HomeNalar PolitikPKS Mengemis ke PDIP?

PKS Mengemis ke PDIP?

Setelah reshuffle kemarin, PKS secara resmi “sendirian” dan tampak semakin melemah sebagai oposisi setelah Ketua Umum (Ketum) PAN Zulkifli Hasan (Zulhas) mendapat jatah menteri. Untuk dapat bertahan, PKS agaknya harus membuat gebrakan koalisi ekstrem, yakni berpadu dengan PDIP. Mengapa demikian?


PinterPolitik.com

I walk a lonely road, the only one that I have ever known,” petikan lagu berjudul Boulevard of Broken Dreams dari band rock asal Amerika Serikat (AS) itu kiranya tepat dilantunkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Pasalnya, pasca reshuffle kemarin, PKS secara resmi kembali kehilangan mitra koalisinya di pemilihan umum (Pemilu) 2019 lalu saat Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan (Zulhas) mendapat jatah Menteri Perdagangan (Mendag) dalam pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).

Meski gelagat PAN merapat ke pemerintah telah eksis sebelumnya, penunjukan Zulhas sebagai menteri tampak menasbihkan PKS sebagai satu-satunya penyeimbang narasi pemerintah.

Menanggapi hal tersebut, juru bicara (jubir) PKS Ahmad Mabruri menegaskan bahwa partainya akan tetap berada “di luar” sampai kontestasi elektoral 2024. Dia juga menyatakan bahwa partai yang dikomandoi Ahmad Syaikhu itu akan terus mempertahankan predikat oposisi.

Namun, eksistensi PKS sebagai penyeimbang atau oposisi kiranya akan terus melemah, apalagi ketika berbicara hingga jangka waktu 2024. Selain akibat berhadapan dengan koalisi besar pemerintah yang dipimpin PDIP, kelemahan itu ditambah dengan faktor inkonsistensi PKS di parlemen.

Keberadaan Partai Demokrat yang juga memiliki kecenderungan partai seberang pemerintah seolah tidak banyak membantu karena PKS dan Demokrat tampak belum menemukan chemistry politik di Senayan hingga detik ini.

Belum selesai sampai di situ, upaya menghilangkan kesendirian lewat penjajakan koalisi Semut Merah bersama PKB kabarnya tak berjalan mulus. Itu setelah PKB faksi merah Solo secara gamblang menolak jalinan politik dengan PKS.

Kemarin, Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP PKS Aboe Bakar Alhabsy juga seolah mengafirmasi kabar tersebut bahwa PKS mungkin masih akan tetap sendiri, dengan mengakui pembentukan koalisi dengan PKB tersebut masih belum pasti.

Rangkaian dinamika itu seolah membuka ruang tafsir bahwa PKS sedang berada dalam kondisi sulit saat ini, termasuk proyeksi langkahnya menjelang Pemilu 2024. Jika terus berlanjut, bukan tidak mungkin PKS justru akan terbenam atau bahkan jatuh di ajang pesta demokrasi mendatang. Mengapa demikian?

infografis koalisi semut merah siap menggigit

PKS “Turun Mesin”?

Gejala-gejala kemunduran PKS jelang tahun politik 2024 agaknya dapat dijelaskan dalam beberapa poin penting. Yang pertama dan utama tentu mengenai identitas parpol Islam yang lekat dengan partai yang awalnya bernama Partai Keadilan (PK) itu.

Deasy Simandjuntak ilmuwan politik di ISEAS-Yusof Ishak Institute dalam publikasinya yang berjudul Looking ahead to Indonesia’s 2024 elections menyatakan bahwa perkembangan politik selama dua tahun ke depan pasti akan membawa beberapa kejutan.

Dia menyebut atmosfer dan preferensi pada 2024 belum tentu akan serupa dengan Pemilu 2019 yang kental dengan nuansa politik identitas yang cukup menentukan kala itu.

Baca juga :  Pak Prabowo, Waspada SecStag!

Artinya, meskipun identitas akan sangat mudah dieksploitasi sebagai modal politik, sejauh mana relevansi serta kontribusinya bagi rengkuhan suara parpol belum dapat diidentifikasi secara pasti. Apalagi, masyarakat kini seolah telah semakin peka dan bijak mengantisipasi kemudaratan identitas dan politik berdasarkan memori kolektif.

Kedua, kiranya terkait erat dengan pendengung narasi-narasi yang identik dengan PKS. Amy Ross Arguedas dkk dalam Echo chambers, filter bubbles, and polarization menyebutkan konsep political echo chamber atau pelantang aspirasi politik yang kini kian terlihat manfaatnya bagi aktor politik untuk menggemakan visi dan narasinya, terutama melalui berbagai kanal berbasis internet.

Sayangnya, perpanjangan tangan sekaligus aktor tidak langsung pelantang narasi PKS di Pemilu 2019 seperti Front Pembela Islam (FPI) dan Habib Rizieq Shihab (HRS) saat ini telah berhasil “diamankan”.

beda nasib pdipdan demokrat ed.

Gejala berikutnya adalah inkonsistensi PKS yang membuatnya seolah berjalan tak tentu arah saat ini. Di parlemen, PKS cenderung tidak merepresentasikan peran penyeimbang dengan baik. Bahkan, Elite Partai Gerindra Desmond Mahesa menyindir PKS sebagai omong kosong karena “kue” di Senayan yang semestinya menjadi bahan kritik justru turut dinikmati.

Gimmick PKS di DPR – sebagai panggung konkret satu-satunya – juga jamak dinilai hanya untuk mencari manfaat politik sesaat. Misalnya, hal itu terlihat dari penolakan terhadap Undang-Undang (UU) Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker) yang dianggap tidak serius sebagaimana yang menjadi sorotan Pengamat politik dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Sirojudin Abbas.

Impresi terhadap PKS pun berada di titik nadir saat dianggap terlalu lembek sebagai oposisi. Wakil Ketua Majelis Syuro Sohibul Iman menyebut partainya pernah dianggap terlalu lembek sebagai oposisi oleh petinggi sebuah partai pendukung pemerintah.

Mantan Presiden PKS itu pun mengakui bahwa publik saat ini juga menilai bahwa PKS terasa tidak memiliki taji dalam menghadapi pemerintah.

Tidak berlebihan pula kiranya ketika menyebut kecenderungan oposisi PKS serupa dengan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) saat berhadapan dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, yakni kerap melempar narasi yang tidak berbuah simpati, bahkan justru mendulang antipati.

Deretan gejala itulah yang kiranya kini tidak menguntungkan bagi PKS dan berpotensi melemahkan mesin politik partai berlambang bulan sabit dan padi dengan sendirinya yang sebelumnya dikenal militan.

Satu-satunya kekuatan PKS yang tersisa tinggal torehan suara dan kursi hasil pemilu legislatif (Pileg) 2019 lalu dengan 8,21 persen suara atau 50 kursi di DPR. Akan tetapi, dengan posisi yang kurang menguntungkan saat ini, kemungkinan PKS akan legowo jika di akhir cerita akan sebatas menjadi “tim hore” di koalisi mana pun.

Turut serta dalam koalisi pun masih belum dapat menjamin PKS akan lolos ke parlemen di periode pemerintahan berikutnya. Tengok saja case Partai Hanura yang gagal 2019 meskipun ada di koalisi partai pemenang pemilu dan pemilihan presiden (pilpres).

Baca juga :  Gibran Wants to Break Free?

Lalu, apakah itu benar-benar menjadi tanda keruntuhan PKS?

siapa bisa tantang edrdogan

Butuh Duet Kejutan Dengan PDIP?

Untuk menghindari probabilitas kejatuhan, PKS agaknya dapat mengadopsi strategi yang tergolong akan mengejutkan. Setelah koalisi Semut Merah-nya dengan PKB tak menjanjikan, plus Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang dianggap akan mengunci keleluasaan politiknya, PKS bisa saja mencoba bergabung dengan koalisi bentukan PDIP.

Terdengar kurang masuk akal memang jika berkaca pada rivalitas kedua partai selama ini. Akan tetapi, adagium masyhur bahwa tidak ada kawan dan lawan abadi, yang ada hanya kepentingan agaknya dapat menjadi titik tolak peluang PKS dan PDIP dalam satu gerbong.

Kendati demikian PKS mungkin dapat mengacu pada realisme politik yang menurut Alexander Moseley dalam Political Realism dan Utopianism adalah praktik politik yang sarat dengan egoisme dan banalitas untuk mencapai kekuasaan, termasuk di dalamnya adalah sikap oportunisme.

Tak lain dan tak bukan, PKS dapat mengadopsi parpol Turki yang dinilai menjadi kiblatnya, yaitu Adalet ve Kalkınma Partisi (AKP). Oportunisme Recep Tayyip Erdoğan berhasil membawa AKP ke puncak kesuksesan berkat konsolidasi ke berbagai arah dan tidak membatasi diri.

Satu hal yang relevan dengan PKS untuk merapat ke koalisi bentukan PDIP kelak, yakni AKP mewujudkannya melalui kedekatan dengan kelompok-kelompok nasionalis Turki.

Meskipun skeptisme cukup deras mengingat kontradiksi ideologis di antara PDIP dan PKS, nyatanya kedua partai politik itu tak melulu berada dalam ketegangan. Ihwal yang salah satunya tercermin dari pertemuan PKS dan PDIP kendatipun tanpa dihadiri ketum masing-masing pada 27 April 2021 lalu.

Setelah pertemuan, Ketua DPP PKS Bukhori Yusuf mengatakan bahwa peluang partainya membangun kerja sama jangka panjang dengan PDIP di Pemilu 2024 sangat terbuka.

Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Jakarta Ujang Komarudin juga menyebut perpaduan antara partai nasionalis-religius antara PDIP dan PKS bisa saling melengkapi satu sama lain.

PKS juga dapat memanfaatkan romansa 2019 via Gerindra yang tengah mesra dengan PDIP untuk mengusung Prabowo Subianto sebagai sosok terkuat berdasarkan elektabilitas sebagai capres di 2024 sejauh ini.

Tinggal dua persoalan tersisa, yakni respons positif dari PDIP plus apakah kemungkinan kompromi yang bisa dicapai di level elite antara PKS dan PDIP akan selaras dengan basis massa di akar rumput?

Tidak mudah memang kiranya untuk meleburkan basis massa di antara keduanya. Dampak secara praktik dari penggabungan basis massa kedua kubu masih sulit untuk dibayangkan mengingat PDIP selama ini selalu membawa narasi hingga akar rumput yang kontradiktif dengan apa yang menjadi visi akar rumput PKS.

Walaupun begitu, perkembangan politik yang sangat dinamis dikarenakan kepastian kepemimpinan baru bisa saja mengejutkan sebagaimana yang dikemukakan oleh Simandjuntak. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?