Meski sepakat dengan wacana rekonsiliasi, PKB menyatakan bahwa mereka berharap jatahnya tak berkurang.
Pinterpolitik.com
Kabar rekonsiliasi atau kohabitasi antara Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto pasca Pilpres 2019 kian santer berhembus. Banyak yang telah mencium bahwa telah ada pertemuan dari kedua belah pihak agar hal itu segera terwujud. Secara spesifik, wacana tentang pemberian kursi sebagai bagian dari kohabitasi juga belakangan mulai terendus media.
Jika Prabowo bergabung dan membawa Gerindra sebagai partai yang dipimpinnya maka dipastikan jumlah pengisi koalisi Jokowi menjadi semakin gemuk. Hal ini bisa saja menjadi bahan pikiran bagi partai-partai yang sudah lebih dahulu berlayar bersama Jokowi.
PKB misalnya sudah menyuarakan pendapat mereka terkait dengan wacana rekonsiliasi tersebut. Ketua umum mereka, Muhaimin Iskandar atau Cak Imin mengaku bahwa PKB sepakat dengan gagasan rekonsiliasi. Meski begitu, ia memberikan catatan terkait dengan pernyataan tersebut: asal jatah tetap.
Selama beberapa waktu terakhir, jatah menteri kerap mewarnai berita tentang partai yang terafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU) ini. Mereka misalnya terekam menginginkan 10 kursi menteri di kabinet Jokowi jilid II nanti. Angka tersebut merupakan lonjakan dari kursi yang saat ini digenggam di Kabinet Kerja, yaitu tiga kursi.
Tampak bahwa PKB memiliki pandangan tersendiri terkait dengan wacana rekonsiliasi ini. Lalu, seperti apa langkah dari PKB nanti dalam wacana tersebut?
Distribusi Jatah
Wacana tentang kohabitasi antara Jokowi dan Prabowo memang hingga saat ini masih belum dapat dipastikan secara resmi. Meski begitu, berbagai aktor politik dari masing-masing kubu sudah memberikan reaksi terhadap gagasan tersebut.
Partai-partai koalisi Jokowi umumnya merespons bahwa gagasan rekonsiliasi adalah hal yang amat baik. Meski begitu, umumnya mereka tetap berharap Gerindra dan Prabowo dapat menjadi oposisi. Hal ini salah satunya diungkapkan oleh PKB.
PKB sendiri memang tampak memperjuangkan posisi menteri untuk kader-kadernya. Sejak jauh-jauh hari, mereka sudah mengatakan bahwa siap mengajukan 20 nama kandidat dan berharap bisa mendapatkan 10 kursi menteri.
Memang, mereka mengakui bahwa demi kemaslahatan lebih luas, tidak ada masalah dengan wacana rekonsiliasi. Meski demikian, partai yang identik dengan warna hijau ini sendiri tampak sudah memahami bahwa koalisi Jokowi saat ini sudah tergolong gemuk.
Secara spesifik, PKB sendiri boleh jadi sudah menyiapkan posisi yang menurut mereka paling pas dengan mereka. Dalam beberapa pemberitaan terakhir misalnya, Cak Imin sempat berharap jabatan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) tetap menjadi milik mereka.
Selain itu, dalam gurauan dengan cawapres Ma’ruf Amin, partai ini juga seperti mengincar kembali kursi Menteri Tenaga Kerja. Ma’ruf secara khusus bergurau bahwa jabatan menteri tersebut akan diisi kembali oleh Sekjen PKB Hanif Dhakiri.
Memang, Cak Imin atau kader PKB lainnya tidak secara resmi menyebut dua pos itu adalah pos yang benar-benar mereka ingin klaim dan kerap mengembalikan kepada hak prerogratif presiden. Meski demikian, jika melihat riwayat kabinet selama beberapa periode terakhir, terlihat bahwa ada pola pos menteri yang kerap diisi oleh PKB.
Jabatan Menteri Tenaga Kerja misalnya, sudah berada dalam genggaman PKB sejak Erman Soeparno menjadi menteri di tahun 2005. Hal itu berlanjut di tahun 2009 di mana jabatan menteri direngkuh secara langsung oleh Cak Imin. Kini, jabatan itu tetap tak jauh dari genggaman PKB karena diisi oleh Hanif Dhakiri.
Hal serupa berlaku untuk posisi Menteri Desa PDTT. PKB sudah mengirim kadernya ke posisi tersebut sejak tahun 2004 hingga kini diisi oleh Eko Putro Sandjojo.
Yang Dikejar oleh Partai
Dalam hubungan antara partai politik dan negara, memang kerap dapat diidentifikasi bahwa ada beberapa hal yang dikejar oleh partai. Hal ini diungkapkan misalnya oleh Richard S. Katz dan Peter Mair sebagaimana dikutip Marcus Mietzner.
Pertama, partai-partai tersebut akan mengejar regulasi yang menguntungkan mereka. Langkah yang dapat diambil misalnya, mereka akan membuat regulasi yang membatasi partai-partai baru. Pembatasan ini dapat menguntungkan mereka karena bisa meminimalisasi persaingan.
Kedua, partai politik juga akan mencari keuntungan finansial. Katz dan Mair menyebutkan bahwa anggota kartel partai akan memaksa negara memberikan subsidi kepada mereka. Secara spesifik, Katz dan Mair bahkan menyebut bahwa negara akan menjadi struktur yang menudukung partai politik. Subdisi ini dapat membantu partai agar dapat bertahan untuk menghadapi Pemilu selanjutnya.
Ketiga, partai-partai ini akan menguasai institusi kunci dalam negara. Langkah ini membuat partai-partai berkuasa akan menjadi sangat dominan. Pada akhirnya, hal ini bisa saja membuat negara dan partai menjadi hal yang sulit untuk dibedakan.
Dalam konteks tersebut, dapat tergambar bahwa ada kepentingan tersendiri yang kerap diincar oleh partai saat berhubungan dengan negara. Maka, wajar jika ada partai-partai politik yang berusaha sangat keras untuk dapat memperoleh jatah di pemerintahan.
Oleh karena itu, sebagai partai yang berpotensi mendapatkan porsi di pemerintahan nanti, PKB boleh jadi juga mengincar hal-hal tersebut. Sebagai partai politik yang perlu bertahan dari Pemilu ke Pemilu, menduduki jabatan di pemerintahan boleh jadi tak hanya penting sebagai sarana pendongkrak popularitas, tetapi juga menyangkut hal-hal tersebut.
Menjadi Rintangan?
Merujuk pada hal-hal tersebut, PKB boleh jadi tidak akan dengan mudah akan menerima wacana kohabitasi yang belakangan ini tengah mengemuka. Bagi partai seperti mereka, pertaruhannya boleh jadi terlampau besar jika Jokowi membuka pintu kepada partai lain seperti Gerindra ke dalam perahunya.
Dalam kadar tertentu, PKB dan boleh jadi banyak partai lainnya yang terancam kekurangan jatah berpotensi jadi ganjalan dalam wacana kohabitasi ini. Sebagai pihak yang sudah meminta jatah menteri sejak awal, merapatnya Gerindra dengan perolehan suara dan kursi lebih besar jelas bukan pemandangan yang menarik.
PKB bisa menjadi rintangan bagi rekonsiliasi Jokowi-Prabowo seiring dengan kekhawatiran mereka terkait jatah menteri. Share on XApalagi, menurut majalah Tempo, jatah yang diminta ini memiliki tajuk 212, yaitu 2 menteri, 1 pimpinan MPR, dan 2 dewan pertimbangan presiden. Permintaan menteri ini bisa saja harus menggusur jatah PKB atau memupus harapan partai ini untuk mendapatkan 10 kursi menteri.
Jatah untuk Gerindra itu masih belum termasuk dengan potensi merapatnya PAN dan Partai Demokrat yang dirumorkan akan ikut bergabung jika kohabitasi nanti benar-benar terjadi. Hal ini tentu membuat PKB khawatir jatah mereka akan berkurang.
Secara spesifik, jika melihat riwayat kementerian yang direngkuh PKB, partai yang dipimpin Cak Imin ini boleh jadi khawatir jika posisinya yang sudah direngkuh sejak 2004 akan tergusur.
Merujuk kepada Katz dan Mair, kekhawatiran PKB soal jatah ini boleh jadi terkait dengan regulasi, finansial, insitusi yang dapat menguntungkan mereka. Jika jatah mereka berkurang, maka potensi untuk mendapatkan hal-hal tersebut akan berkurang. Apalagi, mereka sudah memegang dua jabatan menteri sejak 2004 yang bisa saja sudah memberikan dua hal tersebut sehingga sulit untuk dilepas.
Memang, belum ada pernyataan resmi bahwa mereka akan mengambil langkah seperti apa terkait dengan wacana kohabitasi ini. Meski begitu, dengan pernyataan jatah ini, mereka berpotensi menjadi semacam rintangan kecil dalam negosiasi kohabitasi tersebut.
Wacana kohabitasi atau rekonsiliasi ini sendiri sebenarnya boleh jadi adalah hal yang dinanti dan dibutuhkan banyak pihak. Oleh karena itu, jika ada yang merintangi gagasan ini idealnya bisa diatasi oleh Jokowi selaku pemegang hak prerogratif dalam perkara pembagian menteri.
Tentu, semuanya masih perlu diketahui lebih lanjut. Meski begitu, baik PKB maupun partai lain di koalisi Jokowi yang merasa jatahnya terancam tergusur, memang berpotensi membuat dinamika kohabitasi sedikit tersendat. Bagi mereka, ada hal-hal krusial yang sayang untuk dilewatkan melalui kursi menteri. (H33)