Peresmian peraturan KPU yang melarang terpidana koruptor maju sebagai calon legislatif, menimbulkan polemik. Di sisi lain, PKPU merupakan harapan rakyat akan adanya DPR yang lebih bersih.
PinterPolitik.com
“Perdamaian abadi hanya dapat diraih melalui nalar, sebagai lawan dari kekuasaan dan kepentingan politik.” ~ Immanuel Kant
[dropcap]S[/dropcap]ebagai Filsuf Jerman yang berasal dari era Pencerahan, Immanuel Kant dikenal sebagai salah satu “penyempurna” konsep trias polica. Konsep pemisahan kekuasaan menjadi tiga bagian, yaitu eksekutif, legislatif, dan judikatif ini, diadaptasi dari pemikiran Filsuf Inggris John Locke dan Filsuf Prancis Montesquieu.
Merujuk dari pernyataan Lord Acton yang mengatakan kalau kekuasaan cenderung melahirkan korupsi, sebagai salah satu lembaga berkuasa, tak heran bila legislatif atau DPR juga terbukti menjadi sumber di mana praktik-praktik korupsi terjadi. Baik untuk memperkaya dirinya sendiri, atau bahkan demi keberlangsungan partai politiknya.
Di tanah air, maraknya kasus korupsi anggota DPR yang tercyduk KPK sudah bukan berita yang mengejutkan lagi. Di mata masyarakat, saat ini citra DPR memang telah begitu buruk dan menyebabkan tingginya apatisme terhadap keberadaan lembaga yang bersemayam di kawasan Senayan ini.
Saya apresiasi keberanian & keteguhan @KPU_ID soal PKPU larangan Caleg Eks Napi Korupsi, yg bermasalah memang UUnya, gimana mau berharap sama yg bikin UU, krn basis korupsi di mrk, hrus ada terobosan dr luar
— Mohamad Guntur Romli (@GunRomli) July 4, 2018
Tahun ini saja, Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) telah memberikan ‘kartu merah’ bagi DPR. Bukan hanya karena kinerjanya yang semakin memburuk, tapi juga karena jumlah anggota DPR dan DPRD yang terjerat kasus korupsi semakin banyak yaitu mencapai 144 orang (berdasarkan data KPK, Februari 2018).
Sehingga diundangkannya Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang berisi larangan bagi mantan koruptor untuk mendaftarkan diri sebagai calon legislatif (caleg), oleh Kementerian Hukum dan HAM (Kemenhukam) pada Selasa (3/7) lalu, menciptakan polemik antara pihak pro dan kontra akan adanya peraturan tersebut.
Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi, misalnya, merupakan pihak yang setuju larangan tersebut, sebab memberikan harapan bagi masyarakat akan adanya DPR yang lebih bersih. Sementara sebagai mantan narapidana korupsi, Ketua DPRD DKI Jakarta dari Partai Gerindra, M Taufik, menjadi tokoh yang paling vokal menolak peraturan tersebut.
Mempertanyakan Etika Legislator
“Lembaga legislatif seharusnya memastikan keinginannya sesuai dengan keinginan masyarakat.”
Perkataan Kant di atas, sejatinya merupakan fungsi utama dari adanya lembaga legislatif. Selain sebagai lembaga pembuat undang-undang (UU), DPR juga merupakan pemegang kekuasaan yang seharusnya menjembatani aspirasi dan keinginan masyarakat pada eksekutif. Sehingga semestinya, suara legislatif sama dengan hati nurani rakyat.
Hanya saja dalam praktiknya, kekuasaan yang dimiliki para wakil rakyat malah membuat mereka lupa akan tujuannya ada di lembaga legislatif. Kini DPR disinyalir telah berubah menjadi tempat bagi para oposisi menyuarakan kritiknya pada Pemerintah, begitu juga dengan pembuatan UU yang sangat sarat dengan kepentingan politis.
Salah satu UU yang sempat menimbulkan kontroversi dan melahirkan gelombang penolakan dari masyarakat, adalah UU MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) yang salah satu pasalnya disinyalir memberikan imunitas bagi anggota DPR, baik dari kritik masyarakat maupun dari jeratan hukuman – termasuk tindakan korupsi.
Beruntung, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menerima uji materi atas UU terkait hak imunitas tersebut, Juni lalu. Keberadaan UU tersebut, menurut Kant, sebenarnya merupakan pelanggaran atas etika dan pengkhianatan atas tujuan dibentuknya lembaga perwakilan rakyat.
Karena itu, bila merujuk pada buku, Perpetual Peace: A Philosophical Essay, Kant membagi politisi dalam dua kategori, yaitu “Politisi Bermoral” dan “Moralis Politis”. Menurutnya, politisi bermoral adalah politisi yang mampu memegang teguh moralitasnya. Sedang moralis politis merupakan orang yang menggunakan moralitasnya untuk memenuhi kemajuan atau kepentingannya sendiri.
Untuk menilai seorang legislator termasuk politisi bermoral atau moralis politis, Kant mengatakan kalau kategori itu dapat dilihat dari apakah pernyataannya dapat diterima sebagai kebenaran tanpa harus melalui pembuktian terlebih dulu (aksioma), atau tidak. Bila tidak, maka orang tersebut bisa jadi tengah melakukan Si fecisti (penyangkalan).
Menggugat Wakil Rakyat
“Dalam hukum, seorang bersalah ketika ia melanggar hak orang lain. Dalam etika, dia telah bersalah bahkan saat berpikir untuk melakukannya.”
Sebagai seorang filsuf yang sangat menguasai ilmu hukum, pernyataan Kant di atas merupakan pembatasan antara tindakan seseorang berdasarkan etika moral dan etika hukum. Walau secara hukum tak terbukti, namun hanya sebatas niat saja – bagi Kant – secara etika sudah merupakan pelanggaran.
Berdasarkan niat, respon Dedi Mulyadi yang menyambut positif diundangkannya PKPU, tentu dapat menjadi contoh dari politisi yang mengutamakan moral. Harapan Dedi akan citra DPR yang lebih bersih ke depannya, persis sama dengan keinginan Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil.
Walau belum tentu mampu membersihkan tindakan korupsi di legislatif secara menyeluruh, namun setidaknya, masyarakat dapat berharap kalau wakil yang akan terpilih di Pileg nanti mampu mempertahankan moralnya. Terlebih, banyak anggota DPR periode saat ini (2014-2019) yang terbukti terlibat dalam kasus mega korupsi KTP Elektronik.
Terkuaknya korupsi dalam pembuatan KTP Elektronik yang anggarannya terbukti dijadikan bancakan oleh sejumlah anggota legislatif, termasuk mantan Ketua DPR Setya Novanto, merupakan insiden yang paling membuat masyarakat sakit hati, bahkan menjadi apatis akan keberadaan lembaga yang mengaku perwakilan rakyat ini.
Walau mantan Ketua Umum Golkar tersebut telah berhasil dimasukkan ke jeruji besi oleh KPK, namun citra buruk DPR masih belum sirna begitu saja. Terlebih, Ketua DPR yang baru, yaitu Bambang Soesatyo atau Bamsoet sendiri, namanya pun ikut terkait sebagai saksi dalam kasus yang menyebabkan kerugian negara mencapai Rp. 2,3 triliun ini.
Jadi tak mengherankan, bila Bamsoet awalnya juga merupakan salah satu orang yang menolak adanya aturan larangan bagi mantan napi korupsi menjadi caleg. Tapi setelah PKPU tersebut diundangkan, kader Partai Golkar ini akhirnya bersedia menerima. Walau ia yakin, kalau aturan tersebut belum tentu mampu mencegah adanya korupsi di DPR.
Apa yang dikatakan Bamsoet ada benarnya, seperti ungkapan Lord Acton sebelumnya, “hantu” korupsi bisa merasuk ke siapapun anggota legislatif yang akan terpilih dan berkuasa nanti. Oleh karena itu, menurut Jean-Jaques Rousseau, yang perlu dilakukan adalah perlunya menegaskan kembali fungsi legislatif, yaitu sebagai mandataris rakyat.
Dalam teori mandat, perlu ditekankan kalau para legislator bukan hanya perwakilan parpolnya, tapi juga masyarakat atau pemilihnya. Gilbert Abcariant dan George Massanu bahkan menyebutnya sebagai mandat representatif, yaitu jenis keempat yang melengkapi tiga jenis mandat dari teori mandat John C. Walke (trustee, delegate, dan politico).
Bagi Abcariant dan Massanu, mandat refresentatif sebenarnya menitikberatkan pada mandat pada partisan. Jadi ketika seseorang terpilih sebagai wakil rakyat dan berhasil duduk di Senayan, orang itu seharusnya mampu melepaskan keterikatan dan kepentingannya pada parpol pengusung, dengan lebih mengedepankan suara rakyat.
Tapi faktanya, Bamsoet sendiri pesimistis kalau lembaga yang dipimpinnya akan bebas dari korupsi. Lalu apakah PKPU juga akan menjadi sia-sia belaka? Tentu saja tidak, seperti yang dikatakan Kant di awal tulisan, upaya melawan kekuasaan dan kepentingan politik adalah melalui nalar. Dan inilah yang tengah diupayakan KPU, perlawanan melalui PKPU. (R24)