HomeNalar PolitikPilpres 2019, Perang Baratayudha Papua

Pilpres 2019, Perang Baratayudha Papua

Beberapa tokoh adat Papua menyatakan dukungan kepada paslon nomor urut 02. Mungkinkah hal ini mengindikasikan bahwa Papua tak hanya milik petahana saja?


PinterPolitik.com

“Appear weak when you are strong, and strong when you are weak” ~ Sun Tzu, The Art of War

[dropcap]P[/dropcap]apua tanah surga, katanya. Begitupun mendekati Pilpres 2019, rasanya tak afdol jika tak membahas Papua sebagai salah satu potensi lumbung suara.

Mendekati bulan pencoblosan, Papua menjadi kawasan yang sesungguhnya krusial mengingat banyaknya pemberitaan yang melingkupinya. Salah satunya persoalan separatisme yang kini cukup membuat pusing pemerintah.

Dalam konteks Pilpres, rumor bahwa Papua hanya milik Jokowi saja nampaknya tak terlalu sepenuhnya benar. Hal ini terlihat dari kedatangan pihak yang mengatasnamakan masyarakat Papua Barat yang tergabung dalam tujuh suku Kabupaten Teluk Bintuni.

Kedatangan mereka ke Kantor Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi sebenarnya diawali pada tanggal 25 Januari lalu yang langsung disambut langsung oleh Ketua BPN Prabowo-Sandi, Djoko Santoso.

Dalam pertemuan tersebut, perwakilan ini menyatakan masyarakat Papua dan Papua Barat menginginkan adanya perubahan untuk kehidupan yang lebih baik dan berharap agar Prabowo bisa datang dan bertemu masyarakat Papua dan Papua Barat secara langsung.

Pilpres 2019, Papua milik siapa? Share on X

Pada tanggal 31 Januari 2019, perwakilan ini kembali mendatangi Prabowo-Sandi Media Center untuk bertemu dengan calon wakil presiden nomor urut 02, Sandiaga Uno.

Mereka, yang di antaranya merupakan penasihat tujuh kepala suku Kabupaten Teluk Bintuni bersama Ketua Relawan Batu Api Kabupaten Fakfak, Papua Barat, secara tegas mendeklarasikan dukungannya kepada Prabowo-Sandi pada Pilpres 2019.

Deklarasi tersebut cukup menarik mengingat dalam beberapa waktu terakhir ini, Papua seolah menjadi isu yang terlupakan dalam kancah perpolitikan nasional.

Lalu berkaca dari adanya deklarasi pendukung Prabowo-Sandi dari Papua tersebut, seberapa penting sebenarnya Papua untuk di perebutkan dalam gelaran Pilpres 2019? Bagaimana memaknai dukungan politik tersebut, mengingat selama ini Papua merupakan wilayah sentral dalam berbagai aktivitas sosial-politik?

Pilpres 2019 Perang Baratayudha Papua

Papua is Good Branding

Di Pemilu Amerika Serikat (AS), terdapat negara bagian yang selalu menjadi rebutan bagi para kandidat yang akan bertarung dalam kontestasi politik yakni Iowa.

Meskipun menjadi kawasan yang selalu diperebutkan, faktanya Iowa adalah negara bagian yang memiliki signifikansi kecil pada pemilu 2016 lalu secara keseluruhan karena wilayah ini hanya memiliki 3 juta penduduk dari total keseluruhan hampir 319 juta penduduk AS.

Dengan kata lain, negara bagian ini sebenarnya tidak memiliki banyak suara di Electoral College yang pada akhirnya akan menentukan kemenangan presiden dari calon partai.

Namun ketika seorang kandidat telah mendapatkan dukungan dari Iowa, hasil tersebut akan diberitakan dan diikuti oleh media dan merupakan sinyal awal tentang bagaimana masyarakat secara keseluruhan akan menentukan preferensi.

Baca juga :  Segitiga Besi Megawati

Mengapa Iowa penting? Jawabanya adalah karena negara bagian ini merupakan representasi Amerika Serikat secara keseluruhan. Seperti dikutip The Economist, meskipun negara bagian ini merupakan sebuah Negara pinggiran, namun dihuni oleh orang-orang kulit putih, juga dihuni oleh mayoritas kaum Kristen konservatif yang sering dianggap sebagai representasi asli orang Amerika.

Secara ras, Iowa memang memiliki populasi kulit putih yang lebih tinggi daripada negara bagian lain secara keseluruhan. Menurut data Sensus AS dari 87 persen orang kulit putih di AS, 62 persen berada di Iowa.

Negara bagian ini juga memiliki jumlah imigran yang cukup sedikit dibanding dengan negara bagian lain yakni sekitar 5 persen dari jumlah total imigran AS.

Mungkin saja posisi Papua di Indonesia juga serupa dengan Iowa.  Meskipun tak bisa disamakan sepenuhnya dengan Iowa. Namun Papua juga memiliki daya branding yang cukup kuat atau bisa saja disebut sebagai pivotal area, selain pulau Jawa misalnya.

Dalam konteks pemilu, menurut data Komisi Pemilihan Umum (KPU) 2018 terdapat jumlah pemilih tetap sebanyak 2,936,976 di Provinsi Papua. Tentu juga bukanlah jumlah yang banyak jika dibandingkan dengan wilayah padat seperti Jawa Barat atau Jawa Timur.

Meski begitu, hal itu tidak membuat Papua bisa dianggap sepele. Hal ini karena selama ini Papua sering menjadi sorotan baik oleh media lokal maupun internasional. Peliknya urusan gerakan separatisme Papua dan persoalan HAM yang selalu menjadi konsen pihak asing menyebabkan posisi Papua seolah-olah menjadi simbol bagi kedaulatan NKRI secara utuh.

Terlebih, keberadaan Freeport di bumi cenderawasih ini menjadikannya sebagai simbol kedigdayaan dan kesejahteraan serta besarnya potensi sumber daya alam yang terkandung di dalamnya.

Maka sesungguhnya wajar jika Papua adalah wilayah yang seharusnya menjadi rebutan bagi para kandidat yang akan bersaing dalam Pilpres 2019 nanti.

Bak kisah perang Baratayudha yang menjadi puncak perselisihan antara Pandawa melawan Kurawa, mungkin kini Papua dapat diibaratkan sebagai Khuruksetra yang merupakan tempat di mana terjadinya perang akbar tersebut.

Papua bisa saja menjadi pivot area dimana area ini layak diperebutkan demi mencapai legitimasi kemenangan secara utuh.

Papua Milik Siapa?

Klaim pemeritah yang menyebut telah berhasil melakukan pembangunan infrastruktur di Papua menjadi salah satu jargon andalan bagi petahana untuk tetap percaya diri dapat menang mutlak di provinsi paling barat Indonesia tersebut.

Pasca pemerintah berhasil mendapatkan 51 persen saham PT Freeport Indonesia yang merupakan perusahaan yang telah lebih dari 5 dekade mengeruk berbagai mineral tambang di bumi cenderawasih tersebut juga semakin mengukuhkan kepercayaan diri petahana menghadapi Pilpres 2019.

Namun sayangnya, capaian tersebut seolah menuai paradoks ketika peristiwa penembakan di wilayah Nduga beberapa waktu lalu.

Selain itu, mantan Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai juga pernah mengungkap fakta bahwa porsi terbesar jalan Trans Papua justru dikerjakan oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam 10 tahun kekuasaannya. Dengan total jalan yang telah dibangun mencapai 3.444 km.

Baca juga :  Ridwan Kamil “Ditelantarkan” KIM Plus? 

Sementara Jokowi hanya mengerjakan sisanya sebesar 827 km dari 11 ruas jalan yang ada. Pigai juga menyebut antara 2015-2016 pemerintah baru mengerjakan 464 km.

Menurut Pigai klaim sepihak bahwa Jokowi yang paling berjasa di Papua adalah hal yang tidak tepat. Hingga besar kemungkinan memang show case pembangunan Papua “dilebih-lebihkan” untuk kepentingan politik tertentu.

Hal ini menjadi ironi bagi eletabilitas Jokowi di Papua dimana menurut Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin mengungguli Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno di Maluku dan Papua dengan angka 76 persen berbanding 12 persen.

Ironi tersebut jika dikaitkan dengan dukungan yang diberikan oleh tujuh kepala suku Kabupaten Teluk Bintuni dan Ketua Relawan Batu Api Kabupaten Fakfak kepada sosok Prabowo dan Sandiaga, juga merupakan makna simbolis bahwa tak selamanya kedigdayaan petahana di bumi paling timur Indonesia tersebut berjalan abadi.

Memang, dari segi kuantitas, dukungan itu  nampak belum sepadan jika dibandingkan dengan hasil survei milik Jokowi. Akan tetapi, klaim bahwa Papua hanya milik Jokowi mulai terbantahkan melalui dukungan kepala-kepala suku tersebut.

Dukungan para kepala suku ini bisa saja menjadi angin segar bagi kubu oposisi untuk semakin menggiatkan peningkatan suara, utamanya di wilayah timur Indonesia.

Dalam konteks ini, mobilisasi etnik memang masih menjadi kunci bagi kemenangan pemilu di Indonesia. Hal ini merujuk pada temuan Song Xue dari Tsinghua University bahwa efek dari mobilisasi etnik dalam politik sangat universal, simbolis dan sebenarnya kandidat tak perlu terlalu intens. Sehingga dengan menggenggam pimpinan mereka, akan cukup membantu upaya para politisi untuk memaksimalkan suara.

Terlebih, perlu diketahui bahwa sentimen politik identitas di Papua masih sangat tinggi. Menurut Nino Viartasiwi, peneliti masalah konflik, keamanan, dan Papua dari the Institute of International Relations and Area Studies, Ritsumeikan University menyebut bahwa identitas kesukuan masih akan relevan sebagai instrumen mobilisasi pada suku-suku asli Papua.

Namun mobilisasi saja nampaknya tak akan cukup membuat oposisi menang di tanah Papua. Mengingat bahwa instrumen-instrumen negara seperti militer di sana masih beroperasi cukup massif menyentuh ranah persuasive pun dalam urusan politik. Paling tidak, dengan adanya dukungan para kepala suku dari Teluk Bintuni ini juga dapat diartikan sebagai simbol adanya upaya balance of power dari kubu oposisi.

Lalu siapakah yang akan menang dalam Perang Baratayudha di Papua? Apakah Jokowi dengan capaian infrastrukturnya ataukah Prabowo dengan dukungan tujuh kepala sukunya? Berikan pendapatmu.(M39)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Megawati Harus Ubah Sikap PDIP?

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) belakangan menghadapi dinamika yang cukup memberatkan. Kira-kira bagaimana Partai Banteng Moncong Putih akan menjadikan ini sebagai pelajaran untuk langkah-langkahnya ke depan? 

Operasi Bawah Tanah Jokowi

Dalam beberapa bulan terakhir, dunia politik Indonesia diguncang oleh isu yang cukup kontroversial: dugaan keterlibatan Joko Widodo (Jokowi) dalam upaya mengambil alih Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Mistikus Kekuatan Dahsyat Politik Jokowi?

Pertanyaan sederhana mengemuka terkait alasan sesungguhnya yang melandasi interpretasi betapa kuatnya Jokowi di panggung politik-pemerintahan Indonesia meski tak lagi berkuasa. Selain faktor “kasat mata”, satu hal lain yang bernuansa dari dimensi berbeda kiranya turut pula memengaruhi secara signifikan.

Ketika Chill Guy Hadapi PPN 12%?

Mengapa meme ‘Chill Guy’ memiliki kaitan dengan situasi ekonomi dan sosial, misal dengan kenaikan PPN sebesar 12 persen pada Januari 2025?

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

More Stories

Ahmad Dhani, Paradoks Politisi Selebritis?

Prediksi tentang lolosnya beberapa artis ke Senayan memunculkan kembali skeptisme tentang kualifikasi yang mereka tawarkan sebagai representasi rakyat. Layakkah mereka menjadi anggota dewan? PinterPolitik.com Popularitas mungkin...

Prahara Prabowo dan Ijtima Ulama

Kedatangan Prabowo di forum Ijtima Ulama III sehari yang lalu menyisakan sejuta tanya tentang masa depan hubungan antara mantan Danjen Kopassus ini dengan kelompok...

Vietnam, Ilusi Poros Maritim Jokowi

Insiden penabrakan kapal Vietnam ke kapal TNI AL di perairan Natuna Utara menghidupkan kembali perdebatan tentang doktrin poros maritim yang selama ini menjadi kebijakan...