HomeNalar PolitikPKS, Belajarlah dari AKP

PKS, Belajarlah dari AKP

Ekonomi Turki sedang bergejolak. Kondisi itu mendorong Erdogan untuk melakukan Pemilu dini. Tapi apakah ini siasat Erdogan untuk melanggengkan kekuasaannya?  


PinterPolitik.com  

“Victory has a thousand fathers, but defeat is an orphan” – John F. Kennedy

[dropcap]P[/dropcap]emilu Turki telah usai, Recep Thayeb Erdogan dilaporkan menang telak dalam Pemilu tersebut. Media pemerintah Turki, Anadolu, menulis bahwa Erdogan berhasil meraih 53 persen suara pemilih, sementara rival terkuatnya, Muharrem Ince hanya mendapatkan 31 persen suara.

Pemilu kali ini diikuti oleh enam kandidat, yakni Erdogan sendiri dari Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), Muharrem Ince dari Partai Rakyat Republik (CHP), Selahatiin Demirtas dari Partai Demokratik Rakyat (HDP), Meral Aksener dari Partai Iyi, Temel Karamollaogglu dari Partai Saadet dan Dogu Perincek dari Partai Vatan.

Sekiranya, kemenangan AKP telah membuktikan jika rakyat masih melihat Erdogan sebagai figur yang layak untuk memimpin Turki hingga 2029 nanti.

Tentu, hal itu juga mengisyaratkan bahwa kekuatan politik AKP tak bisa dipandang sebelah mata. Apalagi jika di-tracking ke belakang, partai ini sebetulnya dibangun oleh beberapa tokoh yang banyak menelan pil pahit dalam sejarah perebutan kekuasaan di Turki, misalnya tokoh reformis berhaluan Islam macam Abdulah Gul, hingga tokoh sosialis konservatif seperti Cemil Cicek dan Abdul Kadir dari partai Tanah Air.

Tapi, secara spesifik, yang menarik dari kehadiran AKP adalah partai ini muncul sebagai alternatif politik ideologi dari gerakan Islam di Turki, yang notabene tak merasa puas dengan sekularisme yang kebarat-baratan itu.

Bukan itu saja, sekularisme bahkan dituding beberapa kalangan sebagai biang kemunduran sejak Mustafa Kamal Atartuk berkuasa.

Tapi bicara soal AKP dan khususnya Erdogan, juga tak bisa dilepaskan dari pengaruh Necmettin Erbakan, yang dikenal sebagai bapak konservatif dan merupakan Perdana Menteri pertama Turki yang Islami. Pertemuan dengan Erbakan banyak membuka cakrawala berpikir Erdogan dan mungkin itu yang pada akhirnya menginspirasi Erdogan untuk mendirikan partai AKP.

Secara asas partai, AKP memang bukan partai Islam. Hal itu sengaja dilakukan untuk menghindari bentrokan politik yang lebih besar, khususnya dengan pemerintah Turki ketika itu. Namun, secara luas, AKP dan khususnya Erdogan telah dikenal sebagai kelompok yang melanjutkan gagasan dan cita-cita politik Erbakan.

Jika menggeser situasi Turki ke Indonesia, AKP bisa dibilang adalah partai yang memiliki kedekatan ideologi-politik dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Tapi, kiranya ada sesuatu yang luput dan tidak dilakukan oleh PKS sehingga popularitas partai ini terbilang surut di tengah-tengah aneka macam partai di Indoensia. Apakah itu?

AKP, PKS dan Ihwanul Muslimin

Untuk memahami hubugan AKP, PKS dan Ihwanul Muslimin (IM), tulisan Ibnu Burdah tentang adakah “Hubugan PKS dengan Ihwanul Muslimin” dapat memberikan gambaran singkat.

Baca juga :  Ridwan Kamil “Ditelantarkan” KIM Plus? 

Namun, Ibnu secara spesifik tidak melakukan konfirmasi atas hubungan itu. Dia sekedar menguraikan beberapa variabel yang dapat digunakan sebagai alasan bahwa ada kesamaan ideologi antara ketiga gerakan tersebut.

Menurut Ibnu, jika melihat dari sejarah kelahirannya, ideologi dan gerakan, memang terdapat sejumlah kesamaan, misalnya dalam pembangunan basis sosial yang dimulai dari gerakan Tarbiyah yang tujuannya untuk menghidupakan kembali gagasan Islam.

Menurutnya, basis gerakan IM dimulai dari masyarakat terpelajar perkotaan termasuk di dalamnya adalah kampus. Ide ini sebenarnya mirip dengan awal mula gerakan PKS yang dikonsolidasikan di kampus-kampus melalui gerakan Tarbiyah sejak 1980-an.

Sedangkan, di sisi lain, kesamaan kedua partai juga dapat dilihat dari narasi menentang sekularisme. AKP misalnya membuat kebijakan untuk melegalkan penggunaan hijab di depan umum, sementara PKS mencoba memperjuangkan penggunaan hijab di Indonesia, terutama di sekolah-sekolah, dan sekaligus gencar mengkampanyekan UU Anti Pornografi.

Selain itu, soal perlawanan terhadap sekularisme, PKS juga terlihat menjaga jarak dengan PDI-P sebagai partai nasionalis. Hal itu dijelaskan oleh Frial Ramadhan dalam “Persekutuan Ideologi: Kemenangan PKS dan AKP di Turki” yang dipublikasikan oleh Indoprogress.

Menurutnya, PKS dan PDI-P tidak memiliki hubungan harmonis sejak Megawati menjadi presiden. Hal ini dikarenakan doktrin ideologi yang melekat dalam tubuh partai Islam itu  tidak memperbolehkan perempuan untuk menjadi pemimpin.

Meskipun ada kesamaan, namun, mengapa AKP lebih populer ketimbang PKS? Apa faktor penghambat keberhasilan PKS di Indonesia? Hal itu dipaparkan secara baik oleh Sitaresmi.

Menurut Sitaresmi S. Soekanto, dalam tulisan “Bercermin pada AKP” ada lima strategi yang dipakai AKP yang menjadikan partai itu terus berkuasa di Turki, yakni strategi vernacular politik (politik lokal), strategi merangkul oposisi berupa kubu sekuler dan militer, strategi mengurangi dominasi militer, strategi pemilihan isu-isu kampanye, termasuk isu ekonomi seperti mengurangi tingkat pengangguran.

Selain itu, menurutnya ada tiga strategi yang tak kalah penting, yakni strategi media, strategi menjual rekam jejak keberhasilan dan strategi menjual mimpi atau gagasan besar.  Dalam konteks basis massa, menurutnya, PKS perlu memperluas basis massa utamanya dari kalangan menengah terdidik hingga sampai berakar ke kalangan bawah (grass root).

Yang tak kalah penting adalah PKS harus membidik pemilih nasionalis yang kecewa pada partai penguasa. Dengan demikian, PKS perlu bersikap insklusif dan menerima keragaman yang ingin mendukung atau bergabung dengannya.

Baca juga :  Megawati and The Queen’s Gambit

Kemenangan Erdogan di Turki, adalah bukti jika strategi politik yang dipakai oleh AKP perlu menjadi acuan penting bagi elit PKS di Indonesia.

Kendati demikian, ada pendapat lain yang mengatakan bahwa salah satu faktor kegagalan PKS di Indonesia adalah karena partai ini tidak memiliki musuh politik yang jelas. Terutama soal isu sekularisme dan Islam. Ini berbeda dengan AKP yang memiliki musuh yang jelas sepeti CHP.

Alhasil, arah politik PKS tidak jelas, apalagi ketika terjadi kasus korupsi daging sapi yang melibatkan presiden PKS, Luthfi Hasan. Hal ini membuat citra partai Islam yang melekat pada PKS menjadi kabur.

PKS Perlu Pragmatisme?

Hal yang tidak kalah penting untuk memahami AKP adalah pragmatisme politik yang dibangun oleh Erdogan untuk merangkul berbagai kalangan nasionalis. Dalam kancah politik praktis, pragmatisme politik memang bukan barang baru, dan di manapun hal itu seringkali ditemukan.

Pragmatisme merupakan bagian dari realisme politik. Realisme politik menurut Alexander Moseley dalam “Political Realism dan Utopianism” adalah praktik politik yang sarat dengan egoisme dan banalitas untuk mencapai kekuasaan. Termasuk di dalamnya adalah sikap oportunisme.

Boleh dibilang, oportunisme Erdogan telah membawa AKP menjadi partai berkuasa sejak 2014. Sikap oportunisme diwujudkan melalui kedekatannya dengan kelompok-kelompok nasionalis Turki. Pemilu dini yang dilakukan mungkin juga merupakan bagian dari pragmatisme atau oportunisme politik Erdogan untuk tetap mempertahankan kekuasaannya.

Tapi bagaimanapun, kemenangan Erdogan di Turki, perlu menjadi masukan bagi PKS untuk menjadi partai yang dapat diandalkan bagi kelomopok Ihwanul Muslimin di Indonesia.

PKS semestinya bisa merangkul tokoh-tokoh nasionalis, misalnya menjalin koalisi dengan partai-partai nasionalis, bukan hanya Gerindra saja. Kedekatan dengan kelompok nasionalis justru akan memperlebar ruang politik bagi PKS. Setidaknya, hal itulah yang dilakukan Erdogan di Turki. Sehingga tak salah, jika AKP menjadi momok menakutkan bagi lawan politiknya.

Kendati demikian, kita juga perlu memuji mesin politik PKS di Jawa Barat, khususnya dalam Pilkada 2018 yang mengusung Sudrajat – Ahmad Syaikhu (ASYIK). Hasil perolehan suara ASYIK mengejutkan banyak pihak, padahal ASYIK bukanlah figur yang begitu populer jika dibandingkan dengan Ridwan Kamil.

Selisih yang tipis antara dua pasangan itu membuat banyak orang terpukau dengan kerja-kerja  mesin politik PKS. Tapi, tentu kita akan menanti, apakah hal itu akan berulang pada Pilpres 2019? Menarik untuk ditunggu. (A13)

 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Dengarkan artikel ini: Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut. Meski belum juga terjadi, banyak yang...

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

KPK telah memulai penyelidikan terhadap LHKPN milik Kajati Sumsel Sarjono Turin karena diduga tidak jujur

PinterPolitik - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai menyoroti Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sumatera Selatan (Sumsel) Sarjono Turin. KPK...

Ma’ruf Amin dan Isu Integritas

Ma’ruf Amin secara resmi telah ditetapkan sebagai kandidat cawapres Joko Widodo. Sontak, masa lalu sang kiai kembali dibahas di media sosial. PinterPolitik.com Ma’ruf Amin, pria berusia...

Mahfud MD, Cak Imin dan PKB

Jelang pengumuman cawapres, PBNU seperti terbelah. PinterPolitik.com Ribut-ribut soal cawapres tampaknya akan berakhir ketika muncul dua nama yang akan mendampingi Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Kedua...