HomeHeadlinePilpres 2024: Makin Mahal, Makin Gelap

Pilpres 2024: Makin Mahal, Makin Gelap

Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyimpulkan Pilpres 2024 dengan kalimat, “makin mahal, makin gelap”. Apa maksudnya?


PinterPolitik.com

Dalam acara diskusi publik yang diselenggarakan lembaga survei KedaiKOPI pada 20 November 2022, Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini memberikan pernyataan yang sangat menarik.

Ungkapnya, Pilpres 2024 akan menjadi kontestasi yang semakin mahal dan semakin gelap. Ada dua alasan utama yang dapat ditarik dari pemaparan Titi. 

Pertama, kenapa disebut semakin mahal? Karena akan terjadi berbagai transaksi antara partai politik (parpol) maupun dengan berbagai pihak yang berkepentingan (vested interest). 

Kedua, kenapa disebut makin gelap? Karena masyarakat tidak memiliki akses terhadap transaksi-transaksi tersebut. “Masyarakat akan terus disajikan berita mengenai pertemuan antar elite politik dan selama itu pula kita tidak bisa mengakses isi pertemuan,” ungkapnya.

Sebagai ilustrasi, Titi mengutip penelitian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Pemilu 2015, 2017, dan 2018. Dalam temuan KPK, ternyata lebih dari 60 persen kandidat yang kalah di pemilu menyetorkan uang ke parpol, namun tidak pernah dilaporkan oleh parpol.

Titi juga mempertanyakan pernyataan terbuka berbagai politisi yang menyebut biaya politik itu tinggi. Karena faktanya, jika mengacu pada laporan resmi parpol, biaya kampanye yang dilaporkan merupakan angka yang dapat dikatakan wajar.

Sebagai contoh, Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil pernah menyebut biaya menjadi presiden mencapai Rp8 triliun. Namun, jika melihat Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) pada Pilpres 2019, menariknya, angkanya bahkan tidak menyentuh Rp1 triliun.

Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto – Sandiaga Uno hanya melaporkan Rp213,2 miliar. Sementara Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo – Ma’ruf Amin melaporkan Rp606,7 miliar. 

Baca juga :  Prabowo, the Game-master President?

Ihwal ini membuat Titi menaruh tanya, jangan-jangan data yang dilaporkan selama ini hanya puncak dari gunung es. Terdapat transaksi di bawah permukaan yang mungkin tidak akan dapat diakses. 

image 89

Kampanye Digital

Mengumpulkan berbagai penelitian politik terbaru, salah satu faktor pendorong yang membuat pemilu menjadi semakin mahal dan gelap adalah penetrasi internet alias era digital.

Susanna Tenhunen dan Vilma Karvelyte dalam The role played by social media in political participation and electoral campaigns, menjelaskan media sosial seperti Twitter, Facebook, dan YouTube menyediakan cara baru untuk merangsang keterlibatan masyarakat dalam kampanye dan pemilu.

Media sosial menawarkan komunikasi pribadi. Jarak antara politisi dengan pemilih dipangkas. Komunikasi menjadi lebih cepat, lebih luas, dan terjadi secara dua arah. Dengan tawaran yang menarik, tidak heran kemudian berbagai politisi dan partai politik memberi perhatian khusus pada kampanye digital.

Walter Loeb dalam tulisannya The Rising Costs of Digital Advertising Will Force Spending Shifts, menyebutkan biaya iklan di Facebook, Google, Apple, Pinterest, dan Instagram terus merangkak naik.

Berikut persentase peningkatannya tiap bulan pada tahun 2021:

Februari 2021Maret 2021April 2021Mei 2021Juni 2021
+6%+68%+89%+69%+42%

Terang Loeb, pendapatan iklan di media sosial naik +56% dari tahun ke tahun. Pada kuartal kedua 2021 saja nilainya mencapai USD28,6 miliar (sekitar Rp447,34 triliun).

Di Indonesia sendiri, mengutip publikasi jurnal Muninggar Sri Saraswati yang berjudul Social Media and the Political Campaign Industry in Indonesia, pada tahun 2000-an awal, porsi biaya kampanye di TV setidaknya sebesar 30 persen dari keseluruhan dana kampanye.

Angkanya diperkirakan terus meningkat seiring dengan perkembangan pesat berbagai media sosial di Indonesia. 

Melihat datanya, pada 2022 pengguna Facebook di Indonesia mencapai 129,85 juta, pengguna Twitter 18,45 juta, pengguna Instagram 99,9 juta, dan YouTube sebanyak 127 juta. Ini jelas adalah statistik fantastis yang membutuhkan dana yang fantastis.

Baca juga :  Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?
anies kunjungi gibran ngapain

Kabut Media Sosial

Sayangnya, meskipun media sosial memberikan bentuk baru kampanye yang menggiurkan, dampak negatif juga tidak kalah mengerikan. 

Francis Fukuyama dalam bukunya Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment, menyebutkan berbagai ilmuwan politik, termasuk dirinya, menaruh harapan yang besar terhadap internet pada tahun 1990-an.

Internet yang memberikan akses informasi kepada siapa pun dinilai dapat menyebarkan dan membantu demokrasi berkembang. Namun, hadirnya media sosial menggugurkan harapan tersebut. Alih-alih menyehatkan, media sosial justru membuat demokrasi menjadi sakit.

Dalam temuan Fukuyama, media sosial justru mempertebal polarisasi, membuat kelompok atau sekat sosial baru, hingga melahirkan politik kebencian. 

Mengutip Carl von Clausewitz dalam bukunya On War, media sosial telah membuat pemilu seperti layaknya kabut. Masyarakat berada di dalam simulakra. Informasi yang begitu banyak, beragam, dan sulit diverifikasi membuat masyarakat tidak mendapatkan informasi yang dapat diandalkan.

Seperti disebutkan Titi Anggraini, masyarakat umum tidak memiliki akses untuk mengetahui isi pertemuan para elite politik. Yang masyarakat ketahui adalah penggambaran di berbagai media sosial. Sekali lagi, ini yang disebut dengan semakin gelap.

Lebih parah lagi, seperti dijelaskan dalam artikel PinterPolitik yang berjudul Capres 2024 Hanya Omong Kosong?, berbagai berita politik yang ada sering kali hanya ditujukan sebagai hiburan masyarakat. Pertemuan para elite, pernyataan, ataupun gesturnya sering kali sengaja dimunculkan sebagai bahan gosip masyarakat semata.

Hari ini terdapat beragam berita soal safari dan deklarasi kandidat. Kita disibukkan dengan berita-berita semacam itu. Padahal, kandidat yang benar-benar akan maju di Pilpres 2024 baru ditentukan pada Oktober 2023. (R53)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Anies Di-summon PKS!

Ahmad Syaikhu in a battle against Dedi be like, “I summon Anies Baswedan!”  #Anies #AniesBaswedan #PilkadaJawaBarat #AhmadSyaikhu #IlhamHabibie #PKS #pinterpolitik #infografis #politikindonesia #beritapolitik #beritapolitikterkini

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...