HomeNalar PolitikPilkada Langsung Tidak Efektif?

Pilkada Langsung Tidak Efektif?

Kapolri Tito Karnavian mengusulkan pelaksanaan Pilkada langsung dievaluasi kembali, untuk dinilai efektivitasnya. Mengapa Kapolri bisa berkata begitu?


PinterPolitik.com

“Pemilihan umum memang perlu dilihat sebagai upacara merayakan tekad tapi juga kerendahan hati: ‘sebuah Indonesia yang lebih baik’. Selamanya akan jadi sebuah janji–tapi yang selamanya layak jadi ikhtiar.” ~ Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir 7

[dropcap]P[/dropcap]emilihan umum sejatinya memang dirayakan sebagai sebuah pesta demokrasi, karena pada saat itulah masyarakat menentukan sendiri pemimpin wilayahnya. Namun layaknya sebuah pesta, biaya yang dikeluarkan daerah atau negara pun tidak sedikit. Sehingga tak jarang, banyak yang mempertanyakan efektivitasnya.

Salah satu yang kembali mempertanyakan efektivitas Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung, adalah Kepala Kepolisian RI (Kapolri) Tito Karnavian. Di penghujung tahun lalu, Tito mengusulkan agar sistem demokrasi yang menyangkut pemilihan kepala daerah dievaluasi kembali karena membutuhkan ongkos yang mahal.

Ia mencontohkan, untuk menjadi seorang kepala daerah sekelas bupati, seseorang membutuhkan dana sedikitnya Rp 30-40 miliar. Bahkan untuk menjadi gubernur, bisa mencapai Rp. 100 miliar. Itu belum ditambah dengan membangun jaringan di wilayah pemilihannya yang membutuhkan waktu satu hingga dua tahun.

Besarnya biaya yang dibutuhkan, menurut Tito, menjadi benih dari tindakan korupsi. Sebab gaji seorang bupati ataupun gubernur, belum tentu mampu menutupi pengeluaran yang dikeluarkan. Sehingga tak mengherankan bila banyak pejabat daerah yang terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Beberapa bulan sebelumnya, usulan yang sama juga sempat dilontarkan Ketua MPR Zulkifi Hasan terkait banyaknya kepala daerah yang terjaring OTT. Menurutnya, buruknya proses Pilkada membuat banyak kepala daerah yang bermain curang. Sehingga, ia meminta UU Pilkada, baik mengenai peraturan dan tata caranya, dikaji kembali.

Di sisi lain, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo juga mengatakan kalau penyelenggaraan Pilkada Serentak memang boros anggaran. Padahal awalnya, penyelenggaraannya bertujuan untuk dapat lebih menekan biaya. Sehingga Mendagri juga berharap ada upaya untuk lebih mengefisiensikan pelaksanaan Pilkada.

Wujud Demokrasi Indonesia

“Sebanyak 74 persen responden masih menginginkan pemimpin di daerahnya dipilih langsung. Bisa dikatakan mayoritas.” ~ Direktur Riset Charta Politika, Yunarto Widjaja

Gonjang-ganjing perlu tidaknya penyelenggaraan Pilkada langsung, sebenarnya sudah pernah bergulir di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Bahkan di penghujung akhir masa jabatannya, DPR dan SBY sepakat mengesahkan UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada).

Akibatnya, mekanisme Pilkada pun mengalami perubahan. Bila sebelumnya dilakukan secara langsung, menjadi tidak langsung, yaitu pemilihannya dikembalikan melalui DPRD. Keputusan ini tentu saja mendapat reaksi negatif dari berbagai kalangan, mulai dari akademisi, praktisi, hingga masyarakat umum.

Baca juga :  Kejatuhan Golkar di Era Bahlil?

Atas desakan dan kritik yang begitu masif terhadap keputusan tersebut, SBY pun akhirnya mengeluarkan Perpu Nomor 1 Tahun 2015 yang pada intinya mencabut UU Pilkada yang baru disahkannya itu, sekaligus mengembalikan mekanisme Pilkada menjadi secara langsung seperti sebelumnya.

Bila dilihat dari mekanismenya, Pilkada langsung merupakan wujud dimulainya demokrasi yang bersih di Indonesia. Melalui sistem ini, diharapkan muncul komitmen dan tanggung jawab semua pihak, agar berjalan jujur, adil, dan demokratis. Saat pilihan ada di tangan rakyat, tentu akan lahir sosok pemimpin yang memiliki tekad memajukan daerahnya.

Namun perlu diakui, sistem pemilihan langsung ini membutuhkan proses panjang dan anggaran yang tak sedikit. Di sinilah titik lemah yang harus diperbaiki pemerintah, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri dan lembaga Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mencari mekanisme penyelenggaraan Pilkada langsung yang lebih efektif dan efisien.

Maraknya politik uang, juga menjadi salah satu kelemahan mekanisme Pilkada langsung saat ini. Persyaratan calon kandidat yang cukup sulit dari KPU, membutuhkan banyak biaya untuk melengkapinya, terutama bagi calon independen. Posisi partai politik sebagai kendaraan politik, juga memunculkan celah adanya mahar politik yang dikeluhkan Tito.

Pilkada Murah dan Bersih, Mungkinkah?

“Sebab yang berteriak memajukan dan memuja-muja para calon wakil itu, di zaman kapitalisme ini ialah fulus, uang.” ~ Tan Malaka

Pernyataan akan perlunya evaluasi mengenai efektivitas Pilkada langsung, sangat wajar digulirkan kembali. Mengingat, mahalnya harga pelaksanaan pesta demokrasi ini tak hanya dirasakan oleh pemerintah daerah dan pusat saja, tapi juga bagi para calon kepala daerah yang akan bertarung nantinya.

Berdasarkan hasil kajian Pusat Pembangunan dan Keuangan daerah, Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendagri, memperlihatkan bahwa Pilkada secara serentak tidak menjamin adanya efisiensi anggaran seperti yang diharapkan. Menurut Komisioner KPU Divisi Perencanaan Keuangan dan Logistik, Pramono Ubaid Tanthiwi, mahalnya biaya Pilkada tak lepas dari kalkulasi KPU.

Begitu juga dengan kajian Kemendagri, selama ini penyumbang persentase biaya terbesar Pilkada adalah honorarium. Besarnya kelompok kerja dan struktur di dalamnya, menyebabkan anggaran honorarium ikut membengkak. Di beberapa wilayah, biaya ini besarannya bisa mencapai 30 hingga 45 persen dari keseluruhan anggaran Pilkada.

Besarnya biaya Pilkada juga, diperkirakan karena selama ini KPU menyusun anggaran dengan skenario lima hingga enam pasangan calon. Sementara fakta di lapangan, pasangan Pilkada pada 2015 dan 2017 hanya diikuti dua hingga empat pasangan saja. Selain itu, KPU juga menanggung biaya kampanye pasangan calon kepala daerah, dari mulai alat peraga kampanye, debat kandidat, hingga iklan di media cetak dan elektronik.

Baca juga :  Belah PDIP, Anies Tersandera Sendiri?

Pembengkakan biaya ini, menurut Staf Ahli Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), Shadiq Pasadiqoe memang disayangkan. Apalagi, menurutnya, sisa anggaran KPU kerap dihabiskan percuma akibat KPU belum diawasi secara maksimal, terutama dari segi penyelenggaraan dan keuangannya.

Atas alasan itu pula, Kemendagri mengusulkan agar penyelenggaraan Pilkada disokong penuh oleh APBN, bukan dengan APBD seperti yang saat ini berlaku lewat UU No 10 Tahun 2016. Sehingga penyelenggaraannya lebih mudah dikontrol dan diawasi. Selain itu, KPU juga tidak kehilangan independensinya dengan melobi DPRD demi anggaran Pilkada.

Efisiensi dalam penyelenggaraan dan anggaran biaya, juga disetujui oleh Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz, ia menilai politik uang di Pilkada cenderung lebih banyak dibanding Pemilihan Presiden maupun Pemilihan Legislatif.

Menurutnya, politik uang jadi semakin marak terjadi akibat pembiayaan kampanye yang dilakukan KPU, sehingga dana yang dimiliki calon atau partai politik (parpol) menjadi tidak terpakai. Padahal selama ini, parpol kerap menarik mahar politik bagi calon yang diusungnya. Akibatnya, walaupun KPU sudah menyediakan penyelenggaraan kampanye dan sosialisasi kandidat, mereka tetap harus mengeluarkan dana yang tak sedikit.

Terutama pada Pilkada Serentak 2018 ini, diperkirakan akan menjadi ajang bagi parpol untuk mengumpulkan dana sebagai modal untuk bertarung di Pilpres 2019 nanti. Pada akhirnya, partai hanya mencari kandidat dengan finansial kuat semata – baik secara donatur maupun dengan mengeruk dana APBD untuk biaya pencalonannya.

Oleh karena itu, untuk mencapai Pilkada yang efisien dan bersih, mau tak mau kehadiran Kepolisian dan KPK memang sangat diperlukan untuk mencegah dan mengawasi pelaksanaannya. Karena bagaimana pun, politik uang dan transaksional akan mereduksi tujuan utama dari gelaran pesta demokrasi bagi masyarakat ini.

Diharapkan pula, adanya evaluasi penyelenggaraan di Pilkada yang lalu serta penyelenggaraan Pilkada 2018 nanti, akan mampu memberikan solusi jitu bagaimana penyelenggaraan Pilkada langsung yang lebih efisien dan bersih. Baik dari segi anggaran, maupun dalam penerapan aturan politik uang hingga mahar politik yang hingga kini penindakannya masih belum optimal. Semoga saja. (R24)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Informasi Bias, Pilpres Membosankan

Jelang kampanye, pernyataan-pernyataan yang dilontarkan oposisi cenderung kurang bervarisi. Benarkah oposisi kekurangan bahan serangan? PinterPolitik.com Jelang dimulainya masa kampanye Pemilihan Presiden 2019 yang akan dimulai tanggal...

Galang Avengers, Jokowi Lawan Thanos

Di pertemuan World Economic Forum, Jokowi mengibaratkan krisis global layaknya serangan Thanos di film Avengers: Infinity Wars. Mampukah ASEAN menjadi Avengers? PinterPolitik.com Pidato Presiden Joko Widodo...

Jokowi Rebut Millenial Influencer

Besarnya jumlah pemilih millenial di Pilpres 2019, diantisipasi Jokowi tak hanya melalui citra pemimpin muda, tapi juga pendekatan ke tokoh-tokoh muda berpengaruh. PinterPolitik.com Lawatan Presiden Joko...