Site icon PinterPolitik.com

Pilkada, Isu SARA Tak Bertaring

Pilkada, Isu SARA Tak Bertaring

Istimewa

Jelang Pilkada Serentak yang berlangsung Rabu (27/6), Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko memperingatkan agar tidak memancing kericuhan melalui isu SARA. Masihkah isu SARA memiliki taring?


PinterPolitik.com

“Kita harus berhenti bersikap individualis dan mulai berpikir mengenai apa yang terbaik bagi masyarakat.” ~ Hillary Clinton

[dropcap]A[/dropcap]pa yang dikatakan oleh mantan ibu negara Amerika Serikat di atas, sejatinya masih relevan untuk terus didengungkan hingga sekarang. Terutama memasuki masa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak yang berlangsung di 171 wilayah di Indonesia pada Rabu, 27 Juni.

Petuah untuk memikirkan kebaikan bagi masyarakat, juga sebenarnya yang ingin disampaikan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Namun anjuran itu, ia iringi dengan ancaman bagi oknum-oknum yang ingin meraih kemenangan dengan cara kurang baik, misalnya dengan memainkan isu Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan (SARA).

Permainan isu SARA, sebenarnya sudah sering sekali digunakan disetiap momen kontestasi politik, baik di Pilkada maupun Pemilihan Presiden (Pilpres). Namun isu itu baru benar-benar terlihat “taringnya” saat Pilkada Serentak 2017 berlangsung, khususnya pada Pilkada di DKI Jakarta.

Sehingga sangat wajar apabila Pemerintah masih terlihat sedikit trauma dengan kemungkinan munculnya kericuhan yang sama, akibat pihak-pihak tertentu yang berupaya mendapatkan kemenangan dengan cara-cara licik tersebut. Apalagi upaya ke arah itu, sempat terlihat di beberapa wilayah.

Meski begitu, ketakutan Moeldoko akan permainan isu SARA yang dapat mengganggu stabilitas negara, dibantah oleh mantan Ketua PP Muhammadyah Buya Syafii Maarif. Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) ini, yakin kalau isu SARA sudah tidak akan mampu mengusik Pilkada tahun ini. Apa yang membuat salah satu “Pendekar Chicago” ini begitu yakin?

Beda Wilayah, Beda Karakteristik

“Masyarakat bukan semata penjumlahan individu, tapi sistem yang dibentuk oleh hubungan antar-mereka yang mewakili realitas spesifik dengan karakteristik tersendiri.” ~ Emile Durkheim

Bagi Sosiolog Prancis yang juga merupakan salah satu pencetus cabang ilmu Sosiologi Modern, David Émile Durkheim, masyarakat yang telah hidup bersama dalam waktu yang relatif lama, umumnya memiliki kebudayaan bersama di mana setiap anggotanya – secara tak sadar – memiliki rasa keterikatan satu sama lain.

Dalam bukunya, The Elementary Forms of Religion Life, Durkheim menjelaskan kalau kebudayaan itulah yang membuat setiap wilayah memiliki karakteristik berbeda. Ada yang membentuk solidaritas mekanik (mechanical solidarity) melalui keterikatan agama, ada pula masyarakat solidaritas organik (organic solidarity) dengan rasio sekularitas tinggi.

Adanya perbedaan karakteristik, menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, juga membuat setiap daerah punya potensi kerawanan berbeda dan tidak hanya dipicu melalui isu SARA semata. Ini bisa dilihat dari lima daerah rawan konflik, di mana tak seluruhnya konflik yang terjadi dipicu isu SARA.

Diantara Papua, Sulawesi Selatan (Sulsel), Jawa Timur (Jatim), Kalimantan Barat (Kalbar), dan Sumatera Utara (Sumut), hanya Kalbar dan Sumut saja yang memiliki kerawanan tinggi terhadap isu SARA, terutama konflik antara kelompok mayoritas dan minoritas yang sebelumnya mencari pemicu konflik di Pilkada DKI Jakarta lalu.

Meski begitu, awalnya, banyak pula yang memprediksi permainan isu SARA juga akan terjadi di Jatim dan juga Jawa Barat (Jabar), mengingat masyarakat di kedua wilayah tersebut mayoritasnya sangat agamis. Upaya ini sendiri, terbukti sempat digulirkan oleh politikus dari partai tertentu yang ingin meraup kemenangan instan.

Namun seperti yang diyakini Durkheim, masyarakat dengan kebudayaan tradisional yang terikat dengan agama yang kuat, umumnya akan lebih sulit digoyangkan dengan isu SARA. Berbeda dengan masyarakat perkotaan yang karakteristik penduduknya lebih heterogen, sekularis, dan individualis, sehingga mudah “diancam” dengan isu-isu SARA.

Ketika Isu SARA Tak Lagi Bertaring

“Kasih sayang dan toleransi adalah kartu identitas orang Islam.” ~ KH. Ahmad Dahlan

Sebagai agama mayoritas di tanah air, sudah sepantasnya lah kasih sayang dan toleransi menjadi pegangan bagi kaum Muslimin. Indonesia sendiri, di mata dunia telah dikenal dengan negara yang mampu menciptakan keharmonisan meski memiliki 714 suku dengan agama dan kepercayaan yang berbeda-beda.

Fakta ini pernah disampaikan sendiri oleh Prof. Greg Barton, Guru Besar Bidang Islam, Politik, dan Modernitas dari Monash University, Australia. Menurutnya, masyarakat Indonesia sebenarnya tidak mendukung kekerasan dan cenderung lebih mendukung gagasan-gagasan yang lebih moderat.

Hanya saja, belakangan memang ada kelompok-kelompok Islam ekstrim yang muncul akibat cara pandang kurang tepat dalam penerapan demokrasi. Kelompok yang kerap menggunakan agama sebagai pembenaran tindakannya ini, pada akhirnya menjadi kelompok yang ikut dimanfaatkan oleh para politikus dalam meraih kekuasaan.

Melalui kelompok ini, isu SARA dimainkan guna membentuk opini dan dukungan publik. Kondisi ini, menurut Masdar Hilmy dalam bukunya Mengelola Politik Identitas, para aktor politik sengaja mengeksploitasi dan mengonversikannya menjadi suara elektoral (electoral vote), dengan membenturkan kelompok mayoritas dan minoritas.

Direktur Tindak Pidana Tertentu Mabes Polri Brigjen (Pol) Fadil Imran, mengakui kalau identitas sosial sangat mudah dimanfaatkan dalam politik. Ia yakin, SARA digunakan karena rasionalitas seseorang memiliki keterbatasan, sehingga ketika persoalan agama dipermasalahkan, maka cenderung akan cepat dipercaya.

Strategi politik yang menggunakan identitas ini, lanjut Fadil, tidak hanya terjadi di tanah air tapi juga di negara Eropa, Amerika, dan Asia lainnya. Isu ini memang akan selalu dihembuskan ketika mendekati kontestasi politik, baik Pilkada maupun Pilpres. Begitu juga di Jakarta, isu SARA bahkan telah dimainkan sejak era Sutiyoso dan Fauzi Bowo.

Hanya saja apa yang terjadi di Pilkada DKI lalu, dipicu oleh keresahan masyarakat yang telah ada sebelum isu SARA digulirkan. Masalah ekonomi, penggusuran, dan etika Ahok, membuat isu SARA menjadi alasan untuk meneriakkan protes. Padahal sebelumnya, elektabilitas dan kepuasan kinerja Ahok sangat tinggi di mata warga Jakarta.

Berkaca dari kenyataan tersebut di atas, maka sebenarnya ada tidaknya isu SARA di Pilkada Serentak tahun ini, tidak akan mampu memicu kericuhan yang sama besarnya dengan Pilkada DKI lalu. Kecuali bila ada faktor-faktor pemicu dari pribadi kandidat itu sendiri, seperti berbagai permasalahan yang membelit Ahok.

Kenyataan ini terbukti dari bagaimana masyarakat tidak terlalu bereaksi, ketika ada isu calon yang ‘main’ dukun di Jabar maupun fatwa Fardhu Ain di Jatim. Sehingga apa yang dikatakan oleh Buya Syafii sebelumnya, kalau isu SARA tidak akan lagi mampu mengusik masyarakat di Pilkada tahun ini, secara logika dapat dibuktikan kebenarannya.

Walau begitu, bukan berarti kekhawatiran Moeldoko menjadi tidak berarti. Sebab bagaimana pun juga, kewaspadaan sangat diperlukan. Belajar dari pengalaman di Pilkada DKI lalu, sikap kehati-hatian baik dari para calon yang akan bertarung maupun masyarakat sendiri, sangat diperlukan dalam menghadapi pesta demokrasi yang telah dinanti-nantikan ini. (R24)

Exit mobile version