Dengarkan artikel ini:
Audio ini dibuat menggunakan AI.
Kepercayaan diri PKB dalam menyongsong Pemilu 2024 dan proses politik berikutnya dinilai merupakan buah kejeniusan Muhaimin Iskandar atau Cak Imin sebagai politisi ulung. Utamanya yang terkait Nahdlatul Ulama (NU) dan Trah Gus Dur.
Kendati kemungkinan kalah sebagai cawapres Anies Baswedan, Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dinilai menjadi kunci utama torehan positif Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Pemilu 2024. Bahkan, PKB seolah begitu percaya diri menatap kompetisi politik berikutnya dengan standar yang lebih tinggi.
Terbaru, sikap PKB untuk menolak penurunan ambang batas parlemen dari 4 persen ke 0 persen, dan malah mengusulkan kenaikan ambang batas parlemen menjadi 7 persen menunjukkan kebijakan strategis.
Dalam telaah impresi politik, hal ini dapat dilihat sebagai strategi untuk memperkuat posisi partai dalam sistem politik yang begitu dinamis. Dengan kesiapan dan sikap “melawan arus” untuk menaikkan ambang batas, PKB agaknya berusaha mempertahankan stabilitas politik atau status quo serta memperkuat legitimasi partai di mata publik.
Peningkatan suara sementara PKB di Pemilu 2024 menjadi 11,53 persen menandai kesuksesan strategi politik yang diterapkan oleh Cak Imin.
Secara sederhana, keberhasilan sebuah partai politik dalam meraih suara dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk kepemimpinan, citra partai, serta manuver dan sikap politik yang diusung.
Cak Imin, dengan kepiawaiannya jamak dinilai berhasil meningkatkan popularitas dan citra PKB sehingga mendapatkan dukungan lebih besar dari pemilih.
Bahkan, dengan torehan ini, Cak Imin kiranya berhasil meninggalkan kesan sukses mengalahkan dan mendelegitimasi signifikansi politik Yenny Wahid dan trah Abdurrahman Wahid (Gus Dur) untuk kesekian kalinya.
Lalu, mengapa pencapaian itu dapat diraih Cak Imin dan PKB?
Cak Imin Paling NU?
Jika diurai urutan peristiwa dan berbagai variabel sebelumnya, torehan suara PKB yang signifikan sejak Pileg 2009 hingga 2024 menunjukkan kemampuan Cak Imin dalam mengelola dukungan dan konsolidasi suara dari basis Nahdlatul Ulama (NU) sebagai konstituen tradisional mereka.
Eksistensi Cak Imin di pucuk pimpinan PKB seolah terjadi di momentum dan dengan cara yang tepat, sehingga mampu memobilisasi dukungan dari kalangan NU, baik struktural maupun kultural.
Greg Fealy dalam publikasinya yang berjudul Nahdlatul Ulama and the politics trap menyebut di bawah kepemimpinan Cak Imin lah, PKB untuk pertama kalinya mendapatkan dukungan terbuka dari NU.
Menurut Fealy, hal itu terlihat dari sikap politik Said Aqil Siradj maupun Ma’ruf Amin yang selalu dan pernah memberikan dukungan simbolis, plus sejumlah kiai NU yang secara terbuka memberikan dukungan kepada PKB.
Dalam analisis Fealy, hubungan PKB dengan NU terlihat semakin dekat jelang kontestasi elektoral 2014
Kala itu, Cak Imin dikatakan begitu cemas PKB berisiko tidak memenuhi ambang batas parlemen 3,5 persen, sehingga merancang dua strategi untuk mengamankan dukungan NU.
Pertama, Cak Imin disebut “mengikat” NU dengan skema penyaluran dana dan aset. Hal itu dilakukan dengan kinerja kolektif seluruh anggota dewan PKB, baik di tingkat nasional maupun daerah, yang diinstruksikan untuk memberikan dana bulanan kepada NU untuk keperluan administrasi.
Posisi kader PKB di legislatif juga disebut digunakan untuk mendapatkan dana bagi program sosial dan keagamaan NU. PKB di bawah komando Cak Imin juga menjamin bahwa jika partai dibubarkan, seluruh asetnya akan dilimpahkan ke NU.
Kedua, Cak Imin berhasil merangkul pebisnis dengan modal mumpuni yang dapat mendanai program pemilunya di komunitas NU di daerah pemilihan PKB di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Fealy misalnya menyebut nama pemilik Lion Air, Rusdi Kirana, yang berhasil dibujuk masuk partai dan menjadi wakil ketua partai pada tahun 2014, sebelum mundur pada 2019.
Saat ini, bukan tidak mungkin PKB pun masih memiliki sejumlah donor kunci yang bisa saja bergerak di bawah radar karena kesepakatan tertentu.
Dengan demikian, mengacu pada torehan positif partainya, dapat dikatakan bahwa secara Cak Imin telah berhasil mengonsolidasikan kekuatan sosiopolitik NU ke PKB.
Lalu, apa makna dari pencapaian PKB dan Cak Imin saat ini dan di masa mendatang? Serta bagaimana potensi arah politik mereka?
Trah Gus Dur Tak Lagi Relevan?
Satu hal esensial dari tren positif PKB adalah, sikap, manuver, dan strategi politik Cak Imin berhasil membawa stabilitas internal partai.
Meskipun terdapat tensi politik panas yang sukar berkesudahan dengan trah Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yakni Yenny Wahid, Cak Imin mampu mematahkan signifikansi trah tersebut dan menjaga soliditas PKB.
Dalam telaah psikologi politik, kepemimpinan yang kuat dan kemampuan untuk menyeimbangkan kepentingan internal partai merupakan hal yang penting untuk mempertahankan integritas dan kohesi partai.
Hal ini lah yang kiranya secara personal sangat penting bagi Cak Imin dan para loyalisnya yang telah membesarkan PKB sejak pengambilalihan pada tahun 2008.
Bahkan, keterpilihannya sebagai cawapres Anies Baswedan, meski diprediksi kalah, adalah “kemenangan” tersendiri bagi Cak Imin di hadapan Yenny Wahid dan pihak NU lain yang berseberangan dengannya secara politik.
Di titik ini Cak Imin dinilai sebagai politisi jenius karena fleksibilitas dan kepiawaian politiknya dalam menghadapi dinamika politik. Predikat yang pernah diberikan Kishore Mahbubani kepada Joko Widodo (Jokowi) karena karakteristik khas-nya dalam berpolitik.
Kemampuan adaptasi dan fleksibilitas politik merupakan faktor kunci dalam mempertahankan dan meningkatkan kekuasaan politik, termasuk yang kemungkinan terjadi pada Cak Imin dan PKB.
Lalu, interpretasi mengenai arah politik Cak Imin dan PKB berikutnya menjadi menarik. Meskipun Cak Imin kerap terlihat konsisten mengusung tajuk “perubahan”, namun PKB tidak memiliki pengalaman yang cukup dalam menjadi penyeimbang pemerintah atau oposisi.
Hal krusial itu yang mungkin menjadi pertimbangan utama yang paling realistis bagi Cak Imin dan PKB dalam menentukan arah politiknya selama periode pemerintahan 2024-2029.
Sebagai tokoh sentral dalam PKB, sekali lagi, Cak Imin dikenal memiliki sikap pragmatis dan fleksibel dalam berbagai skenario politik.
Sikap ini dapat membuka peluang bagi PKB untuk menyesuaikan diri dengan kondisi politik yang berkembang, termasuk dalam menentukan kemitraan politik. Bukan tidak mungkin, tajuk “perubahan” yang diusung Cak Imin adalah mengubah arah politik saat ini dan merapat ke koalisi pemenang nantinya.
Meskipun terdapat potensi bagi PKB untuk bergabung dengan kubu pemenang Pilpres 2024 yang kemungkinan dipimpin oleh Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, namun kondisi koalisi yang sudah penuh sesak dengan delapan partai politik pengusung dapat menjadi kendala.
Persaingan untuk mendapatkan posisi dan konsesi politik dalam koalisi tersebut juga dapat menjadi faktor yang memengaruhi keputusan dan penerimaan terhadap PKB.
Meskipun peluang untuk bergabung dengan koalisi Prabowo-Gibran masih memungkinkan, namun PKB kiranya tetap harus mempertimbangkan dengan cermat.
Utamanya, apakah bergabung dengan koalisi tersebut akan sesuai dengan visi dan misi partai, serta apakah hal tersebut akan memberikan keuntungan politik yang signifikan bagi PKB.
Berdasarkan analisis di atas, arah politik PKB selama periode pemerintahan 2024-2029 kemungkinan akan ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan strategis terkait dengan identitas partai, sikap dan fleksibilitas Cak Imin, serta kondisi politik dan potensi kemitraan politik dengan koalisi pemenang Pemilu dan Pilpres 2024.
Cak Imin dan PKB kemungkinan akan kembali memperagakan fleksibilitasnya dan mempertimbangkan dengan cermat berbagai opsi yang tersedia untuk memastikan kepentingan partai dan visi politiknya tetap terwujud dalam periode pemerintahan yang akan datang. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)