Entah publik sadari atau tidak, faktanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) acapkali dinilai menjadi anomali bagi stigma kepada partai politik yang disebut membantu “kalau ada maunya”. Terbaru, hal tersebut digambarkan PKS dengan menjadi partai politik pertama yang memberikan bantuan Alat Pelindung Diri (APD) untuk tenaga medis melalui Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam membantu optimalisasi penanganan Covid-19.
PinterPolitik.com
Keintiman yang ditunjukkan partai politik (parpol) kepada masyarakat menjadi hal jamak dan lumrah kala mendekati Pemilihan Umum (Pemilu) untuk mengumbar janji dan tidak jarang memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat. Namun ketika pemilu usai dan saat masyarakat membutuhkan, kebanyakan parpol yang notabene menjadi garda terdepan aspirasi rakyat, sama sekali tidak terlihat.
Hal yang kita kenal dengan pragmatisme politik menjadi repetisi musiman kala genderang kampanye jelang pemilu bergulir. Ward Berenschot dalam bukunya yang berjudul “Democracy For Sale; Elections, Clientelism and The State In Indonesia”, menyoroti maraknya politik uang pada pemilu di Indonesia. Menurutnya fenomena itu cenderung naik ke tingkat ketataran yang lebih tinggi, yakni menjadi sebuah sistem yang ia sebut sistem politik transaksional.
Berkorelasi dengan politik transaksional, Firman Noor dalam jurnalnya, “Mencermati Kampanye Pileg 2009: Gradasi Peran Partai dan Gejala Pragmatisme”, menyatakan bahwa kampanye dipandang sebagai sebuah ajang pertukaran keuntungan yang bersifat praktis dan perolehan suara dipandang sebagai sebuah konsekuensi dari sejumlah pengeluaran atau harga.
Penjelasan secara ilmiah dari gejala politik di Indonesia tersebut menggambarkan apa yang rakyat benar-benar alami dan rasakan di lapangan. Terlebih ketika rakyat mengalami situasi sulit seperti bencana maupun krisis. Pada titik itu, sangat jarang parpol, atau paling tidak kader-kadernya yang telah terpilih oleh rakyat, hadir membantu atau sekedar memberikan afeksi dan semangat bagi masyarakat terdampak langsung di lapangan.
Janji parpol yang penuh semangat perubahan yang lebih baik ataupun bantuan yang diberikan jelang kontestasi, seakan menjelma menjadi tipuan belaka ketika datang masanya masyarakat benar-benar berada dalam keadaan sulit dan membutuhkan uluran tangan. Hal inilah yang kemudian menciptakan kesan pragmatisme dalam politik.
Mungkin tidak semua demikian, namun faktanya hanya sedikit parpol yang secara konsisten bergerak cepat terjun ke lapangan ketika masyarakat sedang berada dalam keadaan sulit seperti bencana alam yang sering terjadi di Indonesia. Hal itu tentu menjadi nilai lebih tersendiri di mata masyarakat ketika kebanyakan tokoh dan pejabat justru disibukkan diskusi dan perdebatan yang memakan waktu, alih-alih ikut membantu penanganan situasi tersebut.
Berdasarkan riwayatnya dan tanpa tendensi tertentu, di Indonesia sendiri terdapat parpol yang dinilai seolah menjadi anomali tersendiri di tengah hiruk pikuk pragmatisme dunia politik. Adalah PKS, atau Partai Keadilan Sejahtera, yang baru-baru ini menorehkan impresi cukup baik kala menjadi parpol pertama yang memberikan kontribusi nyata dengan menyalurkan bantuan Alat Pelindung Diri (APD) untuk tenaga medis melalui Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Pusat di Jakarta pada 26 Maret lalu.
Selain itu, PKS juga kerap mengambil peran sebagai parpol terdepan dan pertama dalam beberapa bencana yang terjadi di Indonesia melalui pengiriman relawan serta pendirian posko-posko darurat yang manfaatnya cepat dirasakan dan membantu masyarakat di saat-saat kritis. Seperti misalnya yang telah dilakukan pada saat gempa Lebak, tsunami Selat Sunda, gempa dan tsunami Palu-Donggala, gempa Lombok, hingga banjir dan longsor di beberapa daerah di Indonesia.
Lalu, dengan fakta demikian, apakah sudah saatnya bagi PKS untuk dapat lebih diperhitungkan sebagai partai dengan kredibilitas riil yang tinggi dalam persaingannya menuju 2024?
Konsistensi Pencitraan dan Kemaslahatan
“Pencitraan” semakin hari kian diasosiasikan sebagai istilah bermakna negatif, terutama dalam dunia politik. Padahal nyatanya citra adalah hal penting bagi siapapun dalam menentukan proses hingga output sebuah interaksi. Agaknya, makna negatif “pencitraan” semacam lingkaran saling terkait dengan pragmatisme dalam alam politik transaksional yang telah teruji secara empirik dan teoritis seperti penjelasan sebelumnya.
Dan ketika pihak tertentu, dalam hal ini partai politik, berbuat suatu yang bernilai baik, terlanjur acapkali diinterpretasikan masyarakat secara skeptis. Meskipun secara harfiah agak sulit untuk menentukan niat orisinil dari seseorang atau pihak tertentu terhadap citra yang ditampilkannya secara visual.
Dalam publikasi “Taking Sides: A Fixed Choice Theory of Political Reasoning” yang ditulis oleh Paul Sniderdman, dalam logika kontestasi, partai politik membangun reputasi untuk mempertahankan nilai-nilai tertentu dan untuk mengejar tujuan tertentu pula. Dan sebagai pihak yang bersaing dari waktu ke waktu, reputasi seperti itu diperkuat.
Dalam hal ini, PKS sebagai partai yang telah melalui lima pemilu sepanjang kiprahnya di perpolitikan Indonesia, memiliki strategi khusus yang tentunya sesuai dengan ideologi partai. Berlatar belakang partai dakwah dan Islam di negara mayoritas muslim, PKS secara konsisten memanfaatkan dan membentuk reputasi berdasarkan nilai-nilai Islami namun berbeda dengan partai-partai bernuasna Islam terdahulu.
Burhanuddin Muhtadi, seorang peneliti politik mengatakan bahwa di awal kemunculannya –kala itu masih bernama Partai Keadilan (PK)– pada 1999, PK menarik perhatian banyak pengamat politik karena menjadi debutan yang terorganisir rapi dan memiliki agenda program yang jelas. Tak seperti partai Islam lain, yang bergantung pada ketokohan atau figur, PK mengedepankan egalitarianisme, mementingkan kekuatan kolektif.
Selain itu, dalam perjalanannya, PKS memiliki semangat tersendiri dan aktif dalam merespon bencana alam secara cepat dengan memanfaatkan kekuatan kolektifnya. Pada gempa dan tsunami Aceh tahun 2004 misalnya, PKS aktif mengkoordinir relawan Komite Kemanusiaan Indonesia untuk Aceh (KKIA) dalam membantu pendirian posko-posko pengungsian yang tersebar di berbagai lokasi. Selain itu, PKS juga membuka pengobatan gratis dan bekerjasama dengan para dokter serta paramedis dari BSMI (Bulan Sabit Merah Indonesia).
Sejak “debut” dalam tanggap darurat pada gempa dan tsunami Aceh, PKS secara konsisten menjadi parpol terdepan yang secara responsif memberikan kontribusi bagi pertolongan pertama serta tanggap darurat kala bencana alam terjadi di berbagai wilayah Indonesia seperti gunung meletus, gempa bumi, likuefaksi atau fenomena hilangnya kekuatan lapisan tanah akibat getaran gempa, hingga tanah longsor dan banjir bandang.
Dan yang terbaru, selain menyerahkan APD kepada IDI Pusat di Jakarta, instruksi presiden partai Sohibul Iman juga diikuti seluruh Fraksi PKS di berbagai daerah untuk mendonasikan gajinya dalam upaya membantu penanganan Covid-19.
Di luar manuver partai yang terkadang dinilai minor oleh publik, nyatanya konsistensi itulah yang membuat reputasi PKS menjadi positif kala penanganan bencana dibandingkan parpol lainnya. Berangkat dari pada itu, di antara partai politik lain, hanya PKS yang sampai saat ini berhasil membangun citra dan dinilai menghadirkan esensi keberadaan parpol bagi kemaslahatan rakyat tidak hanya ketika “ada maunya”.
Modal 2024?
Terlalu naif memang jika melihat kredibilitas sebuah parpol hanya sebatas eksistensi “relawan” kala bencana. Namun pada aspek lain, PKS juga dinilai memiliki potensi besar menjadi partai yang suatu saat akan berjaya di Indonesia.
Survei Indo Barometer mengenai parpol pilihan publik pada Februari lalu misalnya, melejitkan PKS ke empat besar, padahal pada Pemilu Legislatif nasional 2019 lalu sendiri hanya ada di peringkat tujuh. Dengan presentase 7,8 persen, PKS berada di bawah PDIP, Gerindra dan Golkar.
Indikator yang digunakan dalam survei yang melejitkan pamor PKS tersebut juga dinilai relevan dengan core dari partai berlambang bulan sabit dan padi itu. Selain dianggap paling islami, indikator suportif lainnya ialah kerja partai yang bermanfaat untuk masyarakat atau dekat dengan rakyat, di mana PKS telah secara konsisten hadir ketika masyarakat membutuhkan, utamanya ketika terjadi bencana.
Terlebih ketika pengamat politik Universitas Padjajaran, Muradi mengatakan bahwa PKS bisa “panen” di pemilu 2024. Dengan konsistensi sebagai partai di luar pemerintahan, PKS punya modal besar mengulang suksesnya buah konsistensi PDIP di periodenya sebelum berkuasa.
Ada tiga hal menurut Muradi yang akan membuat PKS berjaya yaitu political endurance, political cost, serta delivery issue. Meskipun secara cost dinilai terbatas, namun endurance PKS telah teruji ketika tidak lolos Parlementary Treshold pada 1999 dan bangkit pada pemilu berikutnya. Sementara dari delivery issue, sebagai partai di luar pemerintahan, PKS dinilai semakin punya banyak “bahan” saat ini.
Berdasarkan survei dan analisis tersebut tersebut, paling tidak terdapat tiga hal yang esensial jika konsistensi dipertahankan oleh PKS, yang mana itu akan berdampak besar di 2024.
Pertama, reputasi dekat dengan masyarakat kala bencana dan situasi sulit harus terus dipertahankan dan ditingkatkan, terlebih pada kondisi pandemi Covid-19 saat ini.
Kedua, konsistensi, peran, serta gestur yang elegan harus terus ditampilkan PKS sebagai partai di luar pemerintahan dengan sering mengekspos kritik yang sejalan dengan aspirasi publik.
Terakhir, ceruk tren hijrah masyarakat yang kian besar juga bisa dimanfaatkan PKS jika berkaca pada survei Indo Barometer tadi.
Merefleksikan potensi PKS dengan manuvernya dibanding partai lain kala pandemi Covid-19 ini tentu akan membuat persaingan serta proses menuju Pemilu 2024 menjadi sangat menarik. Terlebih jika berbicara adanya sosok baru yang dipastikan akan menjadi pemimpin berikutnya di negeri ini pada tahun yang sama. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.