Dengarkan artikel ini:
Audio ini dibuat menggunakan AI.
Selain political confidence yang tampak terkikis, PDIP dianggap kehilangan momentum di Pilkada “tanah Jawa”. Tak terkecuali di Jawa Tengah yang selama ini menjadi basis kekuatan mereka. Lalu, benarkah tren kemunduran PDIP tengah terjadi?
Pilkada 2024 level gubernur di Pulau Jawa bisa saja menjadi lanjutan mimpi buruk bagi PDIP pasca kandidat mereka, Ganjar Pranowo, telah kalah sebelumnya di ajang Pilpres 2024. Ironisnya, kandidat PDIP kalah di semua provinsi di Jawa, termasuk Jawa Tengah (Jateng) yang selama ini dinilai menjadi basis kekuatan partai banteng.
Di semua provinsi yang menyelenggarakan Pilkada di Pulau Jawa, PDIP seolah masih gamang di beberapa wilayah karena tak memiliki kandidat yang tampak mumpuni untuk melawan kandidat lain yang seolah lebih menjanjikan, baik dari aspek personal, logistik, serta koalisi politik.
Di Pilkada Banten, jagoan PDIP adalah Rano Karno yang jika benar-benar maju harus melawan Airin Rachmi Diany, trah Ratu Atut Chosiyah yang tampaknya akan diusung koalisi pemenang Pilpres 2024.
Bergeser ke Pilkada Jakarta, kandidat PDIP seperti Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok hingga Andika Perkasa dinilai hanya menjadi sosok yang sebatas meramaikan bursa. Sementara itu, kandidat PDIP pun memiliki riwayat tak pernah menang di tiga edisi terakhir Pilkada Jawa Barat (Jabar).
Di Pilkada Jateng, meski punya harapan besar dari sosok Hendrar Prihadi, PDIP berpotensi menghadapi Ahmad Luthfi, Kapolda Jateng yang pencalonannya sebagai cagub santer didukung oleh Presiden Jokowi dan koalisi pemenang Pilpres 2024.
Terakhir, di provinsi ujung timur Pulau Jawa, PDIP pun harus menghadapi kekuatan dahsyat petahana Khofifah Indar Parawansa yang lagi-lagi diusung koalisi pemenang Pilpres 2024 plus PPP dan Perindo. Peluang fight back pun hanya tinggal mengandalkan koalisi dengan PKB.
Dengan variabel-variabel itu, PDIP bisa saja sedikit banyak mengalami kemunduran dan tenggelam di ajang Pilkada 2024 level gubernur di Pulau Jawa. Mengapa demikian?
PDIP Jadi Canggung?
Selain kepercayaan diri politik yang tampak terkikis karena pergeseran psikologi politik internal yang telah berubah dari “kami sulit dikalahkan” menjadi “kami ternyata bisa dikalahkan”, PDIP dianggap kehilangan momentum di Pilkada 2024 edisi “tanah Jawa”. Khususnya, probabilitas hadirnya political awkwardness dalam membangun koalisi.
Dalam konteks politik Indonesia, dinamika koalisi memainkan peran penting. Menurut Maurice Duverger dalam teorinya tentang sistem kepartaian, partai politik besar cenderung mendominasi jika mereka mampu mempertahankan aliansi yang kuat dan efektif.
Dalam konteks PDIP, mereka telah lama memanfaatkan strategi koalisi ini, tetapi perubahan dalam lanskap politik, terutama dengan munculnya koalisi baru yang lebih kuat dan terorganisir di Pilpres 2024 yang berlanjut ke Pilkada 2024 edisi tanah Jawa, dapat mengancam dominasi dan basis kekuatan mereka.
Selain itu, kerangka teoretis berupa konsep mobilisasi politik pun menyatakan bahwa keberhasilan partai politik sangat tergantung pada kemampuannya untuk memobilisasi dan mempertahankan partisipasi pemilih.
Di titik ini, PDIP agaknya mengalami dilema ideologis dan pragmatis dalam membangun koalisi serta mengelola basis pemilih. Dengan ditambah aspek psikologi politik internal yang telah berubah, PDIP tampaknya gamang dalam menentukan langkah koalisi di ajang Pilkada 2024.
Sebagai contoh di Pilkada Jakarta. Meskipun dari segi kepentingan pragmatis bisa saja PDIP ikut mendukung Anies Baswedan karena ketiadaan kader yang dapat bersaing, langkah itu agaknya akan kontradiktif dari sisi ideologis. Pun dalam upaya mempertahankan pemilih loyal mereka di Jakarta, utamanya terkait residu Pilkada Jakarta edisi 2017 yang dinilai masih sangat membekas.
Di tahun 2024 ini, meski masih perkasa di level legislatif, PDIP menghadapi tantangan berbeda dalam memobilisasi ceruk suara terbesar, yakni pemilih muda dan urban dengan preferensi politik kekinian, khususnya di ajang eksekutif, baik nasional maupun daerah.
Generasi muda yang lebih “terpapar” pada isu-isu kontemporer kiranya tidak lagi merasa terwakili oleh narasi tradisional PDIP.
Tren koalisi Pilpres yang berlanjut ke Pilkada 2024 juga dapat menarik pemilih yang lebih luas dan beragam, di saat PDIP boleh jadi terjebak dengan basis pemilih yang stagnan.
Momentum PDIP Merenung?
Refleksi singkat namun bermakna kiranya dapat dilakukan para pembisik dan penentu keputusan PDIP di Pilkada 2024. Salah satunya yang berangkat dari beberapa filsuf kenamaan dunia dengan berbagai pemikirannya yang dapat dielaborasikan.
Pertama, Plato, dalam Republic, menekankan pentingnya kepemimpinan yang bijaksana dan beretika dalam mencapai keadilan dan stabilitas dalam negara. Kepemimpinan yang tidak bijaksana atau korup dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan dan dukungan dari rakyat.
Esensi dari apa yang dikemukakan Plato kiranya dapat diaktualisasikan PDIP untuk memastikan bahwa para kader dan kandidatnya di tingkat nasional dan daerah adalah figur yang dipercaya dan dihormati oleh publik.
Frasa “dihormati oleh publik” kiranya menjadi pekerjaan rumah PDIP saat kader mereka yang bertarung di Pilpres 2024, Ganjar Pranowo, dengan segala pertempuran narasinya, seolah kehilangan aspek penting itu.
Teladan maupun portofolio kepemimpinan yang efektif dan etis dapat membantu mengatasi tantangan dan mempertahankan momentum politik.
Andai PDIP tak ingin pragmatis serta berpegang teguh untuk merebut kembali Jakarta sebagai salah satu sampel Pilkada 2024 di tanah Jawa, misalnya, sosok Panglima TNI ke-21, Andika Perkasa kiranya dapat menjadi jawaban terbaik.
Kedua, legitimasi juga agaknya harus direnungkan kembali oleh PDIP. Mengacu pada Max Weber, legitimasi dalam politik berasal dari tiga sumber utama, yakni tradisional, karismatik, dan legal-rasional.
PDIP yang telah lama “menikmati” legitimasi tradisional melalui warisan sejarah dan klaim ideologi yang spesifik agaknya harus memodifikasi aspek tersebut.
Untuk mempertahankan legitimasi, PDIP tentu harus terus menyesuaikan diri dengan perubahan zaman dan harapan masyarakat. Dukungan publik yang berkurang, seperti yang terjadi di Pilpres 2024, bisa mencerminkan hilangnya legitimasi, yang harus diatasi melalui reformasi dan adaptasi kebijakan yang lebih relevan dengan kebutuhan rakyat saat ini.
Bagaimanapun, PDIP menghadapi tantangan besar menjelang Pilkada 2024 di Pulau Jawa, terutama dalam mempertahankan momentum di Jawa Tengah yang selama ini menjadi basis kekuatan mereka.
Namun, penjelasan di atas merupakan interpretasi semata yang mana probabilitas pastinya akan sangat dinamis beriringan dengan proses politik di antara masing-masing aktor dan entitas di dalamnya. (J61)