HomeHeadlinePKS Dekonstruksi Peci Hitam Soekarno?

PKS Dekonstruksi Peci Hitam Soekarno?

Peci hitam yang disebut lekat dengan ciri khas Bung Karno diberikan PKS sebagai simbol dukungan pencapresan Anies Baswedan. Lalu, Mungkinkah PKS sedang “mencuri” simbol khusus dari sang Proklamator yang kerap diglorifikasi oleh rivalnya, yakni PDIP? 


PinterPolitik.com 

Momen Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ahmad Syaikhu yang memakaikan peci hitam di kepala Anies Baswedan menjadi sorotan utama di Kantor DPP PKS Jakarta pada hari Kamis 23 Februari lalu. 

Seolah begitu sakral, prosesi itu menandai dukungan PKS kepada Anies sebagai bakal calon presiden (capres) 2024. 

Secara implisit, langkah politik PKS sebenarnya telah di-spoiler oleh Wakil Ketua Majelis Syuro PKS Sohibul Iman pada akhir bulan Januari 2023 saat konferensi pers di Bandara Soekarno-Hatta. 

Ketika itu, Sohibul menegaskan rencana dukungan kepada Anies akan secara resmi diumumkan bersamaan dengan Rakernas DPP PKS di penghujung Februari 2023. 

Well, dukungan eksplisit itu sekaligus membuat PKS berada di satu barisan bersama Partai NasDem dan Partai Demokrat yang sebelumnya telah menyatakan dukungan ke mantan Gubernur DKI Jakarta itu. 

Setelah prosesi pemakaian peci hitam kepada Anies, Sekretaris Jendral (Sekjen) DPP PKS Aboe Bakar Al-Habsyi turut berkomentar mengenai proyeksi koalisi politik penyokong Anies. Utamanya, soal pernyataan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto yang menyiratkan dukungan partainya kepada Anies adalah hal mustahil. 

fiks pks dukung anies ed.

“Selamat tinggal,” begitu kata Aboe yang kemudian membiarkan Hasto untuk “menikmati” pernyataan tersebut. 

Anyway, deklarasi Anies oleh PKS yang ditandai dengan simbol peci hitam kiranya memang memiliki makna khusus, yang kemungkinan memang memiliki korelasi langsung dengan PDIP. Mengapa demikian? 

Mengapa Peci? 

Penutup kepala yang di tanah air disebut peci ini sebenarnya telah lahir berabad-abad lalu dengan nama berbeda di masing-masing wilayah. Sebut saja nama kopiah hingga songkok. 

Diperkirakan, jenis busana penutup kepala itu dibawa oleh para pedagang Arab ke semenanjung Malaya pada abad ke-13. Tak ayal, penggunaannya kemudian membudaya di Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, serta beberapa wilayah di Thailand dan Filipina. 

Proses pembudayaannya sendiri secara bersamaan membuat peci menjadi simbol dan memiliki nilai yang bermakna,  ditelaah dari semiotika filsuf Swis Ferdinand de Saussure dan filsuf Prancis Roland Barthes yang menekankan idealisme. 

Sebagaimana diketahui, negara-negara melayu – kecuali Thailand – menghadapi proses transformasi menjadi sebuah negara modern melalui perjuangan berat untuk menyatukan visi kebangsaan dan melawan kolonialisme. 

Baca juga :  Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Kesamaan dan eksistensi simbol sekecil apapun kemudian dimaknai sebagai instrumen perjuangan mereka. 

infografis pks diperkuat jendral lagi ngaruhkah

Di titik inilah semiotika peci memainkan perannya. Pada dasarnya, semiotika hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). 

Memaknai dalam hal ini berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda yang ada. 

Mengacu makna semiotika yang dikembangkan Saussure, Barthes dalam buku berjudul Mythologies mengemukakan dua sistem penandaan bertingkat, yakni tingkat denotasi (yang hanya dilihat sebagai tanda) dan tingkat konotasi (yang memperoleh makna khusus). 

Menurut Barthes, di tingkatan denotatif terdapat antara tanda dan maknanya. Sedangkan dalam tingkat konotatif terdapat perluasan atas signifikasi tanda pada sistem denotatif. 

Sementara itu, Prof. Benny H. Hoed dalam buku Semiotik & Dinamika Sosial Budaya, mengutip sistem penandaan Barthes untuk menganalisis gejala kebudayaan sebagai tanda (sintagme), misalnya pada busana dan arsitektur. 

Dalam analisis Barthes, semua komponen dalam sistem busana dan arsitektur disebut sebagai tanda. Itu dikarenakan, masing-masing objek sudah mendapat dan menentukan maknanya sendiri dalam suatu jaringan relasi pembedaan yang terbentuk dalam ingatan (kognisi) anggota masyarakat. 

Pada tingkat denotasi, eksistensi objek menghadirkan konvensi atau kode-kode sosial yang bersifat eksplisit, yakni maknanya dapat segera diketahui berdasarkan relasi penanda dan pertandanya. 

Sementara itu, pada tingkat konotasi, objek menghadirkan kode-kode yang makna tandanya bersifat implisit, yaitu tanda dengan makna tersembunyi. 

Di Indonesia, semiotika peci sebagai sebuah objek pun demikian. Sebagaimana telah sedikit disebutkan di atas, kesamaan pemaknaan atas sebuah objek/simbol menjadi pemersatu di saat masa kolonialisme. 

Digunakan banyak tokoh mulai dari MH. Thamrin, HOS Cokroaminoto, Agus Salim, hingga Soekarno dalam penampilan masing-masing dalam menggelorakan semangat kebangsaan, peci kemudian memiliki makna tersembunyi. Persis seperti yang dijelaskan Barthes. 

Bahkan, peci hitam Soekarno memiliki makna mendalam. Pertama, peci digunakan Soekarno untuk menggantikan blangkon yang biasa dipakainya sebagai simbol untuk meneladani para gurunya seperti Cokroaminoto. 

Kedua, karena tak pernah lepas dari kepalanya di saat memperjuangkan dan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, peci kemudian bermakna sakral hingga selalu digunakan RI-1 pria dalam foto resmi kenegaraan. 

Meski tampak menjadi simbol universal dan tak melulu terkait keagamaan, peci hitam dan Soekarno begitu melekat. Ihwal yang juga menjadi sorotan dalam buku berjudul Sukarno an autobiography karya Cindy Adams. 

Oleh karena itu, kembali dalam konteks peci hitam PKS untuk Anies, adakah makna khusus yang ingin ditunjukkan dari simbol yang identik dengan Soekarno itu? 

Baca juga :  The Real Influence of Didit Hediprasetyo?
infografis jokowi bersih bersih nama soekarno

Rebut Simbol Soekarno? 

Jika dilihat secara kasat mata, peci memang merupakan simbol universal dan kini juga sangat lumrah dikenakan para politisi. 

Akan tetapi, jika dilihat lebih dalam, PKS tampaknya menggunakan peci hitam sebagai simbol khusus yang ditujukan bagi PDIP. 

Ya, hubungan PKS dan PDIP memang kurang baik jelang kontestasi elektoral 2024. PKS kerap dicampakkan partai besutan Megawati Soekarnoputri itu dalam beberapa kesempatan. 

Elite PDIP seperti Hasto, misalnya, kerap menyebut PKS sebagai antitesis pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan mustahil untuk berkoalisi. Apalagi, setelah Anies Baswedan – yang juga disebut sebagai antitesis Jokowi – dicalonkan sebagai capres dan PKS menyatakan dukungannya. 

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, peci hitam dan Soekarno memiliki makna khusus yang identik. Soekarno, dengan segala identitasnya, kemudian dijadikan PDIP sebagai simbol pemersatu partai, bersamaan dengan naiknya putri Soekarno, yakni Megawatim ke pucuk pimpinan sekaligus legenda hidup partai. 

Maka dari itu, meski menjadi penutup kepala universal para politisi, PKS kemungkinan coba merebut dan memainkannya di hadapan PDIP. 

Tensi yang sedang memanas di antara keduanya, membuat manuver pemakaian peci hitam Syaikhu kepada Anies seolah menjadi perang urat syaraf atau bahasa kerennya psychological warfare tersendiri jelang 2024. 

Tak berlebihan pula kiranya manuver pemberian peci hitam PKS kepada Anies sebagai upaya mendekonstruksi makna peci hitam Soekarno. Itu berangkat dari realita ketika PDIP kerap melakukan glorifikasi terhadap Soekarno, namun para elite dan kadernya tampak jarang mengadopsi dan meneladani semiotika busana, khususnya pemakaian peci hitam sang Proklamator. 

Selain itu, jika benar korelasi peci hitam PKS erat dengan simbol semiotika Soekarno, hal tersebut sejalan dengan upaya partai untuk terus mencitrakan diri sebagai partai Islamis-sentris. 

Hal itu juga diperkuat dari sejumlah purnawirawan TNI-Polri yang kini telah bergabung. Setelah mantan Wakapolri Komjen Pol. (Purn.) Adang Daradjatun, mantan Wakasad Letjen TNI (Purn.) Muhammad Munir dan mantan Kadisbintal Laksma TNI (Purn.) Darajat Hidayat resmi merapat ke PKS menyongsong Pemilu 2024. 

Kendati demikian, penjelasan atas peci hitam PKS untuk Anies dan korelasinya dengan Soekarno dan PDIP masih sebatas interpretasi. Bagaimanapun, gestur politik para aktor yang memanaskan persaingan jelang 2024 nanti kiranya masih akan mewarnai politik Indonesia. (J61) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Dengarkan artikel ini: Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut. Meski belum juga terjadi, banyak yang...

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?