HomeNalar PolitikPilpres 2019 Bakal Diulang?

Pilpres 2019 Bakal Diulang?

Media sosial dibikin heboh dengan menyeruaknya kemungkinan Pilpres 2019 diulang karena kemenangan di minimal 17 provinsi, sementera di provinsi lainnya tak boleh kalah dengan suara kurang dari 20 persen. Mungkinkah Pilpres 2019 diulang?


Pinterpolitik.com

[dropcap]S[/dropcap]aat kita berpikir pemungutan suara Pilpres 2019 telah berakhir, sebuah isu perlahan mencoba mematahkan pikiran tersebut. Dalam sebuah pesan berantai yang ramai di media sosial, ada peluang atau skenario bahwa Pilpres 2019 bisa diulang.

Kabar tersebut tentu membingungkan dan terdengar seperti petir di siang bolong bagi sebagian orang. Meski begitu, pesan tersebut tidak hanya sekadar hadir dengan opini saja, tetapi membawa argumentasi berdasarkan Undang-Undang Dasar (UUD).

Merujuk pada pesan tersebut, ada skenario Pilpres 2019 akan diulang, jika pemenangnya tidak berhasil mengumpulkan kemenangan di separuh dari seluruh provinsi di Indonesia. Jika ditotal, capres harus mengamankan kemenangan di minimal 17 provinsi agar jalannya ke Istana Negara jadi lebih lapang.

Tak hanya itu, kemenangan juga baru bisa dikunci jika sang capres berhasil mendapatkan setidaknya 20 persen di provinsi lainnya yang tak berhasil ia menangkan.

Perkara ini kemudian menimbulkan perdebatan dan perbedaan interpretasi beragam dari berbagai ahli hukum terkemuka Tanah Air. Ada yang sependapat dengan isi pesan tersebut, ada pula yang membantahnya dengan argumentasi khusus.

Terlepas dari perdebatan tersebut, pesan berantai ini menggulirkan sebuah skenario yang boleh jadi luput di benak beberapa orang. Pada titik ini, mungkinkah Pilpres 2019 diulang?

Berbeda Penafsiran

Kabar dari pesan berantai itu seperti membangunkan kembali masyarakat yang terlanjur ternina bobo oleh anggapan bahwa Pilpres telah berakhir. Apalagi, belakangan masing-masing kubu sudah merasa bisa mengklaim kemenangan dari hasil hitung cepat.

Pesan berantai itu mengambil dasar dari pasal 6A Ayat 3 UUD 1945. Merujuk pada pasal tersebut, beberapa kalangan menyebut bahwa ada tiga syarat untuk memenangkan kontestasi Pilpres. Yang pertama jelas, kandidat tersebut harus mampu mengumpulkan suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara yang ada.

Meski demikian, hal itu bukan satu-satunya persyaratan. Untuk memenangkan Pilpres, kandidat itu juga harus harus memenangkan suara di setengah dari jumlah provinsi di Indonesia. Hal itu masih juga bersyarat di mana kandidat tersebut tidak boleh kalah lebih dari 20 persen di provinsi lainnya.

Pendapat dari pesan berantai itu buru-buru dibantah oleh ahli hukum tata negara terkemuka yang juga penasihat hukum Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin, Yusril Ihza Mahendra. Menurutnya, skenario Pemilu ulang tidak perlu dilakukan karena Mahkamah Konstitusi (MK) telah membuat keputusan terkait dengan hal ini pada tahun 2014.

Menurut Yusril, berdasarkan putusan MK, jika Pilpres dilakukan dengan dua pasangan calon, maka persyaratan-persyaratan tersebut tidak lagi berlaku. Oleh karena itu, pasangan calon yang mendapatkan suara terbanyak secara nasional sudah bisa dianggap sebagai pemenang pemilihan.

Interpretasi lain dihadirkan oleh sosok advokat senior Otto Hasibuan. Dalam konteks tersebut, Otto membantah pendapat Yusril. Menurutnya, memang benar ada putusan MK seperti itu di tahun 2014, akan tetapi kini sudah ada UU Pemilu yang terbaru, sehingga aturannya mengikuti peraturan yang baru.

Menurut Otto, UU yang diuji di MK sehingga menghasilkan interpretasi yang dikemukakan Yusril adalah UU no. 42 tahun 2008 yang sudah tak berlaku lagi. Saat ini telah ada UU no. 7 tahun 2017 yang di dalam Pasal 416 menyebutkan persyaratan yang tersebar di pesan berantai yang beredar.

Perbedaan penafsiran itu jelas merupakan  hal yang membingungkan masyarakat di tengah suasana yang tak menentu ini. Idealnya, selagi MK tidak mengeluarkan putusan lain, maka penafsiran MK yang keluar terlebih dahulu tetap berlaku.

MK sendiri telah berkomentar terkait dengan perbedaan interpretasi ini. Menurut lembaga ini, sebagaimana dikutip dari Tempo, putusan MK di tahun 2014 tetap berjalan, sepanjang MK tidak mengubah pendiriannya dan sepanjang penalaran norma Undang-Undangnya tidak berubah.

Berdasarkan konteks tersebut, interpretasi soal pasal ini memang tak mudah dilakukan terlebih oleh orang awam di media sosial. Meski begitu, spekulasi tentang Pemilu ulang sudah terlanjur bergulir. Lalu, apa yang akan terjadi jika Pilpres 2019 tetap diulang?

Mengejar Kemungkinan

Salah satu hal yang kerap dipersoalkan dari berbagai Pemilu ulang atau Pemilu dua putaran adalah soal biaya yang harus dikeluarkan. Satu kali Pemilu saja, anggarannya sudah tergolong amat fantastis, apalagi jika Pilpres harus diulang atau terjadi dua putaran.

KPU sendiri sempat mengakui bahwa pagu anggaran yang diberikan kepada mereka tidak mengambil perspektif bahwa Pilpres akan terjadi selama dua putaran. Pilpres yang kemungkinan hanya akan diikuti oleh dua pasangan calon menjadi dasar dari pemberian anggaran ini.

Pada titik tersebut, jika Pilpres 2019 diulang, maka beban anggaran penyelenggaraan Pemilu hampir bisa dipastikan akan membengkak. Jika saat ini anggarannya saja sudah mencapai Rp 15 triliun, maka angka ini bisa meningkat jika terjadi Pilpres ulang atau putaran kedua.

Yang juga menjadi pertanyaan – yang boleh jadi paling besar – adalah, jika interpretasi ala Otto yang akan dijadikan landasan hukum, apakah akan perubahan pada hasil Pemilu akan mengalami perubahan ketika Pilpres diulang atau dilaksanakan selama dua putaran?

Sulit untuk bisa memprediksi hasil Pilpres ketika terjadi pemungutan suara ulang atau putaran kedua. Akan tetapi, jika merujuk pada hasil hitung cepat sejauh ini, melihat kondisi yang diperlukan berdasarkan pesan berantai tersebut, kemungkinan perubahan hasil boleh jadi tak terlalu mudah diwujudkan.

Hal ini terjadi karena kemenangan besar yang menyisakan suara kurang dari 20 persen bagi masing-masing kubu terjadi di daerah yang secara tradisional merupakan kandang bagi kandidat-kandidat yang berlaga.

Pemilu ulang mungkin saja bisa mengubah hasil, tapi perlu kerja keras untuk mengubah perilaku pemilih Share on X

Sebagai ilustrasi, berdasarkan hasil hitung cepat, Jokowi-Ma’ruf saat ini mendapatkan suara di bawah dari 20 persen di Aceh dan Sumatera Barat. Kedua provinsi ini memang tergolong tak pernah kepada Jokowi dan lebih dianggap sebagai basis suara bagi Prabowo.

Hal serupa berlaku kepada Prabowo. Merujuk pada hasil hitung cepat, Prabowo tertinggal hingga di bawah 20 persen di Bali, yang kadung menjadi basis suara bagi Jokowi.

Memang, tidak ada yang tidak mungkin, tetapi menggoyangkan basis suara dari kandidat lain bukanlah hal yang mudah. Perlu kerja ekstra keras bagi masing-masing kandidat jika Pilpres 2019 akhirnya benar-benar diulang agar perjalanan Pemilu tak berlarut-larut.

Meski tergolong sulit, perubahan hasil sebenarnya masih mungkin terjadi. Dalam kadar tertentu, wacana Pilpres 2019 diulang ini sebenarnya dapat disetarakan dengan pemilihan selama dua putaran karena pemilihan lanjutan tidak dilakukan karena terjadi kecurangan atau cacat dalam proses, tetapi dalam hal keterwakilan suara.

Dalam jurnal yang ditulis oleh Andre Blais dan kawan-kawan, memang ada kondisi khusus ketika sebuah Pemilu dijalankan selama dua putaran. Menurut mereka, pada Pemilu yang berlangsung dua putaran terjadi strategic voting di mana pemilih memasukkan unsur preferensi mereka dan juga kemungkinan kandidat untuk menang.

Pada titik ini, kemungkinan perubahan hasil suara bisa saja terjadi jika terjadi perubahan perilaku memilih berdasarkan hal tersebut. Sebagaimana disebut di atas, preferensi pemilih di masing-masing provinsi wilayah boleh jadi sulit digoyang karena telah menjadi basis suara. Meski begitu, ada unsur kemungkinan menang yang dapat mengubah perilaku pemilih.

Berdasarkan kondisi tersebut, jika pemilihan benar-benar diulang, maka kandidat yang mampu menunjukkan diri bahwa dirinya paling mungkin menang, masih memiliki peluang untuk mengubah pilihan masyarakat dan boleh jadi hasil dari Pilpres secara keseluruhan.

Pada akhirnya, perkara interpretasi hukum, boleh jadi akan menjadi ranah milik MK dan bukan milik pengguna media sosial. Di sisi lain, masyarakat memiliki andil jika Pilpres 2019 benar-benar diulang melalui strategic voting mereka. Jika ada kandidat yang mampu mengubah perilaku memilih, maka Pemilu ulang dapat menimbulkan lanskap baru pada Pilpres 2019. (H33)

Baca juga :  Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?
spot_imgspot_img

#Trending Article

Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Pemerintahan Prabowo disebut memiliki kabinet yang terlalu besar. Namun, Prabowo bisa jadi memiliki kunci kendali yakni konsep "panoptikon".

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Rahasia Kesaktian Cak Imin-Zulhas?

Dengarkan artikel ini: Audio ini dibuat menggunakan AI. Di tengah kompetisi untuk tetap eksis di blantika politik Indonesia, Zulkifli Hasan dan Muhaimin Iskandar tampak begitu kuat...

Prabowo, the Game-master President?

Di awal kepresidenannya, Prabowo aktif menggembleng Kabinet Merah Putih. Apakah Prabowo kini berperan sebagai the game-master president?

Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Sejumlah pihak berpandangan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto akan lebih proteksionis. Seberapa besar kemungkinannya kecurigaan itu terjadi? 

Koalisi Titan: Sentripetalisme Konsensus Demokrasi Prabowo

Prabowo Subianto resmi melantik 48 menteri yang akan mengisi Kabinet Merah Putih yang dipimpinnya.

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...