Site icon PinterPolitik.com

Pilpres 2019, Pertarungan Kanan vs Kanan

Gesekkan dua kelompok antara Islam konservatif dan nasionalis konservatif akhir-akhir ini kian meruncing. Kondisi ini dianggap berbahaya karena selain bisa menyebabkan permusuhan di akar rumput, juga rentan digunakan sebagai alat politik oleh elite dan oligarki.


Pinterpolitik.com 

“Populist politics have become more prominent in Indonesia. On the one hand, this is indicated by the presidential elections of 2014, when two rival candidates brandished somewhat different nationalist populist ideas.”

:: Vedi Hadiz ::

[dropcap]P[/dropcap]erlu diakui, sejak Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu, terjadi pertentangan antar kelompok dengan atribut identitas. Kelompok ini bisa diidentifikasi sebagai Islam konservatif dan kelompok nasionalis konservatif.

Indikasi ini menguat setelah dalam beberapa penelitian, intoleransi dan gerakan “radikal” semakin meningkat. Kata radikal perlu diberi tanda kutip sebab radikal dalam pengertian umum hari ini telah mengalami pergeseran makna atau deformasi, semula dari arti positif dan progresif, kini menjadi negatif dan reaksioner.

Pertentangan antara dua kelompok ini terlihat misalnya saat insiden pembakaran bendera bertuliskan kalimat Tauhid beberapa waktu lalu. Sedangkan yang terbaru adalah berita terkait adanya pelarangan acara yang bertajuk “Syiar dan Silaturahmi Kekhalifahan Islam se-Dunia 1440 Hijriah”. Acara tersebut mendapatkan penolakan keras dari sebagian kelompok di Bogor. Sejalan dengan pandangan kelompok penentang tersebut, pihak kepolisian turut tidak memberikan izin karena diduga memiliki motif yang mengarah pada makar.

Politik identitas pada masa Pilpres 2019 semakin menguat. Share on X

Gerakan Islam sejak reformasi memang mendapatkan panggung. Islamisasi ini menjadi warna yang sangat mencolok pasca Orde Baru tumbang. Di pihak lain, hal ini turut menguatkan gerakan yang mengatasnamakan nasionalisme. Kelompok ini memiliki pemaknaan yang ketat atas ideologi dasar negara, Pancasila.

Dua kelompok ini memainkan identitas yang rentan dimainkan oleh kepentingan elite yang ingin merebut kekuasaan, dalam hal ini adalah kontestasi Pilpres 2019.

Menurut Vedi Hadiz dan Richard Robinson, kompetisi antara populisme Islam dan populisme nasionalis menggunakan ketakutan untuk menjatuhkan lawan politik yang lain. Mereka terjebak pada narasi tentang “khilafah” dan “nasionalisme” tanpa sadar adanya persoalan yang lebih terstruktur, misalnya persoalan pembangunan yang timpang dan sebagainya. Pertanyaannya adalah seperti apa dampaknya untuk Pilpres 2019 nanti.

Gelombang Populisme

Francis Fukuyama, seorang filsuf ternama yang mengembangkan konsep politik “akhir dari sejarah” (end of history), pernah mengaku ketakutan dengan masa depan demokrasi setelah melihat kasus keluarnya Inggris dari Uni Eropa lewat Brexit, dan kemenangan Trump pada Pilpres Amerika Serikat (AS) 2016.

Dua dekade lalu, Fukuyama memberikan bayangan kondisi global setelah Perang Dingin berakhir dengan menyatakan bahwa detik-detik penghancuran Tembok Berlin tahun 1989 adalah kemenangan demokrasi liberal atas komunisme. Dengan demikian, ini menjadi bentuk final dari pemerintahan manusia. Ia tidak pernah menduga bahwa demokrasi liberal berjalan mundur dengan kebangkitan kekuatan konservatif agama dan konservatif nasionalis seperti pada Perang Dunia II.

Pada kedua benua di sisi Samudera Atlantik, konservatif nasionalis punya rekanan kuat di kalangan konservatif agama, dan mereka sekarang sedang dalam posisi puncak. Di satu sisiSamudera Atlantik, ada Partai Republik AS yang mendaulat Trump, yang dikenal sebagai kelompok yang punya keyakinan kuat terhadap nilai tradisional etika Judeo-Kristen dan pentingnya pertahanan nasional.

Hal ini tampak dari kebijakannya yang mencoba memperketat hukum imigrasi bagi pencari suaka dan pengungsi dari tujuh negara berpenduduk mayoritas Muslim dan rencana pembangunan tembok di sepanjang perbatasan AS-Meksiko. Dia juga mendukung kebijakan anti-aborsi, menolak pernikahan sesama jenis dan pada beberapa negara bagian, pembatasan minuman beralkohol.

Sementara di sisi lain Samudera Atlantik, keinginan Inggris untuk keluar dari Uni Eropa (UE) dipengaruhi oleh rasa terlalu mengagungkan bangsa sendiri, krisis finansial, serta perpecahan pendapat warga Inggris mengenai bentuk perlakuan yang tepat pada imigran dari Timur Tengah. Semuanya menjadi sekian pemicu bagi Inggris untuk melakukan referendum pada 2016 lalu. Selain di Inggris dan AS, kebangkitan jenis kelompok ini terjadi di mana-mana.

Di Prancis, Marine Le Pen dari Partai Front Nasional yang maju dalam Pilpres Perancis, ia terus menyuarakan perlunya referendum untuk Frexit – French Exit dari Uni Eropa. Begitu pula dengan yang terjadi di Belanda, yang mana Geert Wilders, pemimpin Partai Kebebasan Belanda, menuduh bahwa Uni Eropa merampas uang, identitas, demokrasi dan kedaulatan Eropa.

Kelompok “sayap kanan” di AS dan Eropa ini pun akhirnya mendapat perlawanan dari kelompok “sayap kiri”, atau yang bisa disebut dengan kelompok progresif. Pengalaman kampanye Bernie Sanders di AS, organisasi sayap kiri Momentum dan Jeremy Corbyn di Inggris, Podemos di Spanyol, maupun veteran Jean-Luc Melenchon di Pemilu Prancis menguat dengan pengalamannya sendiri-sendiri.

Secara sistem, kelompok ini bisa melakukan konsolidasi gerakan karena diberikan kebebasan dalam berekspresi. Fakatnya, kondisi ini berbeda dengan yang terjadi di Indonesia, di mana kelompok progresif atau yang dicap kiri sudah “dihabisi” dari akar.

Pertentangan Antara Kanan vs Kanan

Populisme di Indonesia hadir dalam diri kelompok “sayap kanan”, kompetisi ini terjadi antara populis Islam dan populis nasionalis-sekuler. Populisme ini syarat dengan penggunaan politik identitas. Beberapa ahli meletakkan posisi mereka sebagai kanan jauh (far right) atau ekstrem kanan.

Dalam beberapa hal, dua kelompok ini punya ciri khas yang sama. Salah satunya adalah dalam penggunaan politik identitas. Kelompok nasionalis menumbuhkan rasa patriotisme yang sangat tinggi, bahwa kepentingan individu harus dikorbankan demi kepentingan bersama yang lebih besar, yaitu kepentingan bangsa. Mereka juga memiliki pemaknaan yang ketat terhadap simbol-simbol negara.

Sementara kelompok keagamaan bersandar pada ayat-ayat kitab suci soal pengorbanan kepada Tuhan, seperti doktrin Jihad misalnya, atau pandangan terhadap sistem kepemimpinan Islam (khilafah).

Pemaknaan bahwa politik identitas sebagai sumber dan sarana politik dalam pertarungan perebutan kekuasaan sangat dimungkinkan dan terlihat jelas dalam praktik politik sehari-hari.

Jika ditilik ke belakang, sebenarnya dua kelompok ini pernah berkoalisi, ketika koalisi nasionalis dan Islam menjungkalkan kelompok kiri pada peristiwa di seputaran tragedi 1965. Namun sekarang koalisi ini pecah. Terlebih ketika gerakan Islam semakin mencari jalannya sendiri untuk merebut kekuasaan.

Gerakan Islam di Indonesia – yang dipimpin oleh Front Pembela Islam (FPI) – merupakan kekuatan utama di balik kebangkitan populisme. Hal ini memiliki dampak besar dalam sektor politik, sosial kemasyarakatan, dan ekonomi negara.

Gerkan Islam ini telah menuntut agar diberlakukannya hukum Syariah di seluruh Indonesia, dan telah masuk ke dalam organisasi-organisasi Muslim moderat, partai-partai politik Islam, unversitas, sekolah Islam, dan media. Ketegasan gerakan ini terus menyerang, terutama dengan menggunakan media sosial.

Di pihak lain, kelompok nasionalis konservatif turut ambil bagian dengan menyuarakan Pancasila sebagai hasil akhir yang tidak bisa diganggu gugat. Sayangnya kelompok ini terlalu keras dalam menerapkan ide-idenya. Persoalan ini kemudian turut dimanfaatkan oleh elite politik dalam konteks perebutan kekuasaan.

Misalnya, Jokowi berusaha mengatasi bertumbuhnya populisme yang dipicu oleh gerakan radikal Islam. Undang-Undang Ormas tahun 2017 adalah salah satu bukti bahwa Jokowi sedang meredam kelompok tersebut dengan dalih mengancam stabilitas negara dan Pancasila.

Jokowi nampaknya kurang bisa mengandalkan kelompok Islam pluralis atau toleran – yang kurang terorganisir dan tidak memiliki basis politik yang besar – untuk melawan populisme Islam. Pemerintahannya akhirnya mengandalkan kelompok-kelompok nasionalis konservatif.

Jokowi menggunakan isntrumen negara dengan memainkan sentimen nasionalisme untuk kepentingan kekuasaannya. Dia juga turut menggandeng kelompok masyarakat yang larut dalam ortodoksi Pancasila.

Sementara itu, kubu oposisi ikut campur dengan membela kelompok Islam konservatif tersebut. Meski mereka tidak secara langsung mendukung sistem khilafah, namun dalam pernyataannya kerap berseberangan dengan sikap pemerintah. Selain itu, lawan politik Jokowi menentang UU Ormas serta menjadi pendukung Aksi 212.

Pada akhirnya, pertentangan itu semakin kuat di tingkat bawah, antara pendukung khilafah dan pendukung nasionalisme Pancasila.

Mungkinkah Gerakan Progresif?

Berbeda seperti di AS atau Eropa, diskursus tentang gerakan kiri di Indonesia praktis dibungkam. Sebab secara konstitusional paham ini masih dilarang.

Menurut Chantal Mouffe, pembungkaman potensi konflik dalam demokrasi berhasil menjinakkan antagonisme antara populisme kiri dan kanan. Situasi “post-demokrasi” ini telah membidani lahirnya populisme kanan, para penganutnya biasanya menggunakan sentimen rasial dan etnisitas serta pemaknaan nasionalisme sempit.

Tugas politik menurut Mouffe ialah merancang populisme kiri yang mampu merumuskan tuntutan-tuntutan warga yang tidak terakomodasi lewat politik teknokrasi status quo.

Perwujudan politik tersebut misalnya bisa dari gerakan Islam progresif, yang mengamalkan nilai-nilai keislaman emansipatif. Tidak hanya terkait dengan pengamalan ayat-ayat kitab suci secara literal, namun juga membicarakan bagaimana Islam bisa memihak kepada kelompok tertindas yang kalah dalam akses-akses sumber ekonomi misalnya.

Hal ini menunjukkan bahwa populisme sesungguhnya dapat menjadi kekuatan transformatif dalam politik di Indonesia ketika berhadapan dengan cengkraman oligarki yang kian menguat.

Sayangnya, populisme di Indonesia gagal menjadi kekuatan antagonis terhadap oligarki karena proses demokratisasi di Indonesia sedang ditandai dengan absennya tradisi liberalisme (perjuangan untuk hak-hak individu) dan gerakan kiri yang mengedepankan agenda keadilan sosial.

Akibatnya, populisme di Indonesia tidak memiliki daya emansipatoris, tapi diinstrumentalisasi untuk melanggengkan kekuasaan oligarki.

Dalam konteks Pilpres, politik populisme tetap akan digunakan dengan format kanan melawan kanan. Jokowi yang secara gari politik condong pada kalangan nasionalis, akan memanfaatkan kelompok masyarakat yang berhaluan sejenis ini untuk kepentingan politiknya.

Di lain pihak, seperti yang diketahui bahwa kubu Prabowo dekat dengan kelompok Islam konservatif seperti FPI dan GNPF-Ulama. Identitas politik tetap akan digunakan masing-masing kubu sehingga terjadi polarisasi.

Hal itu bisa terlihat dari kasus pelarangan syiar khilafah baru-baru ini. Polaritas itu sangat terasa antara sebab dua kubu yang bertarung dalam Pilpres terbelah menaggapi isu tersebut.

Oleh karenanya, seperti yang sudah disinggung di awal. Politik identitas dan populisme sangat rentan dimanfaatkan untuk kepentingan elite politik dan oligarki. Maka dari itu, tinggal bagaimana masyarakat melihat identitas politiknya digunakan dalam politik elektoral. (A37)

Exit mobile version