PKS menempati posisi ke-4 pada pemilu 2019, dengan perolehan suara berkisar di 8-9%. Hal tersebut menarik di tengah kemelut gempuran eksternal maupun internal PKS. Salah satu alasannya yaitu sistem kaderisasi yang kuat. Akankah PKS mampu mewajah menjadi parpol besar di masa mendatang?
Pinterpolitik.com
[dropcap]H[/dropcap]asil hitung cepat pemilu legislatif 2019 mengejutkan banyak pihak, sebab dari berbagai analisis lembaga survei senada memberitakan soal elektabilitas partai politik nyatanya banyak yang meleset. Salah satu prediksi yang tidak tepat yaitu didapati oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Survei Voxpol Center misalnya sebelum pileg berlangsung menunjukkan PKS dipatok hanya mendapat 3 koma.
Nilai tersebut akhirnya harus direvisi, survei yang dilakukan per hari pencoblosan menunjukkan suara PKS bertengger di angka 8.89%, menjadi jawara urutan ke 5 berdasarkan rilisan Charta Politika.
Dari perolehan suaranya yang kecil dan tidak akan lolos ke parlemen, serta prediksi bahwa parpol Islam tidak akan mendapatkan momentumnya di pemilu 2019, praktis dipatahkan oleh PKS, sebab PKS tampil gemilang.
Kegemilangan ini tentu patut dipuji, sebab PKS sedang banyak diterpa masalah, yakni perpecahan internal. Yang paling mudah diidentifikasi adalah munculnya Gerakan Arah Baru Indonesia (GARBI) yang dimotori oleh Anis Matta dan loyalisnya seperti Fahri Hamzah dan Mahfudz Siddiq.
Banyak yang melihat GARBI adalah ancaman besar terlebih jejaringnya hingga pelosok daerah, dan dia digerakkan oleh Fahri Hamzah, mantan ketua KAMMI, underbow dari mesin politik PKS.
Jika Fahri nampak melakukan gempuran yang bersifat eksternal, dalam internal partai sendiri terjadi perpecahan yang sulit untuk diredam. Ada upaya pembersihan loyalis Anis Matta yang biasa disebut sebagai faksi sejahtera, dimana PKS sekarang disebut-sebut dikuasai oleh faksi keadilan.
Konflik bergulir, DPP PKS bahkan mengedarkan surat pernyataan bakal calon anggotanya yang memerintahkan untuk tunduk jika partai menginginkan pergantian kapanpun saatnya.
Belum lagi isu bahwa PKS disinyalir bahwa dia bertalian dengan gerakan islam garis keras yang dalam banyak pengamatan politik dianggap akan menggerus elektabilitasnya.
Dengan gempuran baik dari eksternal maupun internal dan sebaran isu negatif atasnya, PKS mampu menunjukkan taringnya di pemilu 2019. Formula tersebut menjadi sesuatu yang harus dicermati oleh semua pihak.
Kekuatan PKS
Tentu ini bukan kali pertama PKS menjalani pemilu dengan kondisi konflik internal maupun eksternal. Di 2014, ketika Presiden PKS saat itu Luthfi Hasan Ishaaq dicokok KPK atas dugaan korupsi kuota impor daging.
Tak dinyana, PKS mampu bertahan. Persentase suara nasional memang berkurang di 2014, namun suara tetap naik secara progresif, di angka 8 juta suara. Pengulangan kesuksesan mempertahankan elektabilitas di masa sulit seperti ini menjadikan PKS sebagai partai yang layak untuk diperhitungkan.
Dengan berideologikan Islam, dan wacana memasukkan ajaran agama Islam ke dalam kebijakan pemerintah, PKS memilki banyak iris keterkaitan dengan kelompok Islam puritan. PKS dalam konteks Indonesia amat terkait dengan jemaah Tarbiyah, sebuah sistem pendidikan terpadu dengan menggunakan basis masjid melalui lingkar kecil yang berjenjang hingga ke tingkat atas.
Di tataran corak politik, PKS banyak dikaitkan dengan Ikhwanul Muslimin. Pendirinya, Hilmi Aminuddin, adalah orang yang secara ideologis dekat dengan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Model yang dipergunakan sama, yaitu memperjuangkan masuknya kebijakan yang berbasis pada agama Islam, sistem demokrasi dan bentuk negara bangsa diperbolehkan untuk berjihad dari dalamnya.
@PKSejahtera nah kan suara PKS pada pemilu 2019 ada peningkatan, kita tunggu janji kampanye yg akan mengratiskan pajak sepeda motor & SIM seumur hidup
ingat ya janji adalah HUTANG pic.twitter.com/XApHoW6mac— suka dan dosa (@Apelgede) April 22, 2019
PKS menggunakan sistem kaderisasi berjenjang, mulai dari lingkar-lingkar kecil di masjid yang banyak difokuskan pada kampus-kampus besar di Indonesia. Canggihnya PKS menggunakan kaderisasi yang bermodel keluarga (usrah), sama seperti yang dilakukan Ikhwanul Muslimin.
Kegiatan usrah ini luas, meliputi halaqah (kelompok keilmuan), liqa (pertemuan mingguan evaluasi pribadi), rihlah (rekreasi), mukhayyam (perkemahan), daurah (pelatihan). Kesemuanya menyasar rohani dari kader. Tidak hanya di level peribadatan, sistem kaderisasi ini adalah satu paket lengkap, seluruh dimensi kehidupan dicakup, sehingga susah untuk keluar dari sistem tersebut, sebab memang bagus dan kuatnya indoktrinasi di dalamnya.
Seluruh tipe-tipe cara kaderisasi ini menggunakan hierarki yang begitu kuat, yang disebut marhalah. Yang berisikan pembelajaran ilmu, organisasi, dan karakter. Tahap selanjutnya adalah pengambilan sumpah sebagai kader PKS.
Sistem yang rapih saja tidak cukup, namun harus ada konten ideologi yang kuat sehingga bisa diracik menjadi sebuah paduan kaderisasi yang gahar. Dalam hal ideologi PKS nampak menjadi ahlinya. Perjuangan yang dilakukan oleh seluruh partai adalah perjuangan Islam, artinya masuk partai adalah sebuah jihad bagi mereka.
Militansi jihad inilah yang terus ditanamkan, memperjuangkan Islam sebagai agama yang bersifat universal dan ganjaran di akhirat nanti. Jika energi jihad di lain versi berbentuk kekerasan, dan cenderung dilakukan dengan serangan-serangan partikular. Sebaliknya, PKS mampu memobilisasi jihad ini dalam kesadaran sosial, dia tidak dieksekusi secara individual namun bersama-sama, disanalah energi mereka terpupuk subur.
Ideologi yang mereka pergunakan juga tidak mudah untuk diperjualbelikan, bagaimana PKS menunjukkan konsistensinya sebagai oposisi, dan terus menerus menyalak semua hal yang bagi mereka bertentangan dengan ideologi yang mereka emban, mereka tidak pragmatis dalam berideologi.
Dari sanalah PKS berjuang, mereka bekerja dari rupiah ke rupiah tanpa mengandalkan pengusaha besar dan patronase oligarki, sistem memang hierarkis, namun bersifat demokratis, selama seorang kader memiliki kapabilitas, dia akan dilontarkan ke panggung politik.
Iuran dari bawah yang dilakukan PKS menjadikan seluruh kader PKS merasa memiliki partai, dengan demikian semua turut menjaga. Ilusi kepemilikan ini menjadi satu daya tersendiri, sebab menjadi manusia di era modern ini adalah dengan memiliki sebanyak mungkin hal, pemupukan kapital.
Dan akan terejawantahkan pada turunan yang ketiga, yaitu soal keikhlasan. Tidak bisa diragukan bahwa kader PKS memiliki loyalitas dan keikhlasan tinggi. Mereka turun ke basis, dan betul-betul melayani masyarakat, tanpa dibayar sepersepun (Burhanuddin Muhtadi, 2012).
Terakhir, sebab bersandar pada kapabilitas, ketokohan menjadi tidak penting, kultus seperti di parpol lain dan menjadikan sistem demokrasi tidak macet tidak terjadi. PKS berfokus pada soliditas bersama, siapapun bisa diganti, tokoh bisa disilih, yang terpenting adalah struktur tetap kokoh dan dia diisi oleh orang yang memiliki kualitas. PKS persis meniru sistem korporasi, dia bercorak teknokratik, sistem semacam inilah yang akan bertahan lama.
Secara spesifik, menurut Kikue Hamayotsu, associate professor dari Northern Illinois University, PKS dapat dengan mudah melakukan mobilisasi karena kemampuan mereka membangun identitas kolektif melalui dakwah. Hal ini membuat PKS memiliki kesetian kolektif yang kuat di antara kadernya.
PKS punya masa depan cerah, kalau kamu dan pasanganmu? Share on XMasa Depan PKS
Di tahun 2019 ini PKS menuai berkahnya. Terlihat bahwa meski dihantam berbagai isu internal dan eksternal, suara mereka tetap kokoh bahkan mengalami kenaikan. Dalam konteks tersebut, kader yang menjadi modal utama mereka mampu menjaga posisi partai tetap terhormat.
Taktik terakhir yang digunakan PKS adalah dengan memperlihatkan bahwa mereka tidak hanya membawa isu agama, namun isu-isu dasar di masyarakat, seperti pajak kendaraan bermotor. Hal tersebut sangat baik demi memperlebar wilayah cakupan dari pemilih yang akan disasar.
Dan dengan masuknya PKS ke barisan nasionalis, kaum abangan, ada keuntungan elektoral dan jangka panjang, bahwa PKS tidak alergi dengan kepluralan keadaan, mereka mau menerima yang berbeda, sehingga menjadi modal besar bagi partai ke depannya.
Maka dengan sistem yang demokratis, gaya kerja korporat-teknokratis, kaderisasi yang berjenjang dan kuat hingga ke akar rumput, basis ideologi yang kokoh dan tidak pragmatis, serta pendekatan umbrella ideology dengan membawa isu-isu di luar Islam, PKS bisa menjadi partai besar dan kuat di tahun-tahun mendatang.
Yang jadi pertanyaan besar adalah, apakah PKS bisa lepas dari jebakannya sebagai partai menengah. Sebab, sejauh ini perolehan suara cenderung konstan di kisaran 6-9 persen, sehingga banyak yang menyebut, bahwa suara riil PKS memang hanya disumbang kadernya saja.
Pada akhirnya, patut ditunggu apakah PKS akan menjadi besar atau terjebak sebagai partai menengah. PKS perlu memaksimalkan kadernya agar tidak hanya menjadi sumber suara inti mereka tetapi juga bisa menarik suara pemilih lain. (N45)