Penangkapan 45 mahasiswa dan aktivis Komite Nasional Papua Barat (KNPB) beberapa hari lalu, menjadi warna lain situasi di Papua di tahun politik ini. Pertarungan kepentingan bisnis PT Freeport dan strategi pemenangan Pilkada menjadi persinggungan besar di balik kampanye referendum di belakangnya.
PinterPolitik.com
“Tanah Papua tanah yang kaya, surga kecil jatuh ke bumi. Seluas tanah sebanyak madu adalah harta harapan”.
– Lagu ‘Aku Papua’ karya Edo Kondologit –
[dropcap]D[/dropcap]i balik eksotisme wilayah dan kekayaan alamnya, masalah Papua memang selalu kompleks. Setidaknya itulah yang tergambar dalam situasi dua pekan terakhir, di wilayah paling timur Indonesia tersebut.
Setelah proses negosiasi divestasi saham dan perpanjangan kontrak PT Freeport belum juga menemui titik akhir hingga April 2018 ini, aksi kontak senjata yang melibatkan TNI dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) – sayap militer Organisasi Papua Merdeka (OPM) – kembali menyeruak ke permukaan.
Pada 1 April lalu, terjadi aksi baku tembak antara TNI dan TPNB di Tembagapura – kelompok yang oleh militer Indonesia disebut sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Dalam aksi tersebut, 2 anggota KKB tewas, sementara satu korban tewas lainnya adalah anggota TNI. Adapun puluhan lainnya mengalami luka-luka.
Until independent journalists are allowed in #WestPapua, there will be unsubstantiated reports and allegations rather than factual reporting and political accountability for human rights violations that occur on a daily basis…
Thanks @heldavidson https://t.co/cvzBrcdL9r— Ronny Kareni (@ronnykareni) April 8, 2018
Tiga hari setelahnya, pada 4 April aksi pengejaran TNI terhadap KKB juga melibatkan baku tembak dengan 1 anggota KKB tewas dan 2 lainnya terluka.
Menariknya, dua kejadian ini terjadi dalam minggu ketika pemerintah melalui BUMN PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) sedang melakukan pembicaraan dan negosiasi pembelian participating interest (PI) 40 persen saham milik Rio Tinto – perusahaan Australia-Inggris yang menjadi partner Freeport di Papua – atas tambang Grasberg.
Sementara itu, di hari yang sama dengan aksi pengejaran KKB oleh TNI, aparat kepolisian menangkap 45 orang mahasiswa Universitas Cendrawasih Jayapura dan anggota Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Penangkapan itu disebut-sebut terkait wacana adanya deklarasi Panitia Persiapan Kemerdekaan Republik Papua Barat yang akan dilaksanakan pada 5 April 2018.
Menariknya lagi, pemberitaan tentang kasus ini menyita perhatian media-media internasional. The Guardian yang berbasis di Inggris misalnya, menyoroti hal ini dan menyebut penangkapan mahasiswa tersebut berkaitan dengan aksi baku tembak yang terjadi di Tembagapura.
Terlepas dari pemberitaan-pemberitaan tersebut, situasi ini semakin menarik karena gelaran Pilkada 2018 juga akan melibatkan Provinsi Papua, serta 7 kabupaten di daerah tersebut. Tentu pertanyaan besarnya adalah apakah ada hubungannya?
Isu Merdeka di Pilkada
Bukan kebetulan jika gelaran Pilkada 2018 juga menjadi bumbu-bumbu situasi politik di Papua. Pares L. Wenda dalam tulisannya di SuaraPapua.com menyebut kemerdekaan Papua dalam satu dekade terakhir, justru dijadikan sebagai isu untuk meraih basis pemilih dalam Pilkada.
Pares yang mempunyai nama marga sama dengan chairman United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) – organisasi yang memperjuangkan kemerdekaan Papua – Benny Wenda ini, menyebut ada hubungan yang sangat jelas terlihat antara Pilkada dengan gerakan Papua merdeka.
Ia menyebut gubernur dan bupati-bupati yang berkuasa saat ini awalnya menggunakan isu kemerdekaan Papua untuk meraih pemilih. Isu tersebut kemudian dilupakan setelah mereka berkuasa. Pares bahkan menyebut Gubernur Papua saat ini, Lukas Enembe, sebagai salah satu contohnya.
Akibatnya, banyak generasi muda, termasuk KNPB – umumnya beranggotakan mahasiswa – yang menyuarakan gerakan untuk tidak memilih pada Pilkada 2018 dan Pemilu (Pileg dan Pilpres) 2019. KNPB memandang Pilkada sebagai produk politik pemerintah Indonesia. Ketimbang memperjuangkannya lewat tokoh, mereka menganggap sosialisasi referendum jauh lebih tepat sasaran untuk cita-cita kemerdekaan Papua.
Hal inilah yang membuat dalam beberapa bulan terakhir, KNPB terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait referendum Papua. Pada Februari lalu misalnya, sosialisasi tersebut dilakukan di daerah Pelabuhan Pomako, Kabupaten Mimika, tempat emas dan tembaga dikeruk oleh Freeport – pemilihan tempat yang juga menimbulkan tanda tanya terkait hubungan ekonomi-politiknya. KNPB sendiri menjadi salah satu organisasi yang giat berkampanye untuk kemerdekaan Papua, utamanya lewat cara-cara damai.
Jika berkaca ke belakang, kembali menyeruaknya isu referendum ini tentu bukan tanpa alasan. Pasalnya, pada September 2017 lalu, kelompok perjuangan kemerdekaan Papua melalui ULMWP disebut-sebut “menyelundupkan” petisi rahasia ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yakni ke Komite Dekolonisasi PBB yang dijuluki ‘C24’. Petisi tersebut “diselundupkan” karena C24 menyebut tidak ada pembicaran khusus dengan perwakilan dari ULMWP – saat itu Benny Wenda – yang menyerahkan petisi tersebut.
Petisi yang berisi pernyataan pro kemerdekaan Papua Barat dan ditandatangani oleh 1,8 juta penduduk atau 70 persen dari penduduk Papua Barat itu, kemudian ditolak oleh C24. Alasannya karena C24 hanya mengurusi 17 negara yang belum memiliki pemerintahan berdaulat, sementara Indonesia adalah negara berdaulat.
Adapun Benny Wenda, saat ini tengah mengasingkan diri di Inggris. Apakah ada hubungannya melihat pemberitaan tentang Papua gencar dilakukan oleh media asal Inggris, salah satunya The Guardian? Tidak ada yang tahu pasti.
Yang jelas, dengan melihat gambaran besar hubungan antara isu referendum, penembakan kelompok bersenjata, divestasi saham Freeport, dan Pilkada, jelas ada kompleksitas yang luar biasa besar dalam masalah ini. Apalagi masalah-masalah tersebut terjadi dalam satu pekan yang bersamaan. Selain Provinsi Papua, Kabupaten Mimika tempat Freeport beroperasi juga akan menyelenggarakan Pilkada di tahun ini.
Masalah tersebut akan bertambah semakin kompleks, jika melihat kebijakan pemerintah pusat yang menganggarkan anggaran otonomi khusus untuk Papua pada tahun 2018 dengan jumlah mencapai Rp 8 triliun. Namun, dana tersebut dianggap tidak efektif digunakan apalagi jika berkaca dari kasus kekurangan gizi yang terjadi di Asmat beberapa waktu lalu. Ini menunjukkan bahwa birokrasi pemerintah lokal sendiri masih membuat dana-dana tersebut tidak tepat sasaran, bahkan mungkin juga dikorupsi.
Politik atau Bisnis?
Laporan dari Global Witness pada tahun 2005 memang menyebut persoalan tentang Freeport menjadi akar hampir semua masalah yang ada di Papua. Freeport disebut-sebut awalnya “menggunakan” TNI dengan tujuan agar operasinya di Papua mendapatkan pengamanan, utamanya dari gerakan separatis.
Lobi-lobi internasional juga menempatkan negara-negara macam Amerika Serikat – negara asal Freeport – serta Australia dan Inggris, mempunyai kepentingan yang besar dalam persoalan ini. Negara-negara ini bahkan disebut “bermain dua kaki” – punya kepentingan dalam represi terhadap pemberontak, namun juga punya kepentingan untuk mendukung kemerdekaan.
Pada titik ini, kepentingan bisnis Freeport sangat jelas terlihat dalam hampir semua situasi politik di Papua. Dalam konteks nasional, pemerintah merasa Freeport mengambil bagian yang sangat besar dari aktivitas pertambangan di Papua, sementara dalam konteks lokal, masyarakat Papua tidak menikmati hasil yang sepadan dari pengerukan kekayaan alam tanah mereka.
Di sisi lain, Pilkada yang ada di depan mata juga tidak bisa dianggap enteng dampaknya bagi masyarakat Papua. Pada titik ini, ada benturan politik dan bisnis yang sangat besar terasa di Papua.
Persoalan ini bertambah parah dengan basis ideologis-filosofis gerakan kemerdekaan yang nyatanya memang semakin kuat di Papua. Jangan heran jika organisasi anak-anak muda macam KNPB, kini semakin punya posisi dan mampu melakukan kampanye-kampanye damai memperjuangkan kemerdekaan Papua.
Kampanye tersebut tentu saja sangat efektif karena meletakan arti perjuangan kemerdekaan ke dalam masyarakat Papua. Jika sudah demikian, maka persoalan di Papua akan semakin sulit untuk diselesaikan sampai kapan pun.
Selain itu, isu lepasnya Papua juga akan menjadi bagian dari kampanye politik di Pilpres 2019. Dalam segala pesimisme yang dimilikinya, Prabowo Subianto sangat mungkin benar ketika berbicara tentang Indonesia yang runtuh di 2030. Beberapa pihak menyebut jika tak mampu menjaga Papua, maka beberapa daerah akan sangat mungkin ikut lepas dari Indonesia.
Jika dikemas dengan baik, isu Papua akan menjadi serangan kampanye yang efektif untuk melawan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mungkinkah?
Yang jelas, seperti penggalan syair lagu karya Edo Kondologit di awal tulisan ini, Papua memang surga kecil yang jatuh ke bumi. (S13)