HomeHeadlinePilot Disandera, Lahirnya Prabowo 2.0? 

Pilot Disandera, Lahirnya Prabowo 2.0? 

Penyelamatan pilot Susi Air yang disandera KKB disebut akan menggunakan pendekatan persuasif. Namun, tak sedikit respons yang mendesak agar pendekatan keras dilakukan. Lalu, mengapa reaksi itu bisa mengemuka? Serta, jika operasi militer dilakukan, mungkinkah akan muncul sosok seperti Prabowo Subianto yang tenar berkat operasi pembebasan sandera serupa di tahun 1996 silam? 


PinterPolitik.com 

Aksi penyanderaan pilot Susi Air oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua akan diselesaikan dengan jalan “kekeluargaan”.  

Ya, kiranya memang demikian, persis seperti apa yang disiratkan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD yang menyebut pendekatan persuasif lebih dikedepankan pemerintah. 

Lebih lanjut, Mahfud menjelaskan keselamatan pilot bernama Philips Max Mehrtens asal Selandia Baru itu menjadi pertimbangan utama atas pilihan pendekatan pemerintah. 

Sebelumnya, Philips menjadi tawanan setelah pesawat yang diawakinya dibakar KKB di Kabupaten Nduga, Provinsi Papua Pegunungan pada 7 Februari lalu. 

Kemarin lusa, dirinya tampak dalam sebuah video sedang dikelilingi anggota KKB sambil menyampaikan sejumlah pesan. Selain menjadi jaminan politik atas tuntutan kemerdekaan Papua, Philips juga menyampaikan pesan KKB bahwa militer Indonesia harus angkat kaki dari bumi Cendrawasih. 

Dua pimpinan TNI-Polri wilayah Papua, yakni Pangdam XVII/Cenderawasih Mayjen TNI Muhammad Saleh Mustafa dan Kapolda Papua Irjen Pol. Mathius D Fakhiri mengonfirmasi dan berkomentar terkait beredarnya video itu. 

susi air dibakar kkb ed.

Mayjen Saleh menyebut pihaknya akan mencari keberadaan Philips semaksimal mungkin. Sementara itu, Irjen Mathius menyinggung soal negosiasi sebagai jalan terbaik yang dapat dilakukan. 

Sempat menampik jika pilot Susi Air disandera, Panglima TNI Laksamana Yudo Margono belum memberikan keterangan lanjutan hingga tulisan ini dibuat, termasuk mengenai seperti apa rencana hingga peran militer dalam upaya pembebasan Philips. 

Kembali ke pernyataan Mahfud MD untuk mengedepankan upaya persuasif, itu seolah kurang memuaskan publik tanah air. 

Paling tidak, kecenderungan tersebut dapat diamati dari respons dan komentar warganet di pemberitaan terkait pernyataan Mahfud untuk membebaskan Philips. 

Romansa keberhasilan Operasi Pembebasan Sandera Mapenduma tahun 1996 pimpinan Danjen Kopassus saat itu, Prabowo Subianto, menjadi salah satu justifikasi jamaknya ketidakpuasan netizen

Hal inilah yang memantik pertanyaan tersendiri. Selain faktor kemungkinan berkaca dari permasalahan alot, riwayat kekejaman KKB, dan tendensi nasionalisme, mengapa pendekatan keras atau militeristik seolah lebih “difavoritkan”? Mungkinkah pemerintah pada akhirnya merubah pendekatan ke arah yang lebih keras terkait penyanderaan Philips? 

Baca juga :  Prabowo dan Prelude Gerindra Empire?

Persuasif Memang Keliru? 

Jawaban pertama dari lebih disukainya pendekatan keras terhadap KKB kiranya tak lepas dari hakikat manusia sebagai makhluk konfliktuis atau homo conflictus. Secara definisi, itu berarti manusia secara alamiah selalu terlibat dalam perbedaan, pertentangan, hingga persaingan, baik secara sukarela maupun terpaksa. 

Sementara dalam pendekatan sosiologi konflik positivis, “keributan” dan atmosfer konfliktual kerap menjadi jalan keluar yang memberikan dampak baik bagi solidaritas masyarakat. 

saatnya prabowo jadi james bond ed.

Terdapat tiga argumentasi yang melandasi pendekatan tersebut. Pertama, situasi konflik akan meningkatkan kohesi internal dari kelompok-kelompok terkait. Kedua, keberadaan konflik mampu menciptakan asosiasi-asosiasi dan koalisi-koalisi baru. Terakhir, keseimbangan akan terbangun di antara kekuatan antar kelompok yang terlibat akibat adanya konflik. 

Selain hakikat “menyukai keributan” sebagaimana adagium populer di media sosial, pendekatan keras terhadap KKB kiranya lebih disukai akibat eksistensi memori kolektif sebagian masyarakat Indonesia. 

Dalam buku berjudul On Collective Memory, filsuf berkebangsaan Prancis Maurice Halbwach menjelaskan memori atau ingatan kolektif sebagai model konstruksi sosial seputar integrasi pemahaman individu terhadap suatu persoalan di masa lalu. 

Maurice mengatakan, itu tertanam di dalam pemahaman kolektif masyarakat sebagai sebuah kelompok, misalnya dalam bentuk berbagai monumen, cerita-cerita, serta pengalaman dalam melalui sebuah masa/peristiwa. 

Ingatan itu lantas memiliki signifikansi penting sebagai representasi sahih dari aspek psikologi publik ketika dikemukakan banyak orang dalam sebuah diskursus, persis seperti yang dikatakan filsuf Prancis lainnya Henri Bergson dalam publikasi berjudul The obituary as collective memory karya Bridget Fowler. 

Dalam konteks penyanderaan Philips oleh KKB, memori kolektif atas pendekatan keras berupa operasi militer untuk menyelesaikan persoalan serupa kiranya kembali mengemuka. 

Tercatat, pemerintah dan militer Indonesia di masa lalu beberapa kali sukses melakukan operasi untuk membebaskan sandera. Selain Operasi Mapenduma pimpinan Prabowo, terdapat kesuksesan Operasi Woyla untuk membebaskan sandera pesawat Garuda Indonesia Penerbangan 206 pada tahun 1981 di Bangkok, Thailand. 

Tak hanya itu, ada pula operasi pembebasan awak kapal MV Sinar Kudus di tahun 2011 saat TNI menerjunkan pasukan terbaiknya. Dalam peristiwa itu, empat perompak tewas dan semua sandera berhasil dibebaskan. 

Preseden Operasi Mapenduma sendiri menjadi yang paling relate dengan ketidakpuasan pendekatan persuasif pemerintah kali ini. Padahal, Prabowo yang memimpin operasi kala itu sedang menjabat sebagai Menteri Pertahanan (Menhan). 

Baca juga :  Tak Ada Megawati, Hanya Jokowi

Dengan probabilitas mendapatkan dukungan publik jika mengubah pendekatan lebih keras berdasarkan analisis di atas, akankah pemerintah pada akhirnya berubah pikiran? Jika pada akhirnya berubah, mungkinkah “the next Prabowo” akan lahir pasca operasi pembebasan Philips oleh KKB kali ini? 

Pembuktian Pemerintah? 

Langkah konkret yang ditempuh untuk menyelamatkan Philips agaknya akan menjadi pertaruhan pemerintah. Tentu, para pemangku kebijakan termasuk TNI-Polri kini tengah berjuang dan berpacu dengan waktu untuk menyelamatkan sang pilot. Baik yang telah diungkapkan ke publik seperti “pendekatan persuasif”, maupun pendekatan bawah tanah para aktor dan instrumen pertahanan dan keamanan. 

Akan tetapi, upaya persuasif yang telanjur diungkapkan kemudian menimbulkan pertanyaan tersendiri, yakni apakah itu dilakukan murni demi kemaslahatan semua pihak (keselamatan pilot, aspek HAM, dll), atau karena hal lain? 

Selama ini, konteks keamanan serta konflik di Papua akibat ulah KKB kerap mendapat tantangan berupa analisis minor dari sejumlah pengamat. 

Berlarutnya konflik yang kian lama tampak semakin rumit membuat narasi pembiaran pemerintah muncul dan dipertanyakan. 

Dalam publikasi di Lowy Institute yang berjudul West Papua: The Issue That Won’t Go Away for Melanesia, Johnny Blades menyebut “kelestarian” konflik di Papua seolah tak dapat dilepaskan dari kombinasi faktor masifnya eksplorasi sumber daya alam (SDA), aktualisasi kecemburuan sosial-politik masyarakat asli Papua, hingga bermuara pada menggiurkannya perputaran kontrak keamanan di sana. 

Padahal, jika bisa dituntaskan secara heroik dengan pendekatan lebih keras – baik pemberantasan KKB secara umum maupun kasus spesifik, yakni pembebasan pilot Susi Air – impresi positif terhadap aktor terkait seperti Presiden Joko Widodo (Jokowi), Mahfud MD, Prabowo, dan para elite TNI-Polri bukan tidak mungkin akan diraih. 

Lebih jauh, jika merevisi pendekatan persuasif dan sukses mengeksekusi “Operasi Mapenduma jilid 2”, aktor-aktor heroik TNI-Polri itu pun bukan tidak mungkin akan mengemuka dan diperhitungkan di kancah politik dan pemerintahan di masa yang akan datang, persis seperti Prabowo. 

Memang, aspek HAM tampaknya menjadi variabel yang membuat pemerintah begitu hati-hati merespons gejolak sporadis KKB terhadap keamanan di Papua. 

Akan tetapi, aksi cepat dan tepat tetap dinantikan dalam kasus penyanderaan Philips oleh KKB. Tak hanya bagi keselamatan si tawanan semata, tetapi juga bagi reputasi keseriusan pemerintah Indonesia terhadap penciptaan stabilitas di Papua. (J61) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?