September memang penuh ribut-ribut politik. Munculnya isu senjata ilegal disebut-sebut sebagai pengalihan isu atas pergunjingan tentang PKI yang semakin lama semakin tidak terkontrol dan cenderung anarki.
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]S[/dropcap]etelah di awal-awal bulan masyarakat diributkan oleh tragedi kemanusian terhadap etnis Rohingya di Myanmar, pemberitaan media massa kemudian dipenuhi oleh wacana pemutaran kembali film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI karya Arifin C. Noer. Mulai dari presiden, politisi, mahasiswa, hingga tukang sayur pun ramai-ramai berkomentar.
Menuju akhir September, lagi-lagi publik dikejutkan dengan ribut-ribut yang kali ini datang dari para jenderal, terkait pengadaan senjata api.
Bermula dari pernyataan Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo pada pertemuan TNI dan purnawirawan TNI terkait pesanan 5.000 pucuk senjata oleh instansi non-militer, publik disuguhkan perbedaan pendapat antara tokoh-tokoh politik berlatar militer. Gatot bahkan menyebutkan bahwa senjata yang dipesan tersebut adalah jenis senjata canggih yang tentu saja akan berbahaya jika digunakan oleh pihak bukan militer.
Apalagi, Gatot menyebut informasi yang ia dapat bersifat A1. Publik yang tidak mengerti arti kode tersebut lantas menyebutnya sebagai ‘informasi rahasia’ atau bahkan ‘rahasia negara’. Gatot pun dituduh membocorkan rahasia negara.
Akibatnya, semua pihak beramai-ramai menyalahkan Gatot yang disebut membocorkan informasi rahasia. Padahal, kode A1 adalah sebutan dalam militer dan kepolisian atas informasi ‘yang dapat dipertanggungjawabkan’.
Menanggapi hal tersebut, Menkopolhukam, Wiranto mengeluarkan bantahan dan menyebut lembaga yang memesan senjata itu adalah Badan Intelijen Negara (BIN), dan jumlah senjata yang dipesan hanya 500 pucuk.
Belakangan, ribut-ribut itu bertambah panas setelah Badan Narkotika Nasional (BNN) dianggap sebagai lembaga yang disebut Gatot memesan 5.000 pucuk senjata tersebut. Bahkan senjata yang dipesan BNN disebut memiliki spesifikasi canggih dan dapat menghancurkan pintu besi, serta punya ketepatan bidikan sejauh 1,6 km dan daya jelajah mencapai 2,8 km – jenis senjata yang tentu saja tidak logis jika digunakan untuk menembak bandar-bandar narkoba.
Akhirnya, ribut-ribut para jenderal ini membuat pemberitaan tentang PKI seolah menghilang dari pergunjingan. Beberapa selentingan pun muncul dan menyebut bahwa aksi ribut-ribut tentang senjata ilegal ini adalah ‘pengalihan isu’ untuk menurunkan tensi politik yang memanas setelah pemberitaan tentang PKI menjadi tidak terkendali. Wow, benarkah?
Pengalihan Isu, Untuk Apa?
Dugaan pengalihan isu ini beralasan, mengingat isu PKI secara jelas menjadi komoditas politik yang dipakai untuk saling serang antara pemerintah dengan oposisi. Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) jelas menjadi salah satu pihak yang dirugikan dengan isu PKI ini, mengingat Jokowi sering dituduh sebagai pengikut PKI.
Gerakan massa berbasis isu PKI ini juga menguat ketika terjadi ‘Aksi Bela Rohingya’ yang diikuti oleh Prabowo Subianto pada 16 September 2017. Tokoh lain yang hadir, Amien rais misalnya, secara terang-terangan menggunakan isu PKI untuk membakar massa yang hadir.
Panasnya gejolak politik berbasis isu PKI terbukti menjadi kenyataan ketika terjadi penyerangan di gedung Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta oleh kelompok ormas pada 17 September 2017 malam, atau tepat sehari setelah Aksi Bela Rohingya. Ketegangan itu juga memanas dengan munculnya saling tuduh antara tokoh terkait siapa yang bertanggungjawab dalam aksi tersebut.
ETAN strongly condemns this weekend's attack against the Indonesian Legal Aid Foundation (LBH) headquarters in Jakarta. 1/
— ETAN (@etan009) September 18, 2017
Pada saat itu, Jokowi sesungguhnya tengah diuji: jika bersuara dan membela LBH, ia akan semakin keras dicap PKI, sementara jika diam saja, ia tentu akan diprotes oleh para pendukungnya karena membiarkan aksi kekerasan terjadi.
Maka, ketika isu ini menjadi tidak terkontrol lagi, sangat mungkin pemerintah menganggap hal ini sudah berlebihan dan selayaknya untuk segera ditangani. Jika tidak segera ditangani, gejolak politik serupa akan terakumulasi dalam bentuk dan kekuatan massa yang lebih besar.
Jokowi jelas telah belajar tentang manajemen isu. Terjadinya Aksi 411 dan 212 dengan kekuatan massa yang sangat masif merupakan pelajaran yang sangat berharga untuk Jokowi bahwa jika tidak mampu memanajemen isu dengan baik, akan terjadi chaos politik yang boleh jadi mengancam kekuasaannya.
Bahkan, kalau tidak ditindaklanjuti, akumulasi pergunjingan tentang PKI akan mendatangkan dampak yang besar, baik secara sosial-politik, maupun secara ekonomi-politik. Jika situasi tidak kondusif, tentu roda ekonomi dan pembangunan juga akan ikut terganggu.
Politik Manajemen Isu
Ada sebuah konsep dalam komunikasi publik yang disebut sebagai manajemen isu. Jika diterapkan dalam politik, konsep ini mengharuskan seorang politisi – atau pemimpin berkuasa atau partai politik atau siapa pun – untuk secara cerdas menggunakan isu tertentu yang dilempar ke publik untuk tujuan tertentu.
Manajemen isu sangat penting ketika pemerintahan atau organisasi berhadapan dengan keadaan yang tidak pasti dan penuh risiko. Dalam konteks negara, manajemen isu juga berhubungan dengan mengatur apa yang masyarakat harus pergunjingkan dan apa yang harus diredam. Tujuannya agar pemerintahan dapat berlangsung dengan baik dan situasi politik nasional dapat tetap terkontrol.
Pengalihan isu – atau apa pun sebutannya – merupakan hal yang umum dilakukan sebagai bagian dari politik manajemen isu. Pemerintahan Jokowi – termasuk menteri dan penasehat keamanannya – sadar betul bahwa jika tidak ditangani dengan baik, isu PKI dapat menggoyang situasi politik nasional, sama halnya dengan isu penodaan agama di akhir 2016 lalu. Oleh karena itu, perlu ada twist atau ‘perubahan isu’ secara nasional.
Ribut-ribut para jenderal ini sangat mungkin menjadi isu yang dipakai untuk mengubah pergunjingan yang terjadi di masyarakat. Secara logika, sangat sulit membayangkan seorang jenderal tempur sekaliber Gatot Nurmantyo, berbicara tentang isu pengadaan 5.000 senjata tanpa memperhitungkan dampak jika apa yang ia bicarakan tersebar ke masyarakat.
Mantan praktisi di lingkaran istana yang PinterPolitik mintai keterangannya, menyebut bahwa pengalihan isu adalah hal yang sangat lumrah terjadi – khususnya sebagai strategi politik pemerintahan yang berkuasa. Dengan menggunakan tools politik yang dimiliki, mengalihkan isu tertentu adalah hal yang penting dalam koridor penciptaan situasi nasional yang kondusif.
Acara temu purnawirawan bukanlah acara yang tertutup dan di situ hadir tokoh-tokoh penting mantan militer, termasuk juga Prabowo Subianto. Oleh karena itu, sulit membayangkan Gatot tidak memperhitungkan dampak politik ucapannya tersebut.
Bahkan, boleh jadi, Gatot memang sengaja menyebutkan hal tersebut agar menjadi polemik dan masyarakat akhirnya teralihkan dari isu PKI. Gatot adalah seorang jenderal bintang empat dan dalam wawancaranya dengan Rosiana Silalahi di acara Rosi pad 5 Mei 2017 lalu, sangat terlihat berupaya menjaga situasi politik nasional tetap pada jalurnya – walaupun dengan cara-cara yang seringkali dianggap kontroversial. Oleh karena itu, sangat mungkin Gatot melempar isu ini sebagai bagian dari upaya untuk menjaga kondisi politik dan kemanan nasional tetap terkendali.
Menerima audiensi Forum Umat Islam (FUI) terkait dengan kejadian di LBH Jakarta pada 17 September kemarin. pic.twitter.com/mdbeQw6orB
— Fadli Zon (@fadlizon) September 25, 2017
Adanya dugaan pengalihan isu ini juga menguat setelah kelompok ormas Islam melalui Presidium Alumni 212 mengumumkan rencana Aksi 299 pada 29 September nanti dengan basis isu menolak PKI dan Perppu Ormas. Artinya, memang ada pihak-pihak yang masih menginginkan isu PKI tetap menjadi pergunjingan politik di masyarakat.
Makin turunnya isu PKI jelas menunjukkan politik manajemen isu yang dilakukan oleh Gatot – dan sangat mungkin menjadi perpanjangan tangan Jokowi – telah berhasil dilakukan. Tujuannya hanya satu: keamanan dan ketertiban nasional.
Habis PKI, Apa Lagi?
Isu ribut-ribut para jenderal terkait pengadaan senjata memang terlihat multidimensional dan punya sisi politik yang jauh lebih rumit daripada yang diberitakan di media massa. Semua pemberitaan terlihat menyalahkan Gatot untuk tindakannya tersebut. Gatot dianggap menjadi jenderal pretorian – sebutan untuk jenderal yang sibuk berpolitik – dan bahkan tidak sedikit yang menyebutnya membocorkan rahasia negara serta punya ambisi untuk maju pada Pilpres 2019.
Walupun demikian, masalah ini tidaklah sesederhana itu. Gatot mungkin punya tendensi untuk mengkritik BIN atau BNN atau Menkopolhukam atau Menteri Pertahanan atau bahkan oligark politik di belakang instansi-instansi tersebut. Who knows.
Tetapi, perlu dicatat, bahwa di saat chaos sekalipun, TNI adalah satu-satunya harapan untuk menjaga keutuhan NKRI. Terlalu sederhana untuk menyebut seorang jenderal ahli tempur sekaliber Gatot sebagai ‘si tukang bikin ribut’ atau seorang ‘jenderal pretorian yang syahwat berpolitik’. Beberapa bulan lagi ia memang akan pensiun, dan legasi militer seorang Gatot adalah memastikan generasi pimpinan di militer berikutnya mampu tetap menjaga keutuhan negara ini.
Gatot dan kata-kata ‘emang gue pikirin’ yang sering diucapkannya merupakan gambaran jelas bahwa sang jenderal ini tidak akan tidur selama ada ribut-ribut politik. Entah isu apa lagi yang akan digulirkan setelah PKI. Yang jelas, selama pemerintahan Jokowi dan penasehat-penasehatnya paham manajemen isu, maka situasi nasional akan tetap terkendali. (S13)