HomeNalar PolitikPKS dan Dilema Pembubaran HTI

PKS dan Dilema Pembubaran HTI

Survei SMRC memberikan gambaran angka dukungan simpatisan partai politik terhadap HTI. PKS adalah partai tertinggi dengan 34,3% simpatisannya mendukung gerakan-gerakan yang dilakukan oleh HTI.


PinterPolitik.com

“Great ideology creates great times” – Kim Jong Il (1941-2011)

[dropcap size=big]P[/dropcap]ersoalan tentang ideologi sepertinya masih akan menjadi hal yang hangat untuk dibicarakan. Beberapa hari lalu, pada tanggal 1 Juni 2017 kita merayakan Hari Lahir Pancasila, dan semua orang ramai-ramai memajang foto dirinya dengan tulisan: Saya Indonesia, Saya Pancasila. Setidaknya, persoalan ideologi Pancasila itu jugalah yang membuat organisasi bernama Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) – yang ditengarai menolak Pancasila – disebutkan akan dibubarkan oleh pemerintah. Rencana pembubaran HTI tersebut saat ini masih mendatangkan pro dan kontra di masyarakat.

Terkait polemik HTI itu, kabar terbaru datang dari hasil survei yang dikeluarkan oleh Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada Mei 2017. Survei yang mengangkat isu seputar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) ini memberikan gambaran terkait penilaian masyarakat terhadap keberadaan NKRI dan pendapat masyarakat terhadap bahaya ISIS, termasuk juga terkait polemik pembubaran HTI.

Hasil survei tersebut memang menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia menganggap ISIS sebagai sesuatu yang berbahaya. Masyarakat juga memandang NKRI harus terus dijaga karena merupakan kekuatan utama negara ini. Hasil survei itu juga menyebutkan bahwa 78% dari masyarakat yang tahu tentang HTI menyetujui rencana pembubaran ormas tersebut.

Namun, bagian yang menarik dari survei tersebut adalah ketika persoalannya menyangkut partai politik. Hasilnya, survei SMRC tersebut juga memberikan gambaran angka dukungan simpatisan partai politik terhadap HTI. PKS adalah partai tertinggi dengan 34,3% simpatisannya mendukung gerakan yang dilakukan oleh HTI.

PKS dan Dilema Pembubaran HTI

Hal ini tentu mengejutkan, mengingat PKS sebagai partai politik resmi punya posisi cukup kuat di DPR dengan jumlah 40 kursi dan total mengumpulkan 8,4 juta suara pada pemilihan legislatif tahun 2014 lalu. Dengan jumlah yang demikian besar, apakah hal itu berarti PKS mendukung HTI?

Lalu, bagaimana dengan perkembangan rencana pembubaran HTI yang hingga kini seolah tidak terdengar kabarnya lagi? Apakah jadi dibubarkan?

Gonjang-ganjing HTI

Saat membacakan rencana pemerintah untuk membubarkan HTI pada 12 Mei 2017 lalu, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto menegaskan bahwa kegiatan yang selama ini dijalankan oleh HTI berpotensi mengancam kedaulatan politik negara. Hal itu dianggap menjadi dasar bagi pemerintah untuk membubarkan HTI. Wiranto mengatakan bahwa ideologi khilafah yang selama ini diusung oleh HTI secara jelas bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Wiranto mengatakan bahwa dakwah HTI telah menjurus ke ranah politik.

Lalu seperti apa model negara khilafah tersebut? Pada dasarnya khilafah adalah model kepemimpinan umum bagi seluruh umat muslim di seluruh dunia. Dalam situs resminya hizbut-tahrir.or.id, HTI menyebut khilafah sebagai bentuk kepemimpinan yang bertanggung jawab menerapkan hukum Islam, dan menyampaikan risalah Islam ke seluruh muka bumi.

Khilafah meniadakan peran nation state atau negara bangsa dan mengandaikan ada sebuah kepemimpinan transnasional. HTI berupaya mendirikan Negara Islam dalam konteks yang luas, sehingga negara bangsa dianggap absurd, termasuk negara Indonesia yang berbasis pada Pancasila dan UUD 1945. ISIS merupakan salah satu model upaya pembentukan khilafah.

Menkopolhukam, Wiranto juga menyatakan bahwa saat ini ada 20 negara yang berpenduduk mayoritas muslim, telah melarang kegiatan Hizbut Tahrir yang mengusung khilafah. Negara-negara tersebut antara lain Turki, Arab Saudi, Pakistan, Mesir, Yordania dan Malaysia. Hizbut Tahrir dianggap berbahaya karena mencita-citakan khilafah Islam yang melewati batas-batas negara tradisional.

Baca juga :  PKS Boncos Seperti Manchester United?

Sementara di Indonesia – di mana Hizbut Tahrir Indonesia adalah cabang yang terbesar di dunia – pemerintah juga menyebutkan bahwa HTI bertentangan dengan Pancasila. Hal itulah yang disebut menjadi dasar pemerintah ingin membubarkan organisasi ini. Pertanyaannya tentu saja, apakah hanya sesederhana itu alasannya?

Sidney Jones, Direktur Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) dalam sebuah podcast Talking Indonesia di University of Melbourne, mengatakan bahwa dalam setiap gerakannya, HTI selalu berupaya untuk mengambil alih pemerintahan di Indonesia dengan membangun basis politik.  Tujuannya adalah untuk mentransformasi Indonesia menjadi negara yang sesuai dengan cita-cita khilafah internasional – suatu konsep yang sangat utopis.

Walaupun termasuk kelompok garis keras, Jones menyebut HTI cenderung menghormati hukum yang berlaku – namun seringkali juga tidak melarang aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh ormas keagamaan yang lain. Selain itu, HTI juga terdaftar sebagai ormas resmi di pemerintah.

Sidney Jones (Foto: istimewa)

Jones menyebut HTI berbahaya karena basis politik yang dibangun oleh HTI adalah dengan merekrut orang-orang yang penting, misalnya yang duduk di pemerintahan atau keamanan. Salah satu orang yang disebut Jones berhasil dipengaruhi oleh HTI adalah Menteri Kesehatan pada periode pertama pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Walaupun tidak menyebut nama menteri tersebut secara langsung, bukan rahasia lagi kalau yang menjabat Menteri Kesehatan pada saat itu adalah Siti Fadilah Supari – yang saat ini menjadi tersangka dalam kasus korupsi pengadaan alat kesehatan (Alkes). Hal ini bisa dilihat juga dari beberapa postingan terkait Siti Fadilah Supari di situs resmi HTI. Siti Fadilah juga secara aktif ikut terlibat dalam gerakan-gerakan HTI.

Mengapa HTI, bukan FPI?

Jika dilihat dari gerakannya yang berbasis dakwah dan sama sekali tanpa kekerasan, publik tentu bertanya-tanya, mengapa HTI yang dibubarkan dan bukannya Front Pembela Islam (FPI) yang selama ini kerap bertindak dengan kekerasan? Terkait hal tersebut, Jones menyebutkan bahwa HTI adalah organisasi yang berisi elit-elit, berbeda dengan FPI yang anggotanya adalah gerakan jalanan. Dengan anggota resmi yang mencapai 40.000 orang – dan dengan jumlah simpatisan bisa mencapai 5 kali lipat dari jumlah anggota resminya – mungkin inilah yang menjadi alasan HTI dipandang oleh pemerintah jauh lebih berbahaya dibandingkan ormas lain macam FPI.

Selain itu, ada mantan anggota HTI yang saat ini telah bergabung dengan ISIS dan bahkan disebut-sebut memobilisasi gerakan radikalisme dan mendukung ISIS lewat jaringan pertemanannya di HTI. Sebut saja Bahrun Nain, orang yang disebut-sebut sebagai pemimpin ISIS di wilayah Asia Tenggara adalah mantan anggota HTI.

Pemerintah mungkin saja takut HTI menancapkan pengaruhnya pada orang-orang di pemerintahan yang pada ujungnya kemudian berafiliasi dengan ISIS. HTI jelas-jelas mengatakan anti-Pancasila, bandingkan dengan FPI – yang walaupun sering menimbulkan keresahan lewat aksi-aksi razia dan politik jalanan yang dilakukannya – masih memandang Pancasila, walaupun dengan istilah ‘Pancasila bersyariah’.

Sidney Jones juga menyebutkan bahwa umumnya, organisasi-organisasi Islam mainstream di Indonesia seperti NU dan Muhammadiyah tidak menyukai HTI – bahkan Jones menggunakan kata ‘hates’ atau ‘membenci’ untuk menggambarkan perasaan ormas Islam tersebut terhadap HTI. Jones mengatakan bahwa HTI tidak disukai karena mereka ‘merebut’ basis-basis massa NU dan Muhammadiyah serta masjid-masjidnya dengan cara menawarkan imam masjid secara gratis. Hal ini dipercaya menjadi salah satu cara HTI merebut basis massa ormas Islam yang lebih besar seperti NU dan Muhammadiyah.

Baca juga :  Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Dengan menyasar orang-orang yang elit dan berpendidikan, HTI disebut-sebut mampu menancapkan pengaruh yang jauh lebih besar ketimbang hanya turun ke jalan. Infiltrasi – kalau mau diistilahkan demikian – yang dilakukan oleh HTI pada akhirnya memang bertujuan untuk mengubah pemerintahan negara ini menjadi bentuk pemerintahan yang mereka cita-citakan. Hal inilah yang mungkin menyebabkan HTI dipercaya juga berusaha menarik simpati partai-partai politik, khususnya yang mempunyai kemiripan visi seperti PKS.  Jones menyebutkan bahwa jika pembubaran HTI sampai dibahas di DPR RI, maka kemungkinan HTI memenangkan proses tersebut jauh lebih besar.

Menuju Pilpres 2019?

Jika HTI jadi dibubarkan oleh pemerintah, banyak yang memprediksikan akan ada masalah-masalah besar lain yang bisa terjadi. Jones sendiri menyebut pembubaran HTI akan mendatangkan lebih banyak masalah ketimbang yang diselesaikan. Hal yang utama adalah terkait persinggungan antara kebebasan berpendapat dengan ujaran kebencian atau hate speech. HTI adalah ormas yang tidak pernah melakukan kekerasan. Keberadaannya pun resmi terdaftar. Di negara demokrasi seperti Indonesia, apakah salah untuk berkumpul dan mengeluarkan pendapat?

Dalam sejarah Indonesia, salah satu organisasi yang juga pernah dilarang adalah Partai Komunis Indonesia (PKI). Jika pemerintah membubarkan HTI dan melarang ormas ini, boleh jadi HTI akan bernasib sama seperti PKI. Selain itu, pengumuman pembubaran HTI yang dilakukan oleh Menkopolhukam, Wiranto juga memperlihatkan bahwa keputusan ini cenderung lebih terlihat politis. Hal ini bisa terlihat dari isi pengumuman rencana pembubaran HTI yang tidak disertai oleh penjabaran mekanisme yang jelas.

Alasan politis itu juga makin terlihat jika melihat perkembangan wacana tersebut dalam setengah bulan terakhir yang seolah tidak ada kelanjutannya lagi. Jika ditarik lagi ke belakang seperti pada kasus anti-Ahok, boleh jadi pola yang sedang dimainkan adalah menggunakan gerakan Islam untuk memenangkan Pemilihan Presiden (Pilpres) di tahun 2019.

Dalam segala kehati-hatiannya terhadap hukum dan sikap anti kekerasan yang dilakukannya, simpatisan HTI adalah salah satu bagian penting dalam aksi Bela Islam 411 dan 212. Ada kecenderungan beberapa faksi politik di tingkat nasional ingin menggunakan strategi yang sama untuk memenangkan pertarungan di tahun 2019, dan untuk alasan itu, petahana – yang dalam hal ini Presiden Jokowi – boleh jadi sedang membendung agar hal tersebut tidak terulang lagi. Caranya adalah dengan melemahkan potensi kekuatan politik yang ada, sebut saja melalui kasus HTI dan mungkin juga dalam kasus yang menimpa Rizieq Shihab. Benarkah demikian? Tentu masih butuh penelusuran yang lebih dalam tentang hal tersebut. Yang jelas, siapa yang berkuasa, dia punya kewenangan yang jauh lebih besar daripada yang tidak.

Dalam segala kompleksitas adu kekuatan politik, tuduhan PKI terhadap Presiden Jokowi, hingga rencana pembubaran HTI ini, boleh jadi semuanya mengarah pada Pilpres di tahun 2019 nanti. Setiap faksi politik memainkan bidak caturnya masing-masing, dan oleh karenanya tidak perlu heran jika partai seperti PKS punya 34% simpatisan yang mendukung HTI.

Pada akhirnya, ideologi Pancasila memang tidak bisa diganggu gugat karena itulah inti kehidupan di republik ini. Seperti kata Kim Jong Il di awal tulisan ini, ideologi yang hebat akan mendatangkan masa-masa yang hebat pula. Karena Pancasila menjadi representasi bangsa yang besar ini, harapannya tidak sia-sia apa yang digariskan oleh para pendiri negara ini. (S13)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.