PKS begitu percaya diri saat menyodorkan nama Ahmad Heryawan (Aher) sebagai kandidat cawapres Anies Baswedan di Pilpres 2024. Namun, manuver PKS dinilai memperkeruh suasana negosiasi cawapres dengan pihak lain dalam potensi koalisi. Sentimen minor kepada PKS selama ini juga tampaknya justru akan jadi sandungan citra Anies. Benarkah demikian?
Kediaman bakal calon presiden (capres) Anies Baswedan menjadi “tongkrongan” baru elite Partai NasDem, Partai Demokrat, dan PKS saat tim kecil masing-masing partai bersua di sana pada Selasa (25/10) kemarin.
Selain tuan rumah, terdapat tokoh partai politik (parpol) prominen yang ikut nongkrong, mulai dari Sugeng Suparwoto, Willy Aditya, M. Sohibul Iman, Pipin Sofian, M. Kholid, Iftitah, Benny K Harman, hingga Sudirman Said.
Willy sebagai Ketua DPP Partai NasDem mengatakan pertemuan tim kecil itu sebagai kelanjutan pembicaraan soal pematangan koalisi pencapresan Anies. Menurutnya, pembahasan tim kecil sudah pada tahap pendalaman kriteria dan mekanisme penentuan calon wakil presiden (cawapres) yang pantas mendampingi Anies.
Akan tetapi, Willy membocorkan satu kendala, yakni pembahasan berlangsung alot lantaran ketiga parpol belum mendekati kata sepakat soal nama cawapres
Partai Demokrat yang santer akan mengusung sang Ketua Umum (Ketum) Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mendapat semacam tantangan dari PKS belum lama ini.
Ya, PKS tiba-tiba memunculkan nama Wakil Ketua Majelis Syuro PKS Ahmad Heryawan atau Aher sebagai kandidat pendamping Anies. Inilah yang disiratkan Willy menjadi pemantik alotnya pembicaraan soal bakal cawapres.
Manuver PKS memang tampak cukup mengejutkan. Dimunculkannya nama Aher yang tak memiliki elektabilitas mumpuni di level nasional dianggap menimbulkan deadlock atau jalan buntu saat mencerminkan ambisi masing-masing parpol untuk memajukan cawapres.
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia (PPI) Adi Prayitno membeberkan kengototan Partai Demokrat dan PKS sebenarnya dapat dipahami.
Menurutnya, Partai Demokrat dan PKS cukup memahami situasi bahwa Anies tidak akan bisa maju jika salah satu dari partai ini angkat kaki dari potensi koalisi pengusung. Selain itu, kedua parpol disebut Adi pasti akan mengharapkan efek ekor jas di Pemilu 2024.
Adi mengatakan dari segi hasil Pileg 2019, ketiga partai itu tidak ada yang dominan, NasDem 59 kursi, Demokrat 54 kursi, dan PKS 50 kursi. Menurutnya, jika salah satu dari 3 partai ini lepas, maka pencalonan Anies sebagai capres 2024 bisa gagal karena tak memenuhi ambang batas presiden.
Namun, ada satu skenario buruk yang dianalisis oleh Adi, yakni potensi bubarnya koalisi saat setiap parpol terlalu ngotot mengusung cawapres jagoannya.
Memang, PKS yang memunculkan nama Aher sekilas memperkeruh koalisi penyokong Anies yang masih sebatas embrio karena belum resmi dideklarasikan. Kemungkinan bubarnya rencana koalisi di tengah jalan juga tak dapat dipungkiri dipantik oleh manuver mendadak PKS itu.
Oleh karenanya, timbul pertanyaan mengapa PKS begitu percaya diri mengusulkan nama cawapres Anies? Apakah itu bermakna bahwa PKS menjadi penghambat laju Anies menuju Pilpres 2024 mendatang?
PKS Sedang Berakting?
Dua kata kunci di balik usungan nama Aher oleh PKS adalah terkait daya tawar dan drama politik semata.
Sampai detik ini, manuver AHY yang kerap tampil bersama Anies dalam sejumlah kesempatan membuat konstruksi cawapres pendamping mantan Gubernur DKI Jakarta itu kian menguat.
Bersamaan dengan itu, peran PKS dalam koalisi seolah berada dalam bayang-bayang karena AHY merupakan Ketum Partai Demokrat. Dalam embrio koalisi, Ketum Partai NasDem sebelumnya telah aktif menjadi inisiator pendeklarasian Anies sebagai capres 2024.
Praktis, dalam perspektif sinisme, PKS sekilas hanya tampak sebagai pelengkap syarat presidential threshold koalisi Anies. Oleh karena itu, selain tak ingin dipandang sebelah mata, PKS tampaknya juga menginginkan tujuan lain terkait persaingan daya tawar dalam koalisi yang kebetulan dibalut dengan “drama” usulan nama Aher.
Drama atau dramaturgi (dramaturgy) merupakan konsep yang dipopulerkan oleh sosiolog Kanada Erving Goffman. Konsep ini mengadopsi istilah di teater atau drama terkait adanya panggung depan atau front stage dan panggung belakang atau backstage untuk menjelaskan interaksi sosial.
Dalam politik, dramaturgi kerap diadopsi untuk menjelaskan bagaimana semunya realitas politik. Front stage atau apa ditampilkan di hadapan publik seringkali berbeda dengan apa yang sebenarnya terjadi (backstage).
Goffman menyebut tindakan drama dapat diistilahkan sebagai impression management atau manajemen impresi.
Lalu, impresi seperti apa kiranya yang sedang dimainkan PKS?
Pertama, mengenai daya tawar. Sebagai parpol yang memiliki karakteristik spesifik, PKS agaknya merasa berhak untuk mendapat “jatah” lebih dalam koalisi andai menang di Pilpres 2024.
Paul Sniderman dalam Taking Sides: A Fixed Choice Theory of Political Reasoning menyebutkan dalam logika kontestasi, aktor politik memang seharusnya memegang teguh nilai yang selama ini dianutnya.
Reputasi menjadi output esensial dari penalaran politik (political reasoning) demi mempertahankan serta memperluas ceruk suara dan tujuan politik sang aktor.
Meski kerap dipandang kontroversial, PKS agaknya memang setia bertahan dengan karakteristiknya sebagai partai beraliran Islam yang cenderung konservatif. Mereka disebut-sebut memiliki basis massa yang loyal.
Selain karena citra Islam yang melekat, PKS juga kerap dirasakan manfaatnya oleh masyarakat saat menjadi entitas politik pertama yang kerap hadir saat terjadi bencana alam dan lain sebagainya.
Postulat itu tampak menemui relevansinya saat menengok sejumlah survei di mana menempatkan PKS sebagai parpol yang cukup diperhitungkan di 2024.
Survei terbaru Litbang Kompas pada Oktober 2022, misalnya, PKS berhasil meraup 6,3 persen suara. Mereka unggul dua persen suara dari parpol pengusung Anies, yakni Partai NasDem dalam survei tersebut.
Tak hanya itu, berdasarkan survei Populi Center di DKI Jakarta pada 9 sampai 16 Oktober 2022, parpol dengan elektabilitas tertinggi memang masih dipegang PDIP dengan 18,3 persen.
Namun, tanpa diduga, PKS berada di urutan kedua dengan 14,7 persen, jauh di atas Partai Demokrat (8,7 persen) dan Partai NasDem (5,2 persen).
Maka dari itu, PKS boleh jadi merasa berhak menampilkan drama, tidak hanya mengenai daya tawar, tetapi juga sebagai manajemen impresi bahwa potensi koalisi tiga parpol pengusung Anies berjalan dinamis.
Meski muncul dengan usulan nama Aher, Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera menyebut keputusan sosok yang nanti dipilih untuk menjadi cawapres Anies akan diterima oleh partainya.
Dia menambahkan, PKS akan legawa menerima hasil musyawarah dengan Partai Demokrat dan Partai NasDem terkait nama cawapres.
Skenario dalam frasa “bubar” hingga “deadlock” ketika menilai dinamika potensi koalisi Partai NasDem, Partai Demokrat, dan PKS belakangan ini kemudian tampaknya hanya sekadar bahasa “framing” pengamat dan media.
Selain itu, adakah hal lain yang mungkin membuat PKS tetap akan berada dalam koalisi pengusung Anies?
Anies-PKS Mustahil Lekang?
Meskipun ada yang menilai usulan nama Aher sebagai cawapres membuat PKS seperti memperkeruh situasi, kecenderungannya justru mengatakan karier politik Anies tanpa eksistensi partai yang dahulu bernama Partai Keadilan (PK) itu mungkin tak bisa seperti saat ini.
Dalam kolaborasi terakhir kedua aktor di Pilgub DKI Jakarta 2017, hanya PKS yang memenangkan sekaligus menjadi benteng politik Anies selama menjabat sebagai gubernur dalam potensi koalisi 2024.
Saat itu, Partai NasDem berada di barisan pendukung duet Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat. Sementara, Partai Demokrat mengusung AHY sebagai lawan politik Anies di kontestasi politik Ibu Kota lima tahun silam.
PKS diketahui memiliki soliditas yang unik. Di akar rumput hingga politik kampus, bukan rahasia lagi bahwa PKS memiliki basis massa yang kuat. Inilah yang membuat partai besutan Ahmad Syaikhu itu tetap bersatu meski di level elite terkadang terjadi pembelahan suara.
Di DKI Jakarta sepeninggal Sandiaga Uno sebagai cawapres 2019, contohnya, jatah cagub semestinya diberikan kepada PKS. Akan tetapi, menurut pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah, elite PKS tidak kompak dalam memperjuangkan calon internal mereka sendiri.
Akibatnya, Ahmad Riza Patria yang merupakan kader Partai Gerindra naik sebagai DKI-2.
Untungnya, seperti yang dijelaskan di atas, level non-elite PKS cukup solid. Selama dikritik lawan politiknya di Jakarta, Anies kerap mendapat sokongan kontra narasi dari aktor-aktor politik PKS.
Oleh karena itu, cukup sulit kiranya untuk membayangkan pencapresan Anies tanpa dukungan PKS, terlepas dari karakteristik kontroversial yang dimiliki partai urutan ke-7 Pemilu 2019 itu.
Apalagi, basis massa yang loyal tentu akan menjadi pertimbangan lain bagi parpol koalisi penyokong Anies untuk memberikan ruang dan “jatah” bagi PKS.
Namun, penjabaran di atas masih sebatas interpretasi semata. Begitu dinamisnya panggung belakang politik nasional jelang 2024 bisa saja memberikan kejutan yang saat ini masih tak dapat dikalkulasi. (J61)