HomeNalar PolitikPilpres Usai, KPK Tancap Gas?

Pilpres Usai, KPK Tancap Gas?

Pasca Pilpres 2019, KPK seperti punya jadwal khusus untuk memeriksa beberapa menteri di lingkaran Kabinet Kerja Jokowi.


Pinterpolitik.com

[dropcap]K[/dropcap]PK kembali bikin heboh pemberitaan. Tak lama setelah masyarakat disibukkan dengan kabar-kabar terkait Pilpres 2019, komisi antirasuah ini menyambar dengan penetapan tersangka Dirut PLN Sofyan Basir dalam kasus PLTU Riau-1.

Tampaknya, KPK boleh jadi masih memiliki kejutan-kejutan lain dalam berbagai kasus korupsi yang mereka tangani. Dalam beberapa pemberitaan, lembaga tersebut tengah mempertimbangkan dan menjadwalkan pemanggilan sejumlah menteri di Kabinet Kerja pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Beberapa perkara yang menyeret nama-nama menteri ini sebenarnya sudah mulai terkuak sebelum hari H pencoblosan Pemilu 2019. Meski demikian, tidak semua anggota kabinet sudah menjalani pemeriksaan yang menyeret nama mereka.

Memang, sejauh ini tidak ada pernyataan resmi bahwa menteri-menteri tersebut tersangkut dalam kasus korupsi. Meski demikian, dalam banyak kasus, pemanggilan oleh komisi antirasuah kerap kali jadi awal kurang mengenakkan bagi mereka yang diperiksa.

Merujuk pada kondisi tersebut, terlihat bahwa ada semacam penundaan atau setidak-tidaknya jarak waktu yang diambil untuk menjalankan pemeriksaan kepada anggota-anggota kabinet, hingga pencoblosan Pilpres 2019 rampung. Lalu, mengapa hal tersebut bisa terjadi?

Antrian Jadwal Pemeriksaan

Berita tentang penetapan tersangka Sofyan Basir bagaikan pedal gas bagi KPK untuk mengusut banyak kasus korupsi di negeri ini. Yang membuatnya cukup menarik adalah, ada beberapa jadwal pemeriksaan yang dibuat untuk para menteri di Kabinet Kerja.

Sebelumnya, kabinet dan pemerintahan Jokowi kerap diidentikkan sebagai pemerintahan yang bersih. Sayangnya, hal tersebut tercoreng manakala mantan Menteri Sosial Idrus Marham harus terjerat kasus PLTU Riau-1. Sebagai catatan, vonis kepada Idrus jatuh di hari yang sama dengan penetapan Sofyan sebagai tersangka.

Tak berselang lama, muncul banyak kabar bahwa menteri-menteri di Kabinet Kerja akan dipanggil oleh KPK. Salah satu menteri yang dikabarkan akan segera dipanggil oleh komisi tersebut adalah Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita.

Nama Enggar terseret karena ia disebut-sebut menjadi sosok pemberi uang dalam kasus amplop serangan fajar politisi Golkar Bowo Sidik Pangarso. Ia disebut-sebut memberikan uang tersebut kepada Sidik untuk mengamankan Peraturan Mendag tentang perdagangan gula.

Pengembangan kasus yang menyeret nama menteri tak hanya berhenti di Enggar. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin juga dikabarkan dijadwalkan akan menjalani pemeriksaan. Sebelumnya, ruangan Lukman di Kementerian Agama sudah lebih dahulu disegel dan sempat digeledah oleh KPK.

Penjadwalan pemeriksaan Lukman ini terkait dengan kasus jual beli jabatan di Kementerian Agama yang sudah lebih dahulu menjerat mantan Ketua Umum PPP M. Romahurmuziy. Sebenarnya, Lukman sudah pernah dipanggil oleh KPK, tetapi ia berhalangan hadir.

Di luar pemeriksaan yang sudah dikabarkan terjadwal, sebenarnya ada pula kasus lain yang kini mengalami perkembangan. Nama Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi misalnya, beberapa waktu yang lalu sempat disebut dalam persidangan kasus dana hibah KONI.

Terlihat bahwa ada semacam antrian pemeriksaan dan pengusutan kasus bagi sejumlah menteri di Kabinet Kerja. Meski hal tersebut sejauh ini belum berarti apa-apa, ada banyak kasus di mana pemeriksaan KPK tak berakhir manis bagi nama yang diperiksa.

Menunggu Pemilu

Beragam rencana pemanggilan anggota dan pengusutan perkara di Kabinet Kerja ini sebenarnya cukup menarik jika dilihat dari waktu yang diambil. Kabar-kabar tersebut bermunculan secara bertahap beberapa saat pasca pencoblosan Pemilu 2019 selesai.

Tentu, tak ada yang bisa menuduh dan membuktikan secara pasti apakah KPK memang menunggu pencoblosan selesai atau tidak sebelum mulai membuka lembaran kasus yang menyeret nama-nama anggota Kabinet Kerja tersebut. Meski demikian, publik wajar jika bertanya-tanya mengapa semua hal tersebut bisa terjadi berdekatan dengan usainya pencoblosan.

Sebenarnya, praktik penundaan pemeriksaan hukum di masa Pemilu ini sesuatu yang lazim. Di negara sekelas Amerika Serikat (AS) misalnya, ada sebuah aturan tidak formal yang disebut sebagai 60 Day Rule atau aturan enam puluh hari.

KPK seperti memiliki rencana antrian untuk menteri Kabinet Kerja pasca Pilpres 2019 Share on X

Aturan tak tertulis ini pernah dikemukakan oleh mantan Jaksa Agung negeri tersebut, yaitu Eric Holder. Menurutnya, petugas penegakan hukum tidak akan pernah memilih waktu pemeriksaan atau menjatuhkan hukuman yang dapat mempengaruhi Pemilu, atau memberikan keuntungan atau kerguian kepada partai politik tertentu.

Banyak orang menilai kiprah Holder yang melakukan penundaan kasus Direktur CIA David Petraeus menyelamatkan Obama dari kejatuhan suara pada Pilpres AS 2012. Kala itu, Petraeus tengah diterpa kasus perselingkuhan dan juga komunikasi yang tidak pantas dengan beberapa pihak.

Penundaan pengungkapan kasus Petraeus tersebut dianggap mampu menyelamatkan pemerintahan Obama dari rasa malu. Secara spesifik, penundaan itu membuat publik tidak harus teralihkan perhatiannya dan bisa fokus pada respons-reponsnya yang baik di masa Pemilu seperti pada bencana Badai Sandy.

Pertaruhan Citra Bersih

Memang, tak ada yang bisa menuduh bahwa KPK dan aparat penegak hukum lainnya di Indonesia tengah melakukan hal yang setara dengan 60 Day rule yang terjadi di AS. Meski demikian, sangat alamiah jika KPK melakukan investigasi di masa-masa genting Pilpres dapat mempengaruhi pada proses pemilihan tersebut.

Dalam kadar tertentu, citra Kabinet Kerja secara umum dan Jokowi secara khusus sedikit terselamatkan karena KPK baru tancap gas setelah pencoblosan usai. Jika pemeriksaan bahkan penetapan tersangka kepada anggota Kabinet Kerja terjadi di masa Pemilu, maka citra bersih dan anti-korupsi Jokowi dapat terganggu.

Jokowi dan pemerintahannya memang memiliki citra yang bersih. Menurut Colin Brown dari Griffith University, Jokowi bahkan dianggap menjaga citra bersih dan anti-korupsinya tersebut setelah beberapa waktu menjabat. Ia menggambarkan bahwa Jokowi secara pribadi tidak pernah terbukti berlaku korup, sehingga berhasil mempertahankan citra bersihnya.

Pada titik ini, berbagai rencana KPK untuk melakukan investigasi kepada beberapa anggota kabinet ini menjadi ujian besar bagi citra bersih dan anti-korupsi yang dimiliki oleh Jokowi. Dalam kadar tertentu, bisa saja ada yang mengartikan bahwa citra bersih dan anti-korupsi itu sudah memudar dengan rencana pemeriksaan tersebut.

Memang, sejauh ini belum ada pernyataan resmi dari KPK bahwa menteri-menteri tersebut memang benar-benar berlaku korup. Akan tetapi, melalui fakta bahwa ada kementerian-kementerian yang pejabatnya harus berurusan dengan KPK, gambaran tentang pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi perlahan mulai tercemar.

Apalagi, Kabinet Kerja juga sudah terganggu citranya melalui penangkapan Idrus Marham beberapa saat sebelum genderang perang Pilpres ditabuh. Jika kemudian menteri-menteri yang akan diperiksa itu resmi berompi oranye, maka citra bersih dan anti-korupsi itu tak hanya akan tercemar, tetapi juga akan hilang.

Secara spesifik, bayangkan jika nama-nama menteri itu benar-benar diperiksa dan ditetapkan sebagai tersangka di tengah panasnya Pilpres 2019. Jokowi tak hanya akan kesulitan menjual citra bersih dan anti-korupsi dalam kampanyenya, tetapi juga berpotensi mengalami penurunan suara yang cukup signfikan.

Tentu, lagi-lagi tak ada yang bisa menuduh bahwa ada semacam kesengajaan dari KPK untuk menunda pemeriksaan menteri-menteri Kabinet Kerja. Rencana pemeriksaan ini sebenarnya dapat dilihat dari sisi yang lain, bahwa kini citra bersih dan anti-korupsi pemerintahan Jokowi dalam pertaruhan besar. (H33)

Baca juga :  Duterte Walikota Davao, Jokowi Walikota Solo?
spot_imgspot_img

#Trending Article

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Rahasia Kesaktian Cak Imin-Zulhas?

Dengarkan artikel ini: Audio ini dibuat menggunakan AI. Di tengah kompetisi untuk tetap eksis di blantika politik Indonesia, Zulkifli Hasan dan Muhaimin Iskandar tampak begitu kuat...

Prabowo, the Game-master President?

Di awal kepresidenannya, Prabowo aktif menggembleng Kabinet Merah Putih. Apakah Prabowo kini berperan sebagai the game-master president?

Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Sejumlah pihak berpandangan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto akan lebih proteksionis. Seberapa besar kemungkinannya kecurigaan itu terjadi? 

Koalisi Titan: Sentripetalisme Konsensus Demokrasi Prabowo

Prabowo Subianto resmi melantik 48 menteri yang akan mengisi Kabinet Merah Putih yang dipimpinnya.

AHY, the New “Lee Hsien Loong”?

Di tengah sorotan publik terhadap para pejabat yang dapat gelar akademis tertentu, pujian justru diberikan kepada Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...