. Keluh kesah tersebut misalnya dikemukakan oleh Ketua DPP Partai Hanura, Inas Nasrullah yang menilai menaikkan PT adalah bentuk perampasan suara rakyat oleh parpol-parpol besar.
Senada, Ketua DPP Partai Berkarya, Badaruddin Andi Picunang juga menegaskan bahwa wacana tersebut dapat melenyapkan partai menengah ke bawah.
Kontras, bagi partai besar atau yang telah merasakan empuknya kursi Senayan, usulan tersebut justru mendapatkan sambutan hangat. Tidak hanya mendukung, parpol seperti PKS dan Nasdem justru mengusulkan penambahan jumlah PT yang lebih besar dari PDIP dengan mencapai 7,5 persen.
https://www.instagram.com/p/B4UjmdmgZjt/?utm_source=ig_web_copy_link
Terang saja, usulan penambahan PT yang besar tersebut memperlihatkan optimisme kedua parpol akan kemampuannya untuk sukses di Pemilu 2024. Tidak hanya itu, kekompakan PKS dan Nasdem dalam mengajukan PT di kisaran 7 persen juga menambah kuat indikasi bahwa kedua parpol ini akan menjalin koalisi ke depannya.
Lantas, jika benar demikian, mengapa Nasdem harus berjudi dengan PKS dan tidak mempertahankan hubungan baik dengan PDIP yang tengah begitu berkuasa saat ini?
Lepas dari Dominasi PDIP?
Sinyal kedekatan Nasdem dengan PKS sebenarnya telah terendus lama sejak partai biru tersebut melakukan kunjungan ke kantor PKS pada 30 Oktober 2019 lalu. Atas kunjungan itu, kemudian viral foto Ketua Umum Nasdem, Surya Paloh tengah berpelukan erat dengan Presiden PKS, Sohibul Iman.
Pertemuan tersebut, tentu saja tidaklah biasa menimbang pada posisi kedua parpol yang sejatinya berseberangan. Pasalnya, Nasdem merupakan langganan koalisi pemerintah, sedangkan PKS merupakan parpol oposisi yang paling konsisten hingga saat ini. Atas hal ini, tidak heran kemudian banyak pihak memberikan sorotan lebih terhadap pertemuan tersebut.
Tidak tanggung-tanggung, Presiden Jokowi bahkan turut memberikan tanggapan dengan menyebut dirinya tidak pernah dirangkul oleh Surya Paloh seerat seperti merangkul Sohibul Iman.
Pertemuan lanjutan antara Nasdem dengan PKS kemudian terselenggara di kantor Nasdem pada 29 Januari 2020 lalu. Atas hal ini, terang saja anggapan bahwa Nasdem tengah berusaha membangun kekuatan politik bersama PKS semakin menguat di benak berbagai pihak.
Di luar persoalan adanya diktum politik yang menyebutkan tidak terdapat kawan ataupun musuh yang abadi. Selaku seorang pebisnis, Surya Paloh tentu saja menerapkan rational choice theory atau teori pilihan rasional, di mana pilihannya mestilah mempertimbangkan untung rugi.
Lalu melihat peta politiknya, kita mungkin akan menemukan sebuah kerancuan kalkulasi politik, menimbang pada PDIP saat ini adalah parpol yang begitu berkuasa dan berpengaruh. Hal tersebut terlihat jelas dengan partai banteng menguasai berbagai pos-pos penting, seperti Ketua DPR, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), presiden, kursi terbanyak di parlemen, hingga adanya afiliasi dengan Jaksa Agung.
Artinya, jika Surya Paloh ingin mempertahankan status quo atau kekuasaan parpolnya, bukankah menjaga hubungan baik dengan PDIP adalah pilihan yang rasional?
Atas keganjilan ini, sebuah studi gabungan dari University of Cologne, University of Groningen, dan Columbia University sepertinya memberikan kita keterangan yang cukup menjawab.
https://www.instagram.com/p/B4TfaT9pFMZ/
Studi tersebut ingin menjawab pertanyaan mengenai pilihan di antara kondisi dapat mempengaruhi atau mengontrol orang lain, dengan kondisi berotonomi atau terbebas dari kontrol orang lain – kondisi mana yang lebih memuaskan hasrat individu akan kekuasaan?
Berdasarkan berbagai eksperimen yang dilakukan, hasilnya menunjukkan bahwa hasrat akan kekuasaan partisipan ternyata lebih terpuaskan dengan kondisi berotonomi daripada kondisi mengontrol orang lain.
Dengan kata lain, kita mungkin dapat memahami bahwa manuver politik yang memperlihatkan indikasi-indikasi Nasdem tengah membangun blok kekuatan politik dengan PKS juga menunjukkan bahwa partai biru sepertinya ingin keluar dari bayang-bayang PDIP.
Apalagi, dengan berbagai gestur politik yang terjadi antara Nasdem dengan PDIP beberapa waktu terakhir ini, terlihat jelas bagaimana hubungan keduanya tengah berjalan tidak harmonis. Kondisi tersebut misalnya terlihat jelas ketika Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri tidak menyalami Surya Paloh saat acara pelantikan DPR RI pada 1 Oktober 2019 lalu.
Bahkan pengamat politik, Satyo Purwanto memberikan dugaan bahwa gestur tersebut menunjukkan bahwa Megawati ingin Nasdem agar keluar dari koalisi pemerintahan.
Modal Politik Nasdem?
Kembali pada teori pilihan rasional, Surya Paloh tentunya telah memiliki pertimbangan, di mana kalkulasi terkait manuvernya untuk berkoalisi dengan PKS akan membuahkan keuntungan.
Melihat peta politik, saat ini PKS sebenarnya tengah mengalami insentif elektoral. Sebagaimana diketahui, setelah Pilgub DKI Jakarta 2017, terjadi kebangkitan militansi suara Islam dalam partisipasi politik. Pada Pilpres 2019 lalu, militansi suara Islam tersebut terlihat jelas menjadi kekuatan politik yang sangat diperhitungkan.
Konteks tersebut membuat peran PKS menjadi begitu penting. Pasalnya, setelah Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto bergabung ke dalam koalisi pemerintahan, praktis suara Islam mengerucut ke parpol Islam yang konsisten berposisi sebagai oposisi pemerintahan. Parpol tersebut tentu saja adalah PKS.
Jika PKS memiliki insentif elektoral berupa militansi suara Islam, maka Nasdem juga memiliki modal politik berupa dana politik yang melimpah. Hal ini misalnya terlihat dari Nasdem menempatkan diri sebagai parpol dengan dana terbesar ketiga di Pemilu 2019 seteleh PDIP dan Golkar dengan total dana mencapai Rp 259 miliar.
Di tubuh Nasdem sendiri, diketahui terdapat banyak pengusaha yang tentunya dapat menambah kekuatan ekonomi parpol untuk menunjang setiap Pemilu. Sebut saja pebisnis besar macam Rachmat Gobel yang merupakan orang terkaya ke-119 di Indonesia dengan total kekayaan mencapai Rp 3,69 triliun.
Selain memiliki modal ekonomi yang besar, data yang dirilis oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS) juga memperlihatkan suatu fenomena politik menarik yang terjadi pada Pemilu 2019, di mana 20 dari 31 caleg petahana justru pindah parpol ke Nasdem.
Data yang lebih mencengangkan kemudian diungkapkan oleh Koodinator Konsorsium LSM Bengkulu, Syaiful Anwar yang memaparkan bahwa sebanyak 195 kepala daerah di Indonesia telah menjadi kader Nasdem sebelum pegelaran Pemilu 2019.
Menggabungkan berbagai modal politik, seperti basis massa PKS, modal ekonomi, hingga kader-kader berkualitas, tentu saja membuat koalisi Nasdem dan PKS nantinya dapat menjadi kekuatan politik yang sangat diperhitungkan.
Akan tetapi, tentunya masih panjang untuk menjawab apakah Nasdem dan PKS benar-benar akan berkoalisi atau tidak di Pemilu 2024. Namun, menarik untuk ditunggu apakah gabungan kekuatan nasionalis-bisnis ala Nasdem dan agamis ala PKS akan benar-benar terjadi atau tidak. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.