HomeNalar PolitikPilpres 2024, Kemenangan Absolut Prabowo-Anies?

Pilpres 2024, Kemenangan Absolut Prabowo-Anies?

Jajak pendapat terbaru dari Parameter Politik Indonesia menunjukan kombinasi militer-sipil sangat diharapkan sebagai suksesor kepemimpinan bangsa di 2024 mendatang. Nama Prabowo Subianto dan Anies Baswedan yang berada di dua besar survei dibaca sebagai representasi ekspektasi tersebut. Lalu bagaimana kans pasangan tersebut?


PinterPolitik.com

Belakangan ini kembali beredar sejumlah jajak pendapat mengenai prospek kandidat mana yang pantas melanjutkan kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di tahun 2024 mendatang.

Dapat dipastikannya keberadaan nama baru yang akan duduk di singgasana Medan Merdeka Utara, membuat survei dan nama-nama potensial juga kian menarik untuk dianalisa meskipun sejauh ini tak dapat dilepaskan dari kandidat yang “itu-itu saja”.

Namun terdapat satu yang menarik di antara survei yang ada, yakni ketika Parameter Politik Indonesia (PPI) juga melakukan riset kuantitatif mengenai ekspektasi latar belakang kandidat Capres 2024.

Hasilnya, 30,2 persen responden menginginkan Capres-Cawapres diisi oleh duet berlatar belakang militer-sipil. Persentase tersebut paling tinggi dibandingkan kombinasi lainnya, seperti sipil-sipil, sipil-militer, atau militer-militer.

Menjadi semakin menarik pula ketika PPI di saat yang sama juga merilis daftar kandidat potensial Capres 2024 di mana nama Prabowo Subianto dan Anies Baswedan berada di dua besar.

Ihwal yang kemudian dengan berbagai skenario lainnya seperti Pilkada DKI Jakarta yang akan digelar pada 2024, hingga Anies yang tidak memiliki afiliasi partai politik (parpol), membuat padu padan Prabowo-Anies menjadi tampak cukup ideal dan representatif untuk memenuhi ekspektasi Capres-Cawapres berlatar belakang militer-sipil.

Baca juga: Bukan Anies-Gibran, Mengapa Jokowi Dorong Pilkada 2024?

Namun pertanyaannya, mengapa background dan variabel militer seolah masih diharapkan dalam konteks kepemimpinan sipil di Indonesia, khususnya pada level tertinggi sebagai Kepala Negara saat ini?

Terpaku Alunan Pendulum Politik?

Ketika berbicara konteks militer dalam kepemimpinan sipil pada atmosfer demokrasi di Indonesia, terdapat dinamika yang cukup panjang dan memiliki kekhasannya tersendiri dibandingkan dengan negara-negara seperti Thailand atau Myanmar.

Bahkan di era kekinian, diskursus itu masih tidak dapat dilepaskan dari pengaruh karakteristik kepemimpinan dan tatanan politik-pemerintahan di era Orde Baru (Orba). Kecenderungan yang juga disebutkan oleh Natalie Sambhi dari Brookings Institution dalam tulisannya yang berjudul Generals gaining ground: Civil-military relations and democracy in Indonesia.

Sambhi menyebut, hubungan militer-sipil, termasuk dalam aspek kepemimpinan level tertinggi dan turunannya saat ini, juga ditandai dengan koneksi lintas generasi dengan mereka yang berasal dan “terdidik” di masa Orba.

Hal itu juga tak bisa dilepaskan dari berbagai aspek yang telah mengakar cukup dalam selama 32 tahun rezim kekuasaan Soeharto dan membentuk struktur persepsi fundamental dalam benak siapapun hingga saat ini, termasuk dalam dimensi ekonomi-politik, hingga sosial-politik (sospol) masyarakat Indonesia.

Lebih lanjut, Sambhi menyebut perihal itu kemudian terartikulasikan dalam kepercayaan publik yang sangat dalam dan persepsi terhadap kompetensi militer dan budayanya, bahkan pasca reformasi.

Baca juga: Jokowi dan Risalah Kungkungan Militer

Hipolitus Yolisandry Ringgi Wangge dalam publikasinya yang berjudul The military’s role in Indonesia’s democracy. Misguided perception?, juga menilai bahwa reformasi  tidak mampu meredam aspirasi militer untuk turut serta dalam kehidupan politik dan sosial sipil. Pada akhirnya, persepsi militer dalam berbagai dimensi sebenarnya tidak pernah meninggalkan peran politik militer atau eks militer dalam demokrasi Indonesia.

Baca juga :  The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Kendati demikian, ihwal tersebut tak selalu dan sepenuhnya menimbulkan preseden minor, terutama ketika sosok berlatar belakang militer seperti Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berhasil terpilih menjadi Presiden selama dua periode.

SBY sendiri tergolong sebagai sosok military maverick, istilah yang disebut Barry Posen dalam The Source of Military Doctrine sebagai figur militer dengan kemampuan dan terobosan sospol di atas rata-rata, dengan merumuskan serta mengimplementasikan konsep posisi ideal peran militer di panggung politik dan pemerintahan.

Dengan berbagai track record dan legacy kepemimpinan SBY, agaknya tercipta semacam memori kolektif publik, plus alternatif komparasi tersendiri tentang bagaimana kombinasi kepemimpinan militer dan sipil berkuasa setelah reformasi.

Terlebih militer selama ini juga mampu menjaga citra sebagai lembaga yang paling dipercaya publik. Paling tidak itulah yang tercermin dari survei teranyar dari Lembaga Survei Indonesia (LSI), yang bahkan persentasenya jauh melampaui Polri dan Presiden.

Tentu ketika berbicara komparasi ialah dengan kepemimpinan sipil yang dibawa oleh Presiden Jokowi saat ini, yang secara garis besar kinerjanya dinilai justru kontraproduktif, terutama dalam aspek supremasi sipil, dan ekosistem politik dengan checks and balances yang timpang berkat koalisi politik yang dibangun di bawah kepemimpinannya.

Ekspektasi terhadap variabel militer dalam kepemimpinan di Pilpres 2024 plus komparasinya itu, agaknya juga merefleksikan secara kontekstual teori pendulum politik atau the swing of the pendulum theory.

Perkembangan awalnya, May Harper, Profesor MUNRO dari Harvard mengkaji tentang tendensi pasang surut dan ayunan bolak-balik dalam kehidupan politik. Lalu secara substansial, teori tersebut menjelaskan sejarah, terutama politik, berayun ke satu arah hingga mencapai titik kritis dan kemudian berayun kembali ke tempat semula.

Salah satu refleksi di ranah praktisnya dalam konteks kepemimpinan berlatar belakang militer, sempat disinggung oleh pengamat politik dari Universitas Paramadina Hendri Satrio.

Dirinya mengatakan, peluang Capres berlatar belakang militer di Pilpres 2024 sangat terbuka, ketika mengacu pada teori pendulum politik, yang mana berangkat dari asumsi turunan bahwa pemimpin selanjutnya akan memiliki latar belakang berbeda dengan pemimpin saat ini.

Artinya, Presiden Jokowi yang notabene berlatar belakang sipil, memiliki kemungkinan yang cukup besar untuk digantikan oleh sosok berlatar belakang militer, berdasarkan dikotomi yang ada selama ini.

Dan dari situ lah nama Prabowo Subianto yang Sambhi sebut kian memiliki posisi politik yang kuat setelah menjabat sebagai Menteri Pertahanan, menjadi relevan ketika berbicara ekspektasi Capres berlatar belakang militer.

Lalu, bagaimana sesungguhnya peluang kombinasi militer-sipil ketika diskursus Capres-Cawapres mengarah pada peluang duet Prabowo-Anies seperti yang dijelaskan di bagian sebelumnya?

Duet Ideal?

Selain sosok berlatar belakang militer paling prominen di blantika politik Indonesia saat ini, Prabowo juga memiliki keunggulan tersendiri dari sisi hierarki politik. Ya, Prabowo merupakan Ketua Umum parpol, yang memiliki prerogatif politik tersendiri yang dinilai lebih baik dalam hal ketegasan langkah dan kebijakan politik. Berbeda dengan Jokowi ataupun kandidat potensial lain dalam bursa Capres 2024.

Baca juga :  Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Urgensi prerogatif sendiri menjadi penting dalam ranah politik dan pemerintahan demi stabilitas dan kebaikan bersama, seperti halnya konsep prerogatif ideal yang dikemukakan oleh John Locke dalam On Prerogative Power.

Keunggulan itu seolah juga menasbihkan kekuatan dan fleksibilitas Prabowo lainnya sebagai sosok yang komplit, seperti berpeluang memiliki kontrol yang lebih baik terhadap militer, hingga memiliki jaringan bisnis yang tentunya tak dapat dilepaskan dari sebuah kontestasi elektoral modern.

Dan andaikata benar berpasangan dengan Anies Baswedan, via eks Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) itu, Prabowo juga berpeluang menghimpun kembali segmen kelompok Islam yang menarik dukungan pasca kekecewaan merapatnya eks Danjen Kopassus ke pemerintah.

Akan tetapi pertanyaan berikutnya, sejauh mana Anies dapat menggaet ceruk potensial suara dari kelompok Islam sebagai seorang Cawapres?

Baca juga: PDIP Tikung Anies, PKS Tenggelam?

Selain dari kelompok Islam yang agaknya masih setia di Jakarta, celah bagi perihal itu agaknya dimiliki Anies dalam konteks relasinya dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Anies dengan basis tersebut tampaknya punya potensi besar untuk merangkul atau disokong kelompok Islam yang lebih besar melalui tokoh-tokoh cendekiawan Muslim serta sosok berpengaruh, seperti Jusuf Kalla (JK), yang secara tidak langsung bisa saja juga dapat berperan ganda dalam menarik dukungan parpol khususnya Golkar. Meskipun probabilitas masuknya Golkar sekiranya cukup sukar untuk dibayangkan.

Tak hanya itu, parpol berhaluan Islam seperti PKS juga terang-terangan selama ini menyiratkan dukungan bagi Anies dalam berbagai dinamika yang mengiringi perjalanan Gubernur DKI Jakarta itu.

Dari situ, terbuka peluang bagi peta politik yang kiranya tidak hanya berpotensi berkongsi kembali dengan PKS serta menarik support Golkar, Prabowo dan Gerindra boleh jadi dapat menarik Partai Nasdem dalam koalisi yang memang secara terang-terangan juga punya sentimen positif pada Anies.

Sebuah kelengkapan pondasi koalisi politik yang cukup menjanjikan ketika elemen nasionalis, bisnis, dan agamis telah berpadu.

Dengan skenario tersebut dan jika memang PDIP nantinya bersikukuh akan mengusung calonnya sendiri, tentu pertarungan di Pilpres 2024 akan menjadi cukup menarik ketika berbicara potensi arah sokongan dari parpol lainnya.

Tinggal satu pertanyaan yang masih cukup sulit terjawab adalah, di panggung mana Anies akan tetap mempertahankan relevansi politiknya selepas masa jabatannya berakhir dan Pilkada tetap berlangsung pada 2024?

Namun di samping itu semua dan dengan kecenderungan yang ada, dikotomi serta diskursus mengenai kombinasi kepemimpinan berlatar belakang militer-sipil agaknya memang masih akan menjadi warna tersendiri pada Pilpres 2024.

Dan peluang siapa berpasangan dengan siapa dalam Pilpres 2024 kelak pada akhirnya juga masih sangat terbuka, dan tak menutup kemungkinan bagi kejutan-kejutan lain dari kombinasi latar belakang Capres dan Cawapres yang ada nantinya. (J61)

Baca juga: Prabowo-Gerindra Teladan Bagi Partai Republik?


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Dengarkan artikel ini: Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut. Meski belum juga terjadi, banyak yang...

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?