Site icon PinterPolitik.com

Pilpres AS Representasi Kerinduan Hegemoni?

Pilpres AS Representasi Kerinduan Hegemoni

nald Trump, Barack Obama, dan Joe Biden pada tahun 2017 silam. (Foto: AFP)

Atensi luas terhadap pertarungan Trump dan Biden di Pilpres AS 2020, pada dimensi berbeda tampak menggambarkan betapa kuatnya pengaruh hegemoni negeri Paman Sam, meski tengah berhadapan dengan kebangkitan Tiongkok. Lalu, apakah fenomena tersebut sesungguhnya mencerminkan sangat diharapkannya comeback kepemimpinan global AS secara konkret, termasuk yang terkait dengan Indonesia?


PinterPolitik.com

Hingar bingar dan resonansi Pilpres Amerika Serikat (AS) 2020, tak bisa dipungkiri dirasakan pula di berbagai belahan dunia. Semakin menarik karena head to head antara Donald Trump dan Joe Biden berlatarbelakang berbagai tantangan global yang didistorsi pandemi beserta dampak turunannya.

Dalam sebuah tulisan berjudul As U.S. Election Hangs in Balance, America’s Allies, Rivals and Foes Watch for What’s Next, Joanna Slater dan Rick Noack dan kawan-kawan menyebut bahwa tingginya atensi pada Pilpres AS tidak hanya berasal dari para elite politik dan pemerintahan sekutu maupun rival, namun juga dari publik domestik masing-masing.

Di Kanada misalnya, warga negara dan anggota parlemen setempat menganalogikan Pilpres AS sebagai “olahraga terfavorit penonton kedua” di negara itu. Hal serupa dengan dimensi berbeda terjadi pula di Australia, Brazil, Tiongkok, Taiwan, kawasan Timur Tengah, hingga Rusia, dengan relevansi isunya masing-masing.

Pun di Indonesia, pertarungan antara Trump and Biden memantik perhatian dan analisa publik yang tak kalah seru dengan kontestasi elektoral Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto setahun silam.

Meski Indonesia secara level politik dan pemerintahan tentu akan bersikap normatif dan tak menaruh keberpihakan, reaksi berbeda dan cukup kontras ditampilkan publik tanah air terhadap dinamika Pilpres quadrennial AS edisi ke 59.

Diskursus isu di media konvensional maupun media sosial mencerminkan antusiasme yang begitu luar biasa. Metadata berupa kata kunci maupun tagar yang terkait dengan Pilpres AS berseliweran cukup intens di berbagai platform jagat maya tanah air sepanjang hari kemarin.

Lantas, mengapa atensi masif terhadap Pilpres AS semacam ini bisa tercipta? Selain itu, apakah fenomena tersebut mengindikasikan makna kolektif tertentu di tengah dinamika dan konstelasi politik global saat ini?

Daya Tarik Inheren

Berbagai kemungkinan jawaban atas tanya tersebut mungkin tetap akan berpangkal pada predikat hegemon yang terpatri kepada AS. Ya, negeri Paman Sam dapat dikatakan berhasil mencapai egemonia atau hegemoni, seperti yang dikemukakan oleh Antonio Gramsci.

Walau cakupan Gramsci lebih berkutat pada level negara dan tidak secara spesifik berbicara tentang hubungan internasional, namun dalam bukunya Selection from the Prison Notebook secara tidak langsung mengatakan bahwa logika hubungan internasional tidak jauh berbeda dengan logika yang berlaku pada level negara.

Dengan kata lain, AS dinilai meraih sebuah hegemoni yang bahkan telah mencakup kepemimpinan ide, moral, dan intelektual (intelektual organik) di level global.

Meskipun kebangkitan Tiongkok dalam dua dekade terakhir seringkali disebut membuat titel hegemon AS kian terkikis atau bahkan ada yang menyebutkan telah tergantikan di sejumlah sektor.

Akan tetapi, hal tersebut tidak serta merta merenggut predikat AS begitu saja. Bahkan, Fareed Zakaria dalam The Post American World and The Rise of The Rest menyiratkan bahwa mustahil untuk menggeser hegemoni AS.

Sistem dan tatanan global bagi interaksi negara saat ini yang merupakan kreasi AS, disebut Zakaria sebagai faktor utama. Plus, kebangkitan Tiongkok – yang disebut penantang terkuat AS saat ini – dikatakan hanya menjiplak atau berdasarkan “cetakan” yang dibuat negeri Paman Sam.

Kedigdayaan pada Perang Dunia II disebut-sebut menjadi awal dari hegemoni AS dalam menanamkan ide hingga norma politik yang secara luas diterima saat ini, seperti demokrasi, kesetaraan, dan sebagainya.

Selain itu, melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) beserta lembaga turunannya, injeksi nilai dan predikat tersebut seketika terejawantahkan. Belum lagi hegemoni secara ekonomi melalui kesepakatan Bretton Woods tujuh dekade lalu, yang melahirkan Bank Dunia serta International Monetary Fund (IMF).

Selain itu, keperkasaan dollar pun bersinergi dengan persentase agregat ekonomi AS di mana masih merupakan yang terkuat di muka bumi, yakni sebesar 23,6 persen dari ekonomi dunia di tahun ini. Data ini sekaligus mengindikasikan bahwa kebangkitan ekonomi Tiongkok yang menandingi AS selama ini memang terkesan dibesar-besarkan.

Kemenangan dalam Perang Dingin atas Uni Soviet juga seolah menasbihkan bahwa nilai yang dibawa AS merupakan yang termutakhir dan pada akhirnya menasbihkan global leadership AS sebagai hegemon terbaik.

Meski hegemoni yang dimaksud Gramsci ialah dominasi dengan dasar persetujuan atau consent dan bukan paksaan atau coercion, nyatanya tendensi paksaan atas hegemoni AS di masa lalu dinilai terus bertransformasi menjadi sebuah hal yang dapat diterima dan disepakati.

Hal ini misalnya terlihat dari bagaimana negara-negara yang kasbon kepada Bank Dunia maupun IMF dalam upaya penanganan pandemi Covid-19 beserta dampak turunannya saat ini.

Secara sosial, kultural, hingga teknologi, AS pun masih menjadi hegemon dan tersingkap salah satunya dari bagaimana fenomena brain gain selalu menjadikan negara peringkat pertama Olimpiade Rio 2016 ini sebagai destinasi akhir “terfavorit”.

Ya, brain gain sendiri merupakan antonim dari brain drain atau fenomena masuknya para ahli, intelek, dan sosok dengan kualifikasi mumpuni di bidang sains, teknologi, maupun sosial ke suatu negara.

AS pun sampai saat ini masih menjadi yang ternyaman bagi para expert dari berbagai negara maupun etnis, termasuk sejumlah nama kawakan mulai dari Albert Einstein, Enrico Fermi, hingga nama-nama kekinian yang menghuni Silicon Valley, Wall Street, bahkan pemerintah federal.

Variabel inilah yang dianggap menjadikan AS tak pernah kehabisan akal untuk terus menjadi negara terprominen di dunia dari berbagai aspek, yang secara bersamaan bernilai konstruktif pada predikat hegemon itu sendiri.

Hegemoni Yang Dirindukan?

Korelasi dari mendalamnya hegemoni tersebut dan Pilpres AS disoroti oleh eks duta besar Australia untuk AS, Kim Beazley dalam tulisannya yang berjudul There’s a Good Reason We’re so Interested in the US Election.

Beazley menyebut terdapat ekspektasi besar dunia di balik Pilpres AS yang terkait dengan unilateralisme, kolegialitas, hingga kepemimpinan global. Tiga ihwal inilah yang dinilai tak bisa dilepaskan dari hegemoni AS.

Secara umum, disebut terdapat sensitivitas yang tinggi terhadap kemungkinan pengaruh atau intervensi secara positif dari kepemimpinan AS, khususnya aspek politik domestik suatu negara. Bahkan adagium yang dikatakan Beazley, yakni “we own the US presidential election” kini menjadi semakin relevan di semua negara.

Meski demikian, preseden bahwa hegemoni serta kepemimpinan global AS mengalami reduksi dengan derajat tertentu tak bisa ditampik begitu saja. Kebangkitan Tiongkok lagi-lagi menjadi musababnya.

Kecenderungan ini disebut mulai muncul sejak berakhirnya era Bush Jr., mulai terlihat kasat mata di era Obama, hingga menjadi semakin riil di bawah Trump. Nama terakhir dengan America First-nya, jamak dituding membuat hegemoni atau kepemimpinan global AS berada di titik terendah sepanjang sejarah.

Misalnya ketika AS di bawah Trump tampak resisten dengan multilateralisme dan membuat kecewa sejumlah negara lain yang selama ini merasa kepalang harmonis dan nyaman atas eksistensi negeri Paman Sam.

Lalu ada pula friksi sejumlah negara yang terjadi akibat tendensi pasif AS, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Oleh karenanya, dengan berangkat dari postulat Beazley di atas dan dengan kondisi geopolitik kekinian yang ada, atensi masif terhadap Pilpres AS kali ini disatu sisi tampaknya merefleksikan ekspektasi tersendiri bagi diharapkannya kepemimpinan global atau hegemoni AS yang “semestinya”.

Pada konteks Indonesia, atensi besar terhadap Pilpres AS 2020 yang berhulu dari kerinduan akan kepemimpinan global AS juga mungkin saja eksis. Terlebih jika berkaca pada isu-isu kontemporer.

Pendekatan ofensif Tiongkok – yang disebut penantang hegemoni AS – di Laut China Selatan (LCS) misalnya, justru kerap mengusik Indonesia dan seolah memanfaatkan alasan investasi atas kesewenang-wenangannya itu.

Meski tampak seperti “polisi dunia” karena tidak meratifikasi Konvensi Hukum Laut Internasional, kehadiran AS di LCS nyatanya cukup positif bagi negara-negara yang terusik oleh Tiongkok, termasuk Indonesia.

Dan justru, kini dunia tampaknya mulai sadar bahwa peran polisi dunia yang hanya bisa dilakukan oleh hegemoni seperti itu cukup dibutuhkan. Tak hanya pada aspek keamanan, tetapi juga pada hal lain yang berkorelasi dan dapat bermuara pada isu tersebut.

Kendati demikian, penjabaran tersebut masih berupa presumsi semata. Yang jelas, dunia memang kiranya merindukan stabilitas global hakiki yang dinilai tak bisa diwujudkan tanpa peran aktif AS.

Sementara jika memang benar adanya, akankah pemenang Pilpres AS 2020 dapat mengobati kerinduan tersebut? Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)


Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version