Site icon PinterPolitik.com

Pinangki, Gender dan Politisasi Hukum?

Pinangki, Gender dan Politisasi Hukum

Pinangki Sirna Malasari (Foto: CNN Indonesia)

Pemangkasan vonis penjara Pinangki sebanyak 6 tahun dirasa tidak memenuhi rasa keadilan di masyarakat. Pasalnya, pertimbangan vonis, seperti perempuan dan status ibu, dinilai kurang tepat menjadi alasan pemangkasan tersebut. Lantas, apakah benar pertimbangan gender hanya menjadi politisasi hukum belaka?


PinterPolitik.com

Putusan banding atas mantan Jaksa Pinangki Sirna Malasari menjadi perhatian publik. Pinangki yang tadinya divonis 10 tahun penjara dipangkas menjadi 4 tahun dengan denda Rp 600 juta oleh Pengadilan Tinggi Jakarta.

Pinangki terjerat kasus korupsi akibat pengalihan hak tagih Bank Bali Joko Woegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra. Suap sebesar US$ 500.000 digunakan oleh Pinangki untuk mengurus fatwa Mahkamah Agung (MA) yang akan digunakan Djoko Tjandra agar dapat kembali ke Indonesia tanpa perlu menjalani vonis dua tahun penjara kasus Bank Bali.

Pinangki terbukti melakukan pencucian uang dan pemufakatan jahat. Ia menjanjikan uang sebesar US$ 10 juta kepada pejabat Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung jika fatwa diterbitkan.

Atas kasus tersebut, Majelis Hakim menilai bahwa hukuman penjara selama 10 tahun atas Pinangki terlalu berat.

Adapun berbagai pertimbangan di balik pemotongan hukuman Pinangki selama 6 tahun penjara, sehingga akhirnya menjadi 4 tahun penjara. Pertama, Pinangki sudah mengaku bersalah dan menyesali perbuatannya.

Pertimbangan kedua adalah perbuatan Pinangki juga melibatkan pihak lainnya yang turut bertanggung jawab atas kasus korupsi tersebut. Pertimbangan lainnya adalah putusan pemotongan vonis penjara dianggap mencerminkan rasa keadilan masyarakat.

Pertimbangan terakhir adalah Pinangki merupakan seorang perempuan yang harus mendapatkan perlindungan dan terdakwa merupakan seorang ibu dari anaknya yang masih berusia 4 tahun.

Pertimbangan majelis hakim dipertanyakan oleh publik. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan bahwa Pinangki layak dihukum lebih berat karena menyandang status jaksa. Menurut Kurnia, hal ini mencederai akal sehat publik, mengingat Pinangki terbukti melakukan tiga kejahatan sekaligus, yakni suap, pencucian uang, dan pemufakatan jahat.

Baca Juga: Kasus Pinangki Bisa Selamatkan KPK?

Merespons kegelisahan pubik, Juru Bicara Komisi Yudisial (KY) Miko Ginting mengatakan bahwa KY tidak bisa masuk dalam putusan hakim karena terhalang undang-undang. Ia mengatakan bahwa keresahan publik dapat dituangkan dalam bentuk eksaminasi publik oleh perguruan tinggi dan akademisi.

Selanjutnya, alasan perempuan dan status ibu atas balita turut dipersoalkan oleh publik. Banyak yang menilai bahwa kedua alasan tersebut tidak memiliki korelasi dalam keringanan hukuman Pinangki.

Hal ini tentu menarik untuk dianalisa dan membawa kita ke beberapa pertanyaan. Apakah alasan perempuan dan status ibu menggambarkan pengadilan berbasis gender? Apakah alasan tersebut juga digunakan dalam pidana yang melibatkan terdakwa perempuan lainnya?

Politik Hukum dan Perspektif Gender

Ilene H. Nagel dan Barry L. Johnson dalam tulisannya The Role of Gender in A Structured Sentencing System menjelaskan bahwa terdapat dilema feminis dalam menanggapi terdakwa perempuan dalam pengadilan.

Ada perdebatan di antara pendekatan equal treatment yang menyatakan persamaan perlakuan secara legal antara perempuan dan laki-laki bersamaan dengan penyadaran perbedaan gender di antara keduanya dan pendekatan special treatment di mana ada pembeda perlakuan kepada perempuan karena perbedaan kebutuhan. Keduanya memiliki interpretasi yang berbeda dalam mencapai keadilan di dalam hukum.

Nagel dan Johnson mengatakan bahwa pendapat keduanya tidak bisa dinegasikan karena keduanya dibutuhkan dalam menginterpretasi keadilan di depan hukum yang didukung oleh fakta dan konteks dari kasus itu sendiri.

Tulisan Nagel dan Johnson sejalan dengan tanggapan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan dalam kasus Pinangki. Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi menyayangkan keputusan Jaksa Agung yang mengurangi hukuman Pinangki.

Menurut Siti, jika dilihat dari perspektif gender, pengurangan hukuman atas Pinangki merugikan perempuan karena perempuan merupakan pihak yang paling rentan terdampak korupsi, terutama korupsi di sektor layanan publik. Misalnya dalam kasus korupsi yang membatasi akses pendidikan. Laki-laki akan lebih diutamakan untuk sekolah karena ekspektasi peran penerus keluarga daripada perempuan yang ditempelkan peran domestik.

Perspektif gender dalam pengadilan memiliki kompleksitasnya tersendiri. Siti mengatakan bahwa keputusan hukuman atas Pinangki mengindikasikan persoalan yang lebih mendalam pada aspek perspektif kesetaraan dan keadilan gender dalam sistem pemidanaan secara general.

Dalam kasus Pinangki, pertimbangan keringanan hukuman atas alasan perempuan berangkat dari stereotipe tentang perempuan. Hal tersebut dijelaskan oleh Shanna Van Slyke dan William Bales melalui tulisannya Gender Dynamics in the Sentencing of White-collars Offenders.

Baca Juga: Sinetron dan Konstruksi Bias Gender

Disebutkan bahwa secara kultur, perempuan dilabeli sebagai seseorang yang halus dan naif. Sistem hukum yang didominasi laki-laki membuat keputusan berdasarkan keinginan untuk melindungi perempuan sebagai sosok yang lemah.

Berangkat dari tulisan Slyke dan Bales, mungkin saja stereotipe perempuan ini dipolitisasi sehingga Pinangki memperoleh pemangkasan hukuman dari 10 tahun menjadi 4 tahun. Secara tidak langsung, Majelis Hakim juga melanggengkan stereotipe perempuan di dalam sistem hukum.

Pakar hukum tata negara Bivitri Savitri mengatakan bahwa pengurangan masa hukuman Pinangki memperdalam rasa kekecewaan publik terhadap lembaga peradilan. Menurut Bivitri, pertimbangan status Pinangki sebagai perempuan juga merupakan alasan yang tidak valid dan mengada-ngada.

Lantas bagaimana perlakuan hukum kepada terdakwa perempuan lainnya? Apakah pertimbangan gender juga dimasukkan?

Hanya Pinangki Dikasihani?

Slyke dan Bales mengatakan bahwa konsiderasi keluarga, anak-anak dan komunitas biasa dipertimbangkan untuk kasus pelanggaran minim. Hal tersebut didasari oleh pertimbangan belas kasihan atau mercy, misalnya seseorang mencuri akibat kemiskinan.

Namun, hal ini tetentu berbeda pada kasus korupsi yang masuk pada kategori kejahatan luar biasa dan white-collar crime atautindakan kriminal yang dilaksanakan oleh kelompok elite, seperti pejabat negara.

Disebutkan bahwa perempuan yang terjerat white-collar crime memperoleh probabilitas keringanan hukuman lebih besar daripada kejahatan lainnya. Hal ini dikarenakan terdakwa memiliki privileged atas status sosialnya yang dilihat dari segi kekayaan, gengsi, dan kekuasaan.

Hal tersebut menjelaskan pembeda perlakuan pengadilan pada kasus Pinangki dengan perempuan lainnya. Jika dilihat dari catatan pemidanaan, putusan Pengadilan Negeri (PN) terkait pencurian, penggelapan dan korupsi menunjukkan bahwa gender tidak signifikan dalam mempengaruhi hukuman.

Peringanan sebesar 6 tahun pun belum pernah terjadi. Dari penjelasan Slyke dan Bales, mungkin saja faktor peringanan hukuman Pinangki dipengaruhi privileged akibat status sosialnya sebagai penegak hukum dan mantan jaksa.

Baca Juga: Jaksa Pinangki Dilindungi Kejaksaan Agung?

Pembeda perilaku atas kasus Pinangki dapat dilihat pada kasus Angelina Sondakh yang terjerat korupsi proyek wisma atlet Hambalang. Angelina diberatkan hukumannya dari 4,5 tahun penjara menjadi 12 tahun. Gender tidak menjadi bahan pertimbangan putusan, padahal Angelina juga memilki seorang anak balita berusia 3 tahun dan tidak memiliki suami yang dapat membantunya merawat anak.

Hakim juga tak mempertimbangkan status perempuan pada kasus Baiq Nuril, seorang guru di Nusa Tenggara Barat (NTB). Nuril disebut dikriminalisasi dengan Undang-Undang ITE akibat kasus pelecehan seksual dari kepala sekolah. Pasca penahanan, suami Nuril terpaksa berhenti bekerja karena mengurus tiga anaknya yang masih kecil.

Pada kesimpulannya, tentu keputusan hakim tidak bisa diganggu gugat. Namun, jika pertimbangan gender dan anak dilakukan pada kasus Pinangki, seharusnya hal tersebut juga diberlakukan pada kasus pindana perempuan lainnya, terutama kasus yang menyangkut unsur ketidakadilan gender, seperti Baiq Nuril. (R66)


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version