HomeNalar PolitikPKB Menyulut The Big Mo

PKB Menyulut The Big Mo

Pernyataan Presiden Jokowi yang menyebut dirinya yakin PKB berpotensi masuk 3 besar pada Pemilu 2019 menjadi wajah baru hubungan mantan Wali Kota Solo itu dengan tangan politik NU tersebut. Cak Imin kemudian menjanjikan dukungan politik 25 juta suara untuk Jokowi-Ma’ruf Amin – janji politik yang wow. Nyatanya, saat ini partai yang didirikan salah satunya oleh Gus Dur itu sedang mendapatkan momentum politik pasca terpilihnya Ma’ruf Amin sebagai cawapres Jokowi. Persoalannya adalah akankah momentum besar – the big mo – tersebut terbayar di 2019 nanti?


PinterPolitik.com

“One way to keep momentum going is to have constantly greater goals.”

:: Michael Korda, penulis dan novelis Inggris ::

[dropcap]T[/dropcap]idak ada yang meragukan Isaac Newton sebagai salah satu fisikawan terbesar sepanjang sejarah. Terima kasih kepada apel – bukan merek gadget – Newton berhasil menemukan konsep gravitasi dan menjadi pioner aliran mekanika klasik, juga dikenal sebagai Newtonian mekanika, yang di dalamnya ada konsep yang disebut sebagai momentum.

Tentu saja tulisan ini tidak akan membahas seperti apa aplikasi konsep hasil kali antara massa dan kecepatan itu, melainkan seberapa besar pengaruh istilah momentum itu dalam konteks politik Indonesia jelang Pemilu 2019.

Janji 25 juta suara untuk Jokowi-Ma’ruf memang bisa dimaknai sebagai cara Cak Imin mengkapitalisasi momentum politik yang sedang dimiliki partainya. Share on X

Setidaknya, momentum itulah yang mungkin saat ini sedang dicapai – atau ingin digapai – oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Hal itu tergambar dalam pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat menghadiri Haul ke-9 Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bersama PKB beberapa hari lalu.

Pasalnya dalam kesempatan tersebut, Jokowi menyebutkan bahwa dirinya yakin PKB bisa menembus 3 besar partai dengan perolehan suara terbanyak pada Pemilu 2019 mendatang.

Konteks 3 besar tersebut tentu saja menarik, mengingat jika berkaca dari hasil survei Litbang Kompas pada Oktober 2018, elektabilitas PKB memang sedang ada di posisi ketiga, di belakang PDIP dan Partai Gerindra. Survei tersebut juga menggambarkan bahwa kekuatan politik tradisional seperti Partai Golkar justru terlempar ke luar dari posisi tiga besar.

Memang pernyataan Jokowi di satu sisi bisa dimaknai sebagai upaya untuk memberikan semangat pada kader-kader PKB. Namun, jika berkaca pada survei elektabilitas parpol di 10 provinsi terbesar yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA pada November lalu, PKB masih sangat kuat, khususnya di provinsi lumbung suara seperti Jawa Timur.

Bahkan secara keseluruhan, sekalipun waktu Pemilu masih cukup jauh, ada potensi peningkatan perolehan suara yang cukup signifikan yang akan dialami oleh partai hijau tersebut. Mungkin hal inilah yang membuat sang Ketua Umum, Muhaimin Iskandar atau Cak Imin berani menjanjikan 25 juta suara untuk Jokowi-Ma’ruf Amin.

Tentu pertanyaanya adalah apakah mungkin PKB akan kembali berjaya menjadi partai yang diperhitungkan seperti yang terjadi pada Pemilu 2004, di mana partai tersebut menduduki peringkat ketiga perolehan suara terbanyak? Lalu, seberapa yakin Cak Imin dengan perolehan 25 juta suara itu?

Baca juga :  Prabowo dan Prelude Gerindra Empire?

Mimpi Kejayaan PKB

Faktor KH Ma’ruf Amin sangat mungkin menjadi alasan utama PKB mengalami peningkatan dukungan publik, terutama dari kalangan pengikut ormas Nahdlatul Ulama (NU). Ma’ruf adalah kiai paling powerful di NU sekaligus juga di Indonesia – menurut Greg Fealy dari Australian National University (ANU) – serta merupakan politisi senior PKB.

PKB Menyulut The Big Mo

Selain sebagai Rais Aam NU dan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), ia adalah Ketua Tim 5 yang melahirkan PKB, Ketua Dewan Syuro pertama PKB, dan sempat menjadi anggota DPR dari Fraksi PKB sebagai pimpinan Komisi VI. Bahkan bisa dikatakan, sejak era Gus Dur, PKB baru benar-benar memiliki tokoh yang bisa menyatukan entitas politik PKB dan NU dalam diri Ma’ruf Amin.

Artinya, ketika wajah sang kiai ada dalam surat suara sebagai cawapres Jokowi, ada dampak secara langsung terhadap pilihan politik warga NU terhadap PKB sebagai tangan politik ormas tersebut.

Konteks ini penting, mengingat menurut Indo Barometer, pada Pemilu 2014 lalu, sekitar 40 persen dari total pemilih nasional terasosiasi dengan NU. Namun, secara pilihan politik, justru warga nahdliyin ini lebih banyak memberikan suara untuk PDIP dengan total 29,1 persen dan Golkar dengan 14,5 persen. Sementara PKB ada di urutan ketiga dengan 14,0 persen suara.

Sekalipun perolehan suara PKB secara keseluruhan dianggap meningkat pada Pemilu di tahun tersebut, namun konteks keterpecahan dukungan politik NU terhadap PKB sejak perseteruan Cak Imin dan Gus Dur terjadi yang terjadi pada 2007 lalu, memang masih kuat terasa.

Pemilu 2009 adalah bukti nyatanya, di mana PKB yang mendapatkan 10 persen suara pada Pemilu sebelumnya, harus terjungkal ke posisi ketiga terbawah dengan 4,94 persen suara. Kini, dengan terpilihnya Ma’ruf Amin sebagai cawapres Jokowi, peluang PKB untuk mendapatkan dukungan politik yang lebih besar dari warga nahdliyin terbuka semakin lebar.

Sebagai catatan, konteks endorsement politik para kiai NU juga menjadi salah satu alasan mengapa PKB yang sebelumnya diprediksi akan kesulitan lolos ke parlemen pada Pilpres 2014 lalu, justru bisa melenggang mulus dengan jumlah suara yang cukup besar. (Baca: NU Terperangkap Politik PKB) 

Konteks endorsement politik ini salah satunya disebutkan oleh Karleen Jones West dan Jae-Jae Spoon dalam salah satu tulisan mereka yang membahas efek ekor jas atau coattail effect. Menurut keduanya, partai-partai politik dalam sebuah koalisi yang kandidatnya menjadi calon yang diusung koalisi tersebut cenderung memiliki tingkat keterpilihan yang lebih tinggi.

Pasalnya, identitas partai politik tersebut dianggap terwakilkan oleh kandidat yang melaju pada Pilpres, sehingga berdampak pada suara mereka saat pemilihan anggota legislatif. Hal ini juga ditegaskan oleh Andre Borges dan Mathieu Turgeon dari Universidade de Brasília, yang menyebutkan bahwa konteks hubungan efek ekor jas tersebut memang lebih menguntungkan partai dalam koalisi yang kandidatnya bertarung.

Baca juga :  2029 "Kiamat" Partai Berbasis Islam? 

Keduanya mengambil contoh kasus yang terjadi di Brazil dan Chile, di mana efek ekor jas konvensional ini kerap terjadi, sekalipun memang partai-partai dalam koalisi tidak sedikit juga yang bisa mengambil manfaatnya.

Bagi PKB, hal ini sangat mungkin terwujud lewat sosok Ma’ruf Amin. Dua entitas politik ini jelas punya hubungan satu dengan yang lainnya, sehingga memang sangat mungkin PKB mendapatkan keuntungan politik di Pemilu mendatang. Hal tersebut membuat efek ekor jas akan lebih maksimal dirasakan oleh PKB, ketimbang oleh partai-partai anggota koalisi seperti Golkar, Nasdem dan yang lainnya. Pertanyaannya adalah apakah semuanya akan berjalan mulus bagi PKB?

Mata Pedang The Big Mo

Janji 25 juta suara untuk Jokowi-Ma’ruf memang bisa dimaknai sebagai cara Cak Imin mengkapitalisasi momentum politik yang sedang dimiliki partainya. Memang, di satu sisi hal itu terlihat sangat muluk karena jumlah tersebut lebih dari dua kali lipat perolehan suara PKB pada Pemilu 2014 yang hanya menyentuh angka 11 juta suara. Cak Imin bahkan mungkin bisa dianggap “kurang minum” gara-gara pernyataan tersebut.

Namun, janji tersebut ternyata sangat mungkin terealisasi apabila PKB mampu memanfaatkan the big mo atau momentum politik besar. Istilah ini diadopsi dari cabang olahraga atletik yang bisa diartikan bahwa variabel tertentu yang positif sifatnya berpotensi menjadi momentum yang terus membesar dan berkelanjutan, sehingga menghasilkan kemenangan.

Dalam politik, istilah ini diperkenalkan oleh George H. W. Bush atau Bush senior ketika menjadi nominator capres dari Partai Republik pada Pilpres Amerika Serikat (AS) tahun 1980. Kala itu Bush yang memenangkan kaukus – semacam pertemuan partai – di Iowa jumawa bahwa ia sedang meraih the big mo dan melihat konteks pencalonan dirinya yang semakin terbuka lebar.

Sayangnya, Bush kalah bersaing dengan nominator Partai Republik yang lain, Ronald Reagan, yang kemudian menjadi Presiden AS di tahun itu. Namun, peristiwa itu mewariskan istilah the big mo yang kemudian menjadi fenomena politik yang kerap dipergunjingkan dalam konteks Pemilu hingga saat ini.

Dalam kaitan dengan PKB, tentu pertanyaannya adalah apakah partai tersebut berhasil meraih momentum besarnya atau malah bernasib sama seperti Bush yang pada akhirnya tidak mendapatkannya?

Jawabannya akan tergantung dari isu-isu politik dan model kampanye seperti apa yang akan dilakukan PKB. Pada kesempatan Haul Gus Dur tersebut, Jokowi juga sempat menyampaikan kepada kader-kader PKB untuk mengefektifkaan model kampanye door to door atau dari pintu ke pintu. Hal ini kemudian ditegaskan oleh Cak Imin.

Artinya, jika strategi ini berhasil, maka PKB sangat mungkin mendapatkan the big mo yang didamba-dambakan. Yang jelas, Cak Imin telah mengarahkan partai tersebut ke arah sana lewat target 25 juta suara. Sebab, seperti kata Michael Korda di awal tulisan, momentum hanya akan terus berlanjut jika ada target-target yang besar. Dan Isaac Newton tidak pernah salah soal momentum. (S13)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.