Site icon PinterPolitik.com

Pilkada dan Pil KB Lagi?

Ganjar dan Soedirman Said (sumber: istimewa)

Tak perlu kaget melihat politisi tiba-tiba berbalik badan kepada rakyat kecil, saat memasuki pilkada. Bisa saja permainan “Pilkada dan Pil KB” sedang dilancarkan.


PinterPolitik.com 

[dropcap]S[/dropcap]ayangnya, istilah yang dikemukakan ini bukan merujuk pada sebuah alat kontrasepsi, melainkan istilah yang menggambarkan karakter politisi. Jika Pilkada menggambarkan kebiasan politisi yang suka menebar janji kepada rakyat untuk memilihnya, lantas lupa ketika sudah menjadi pemimpin. Berbeda dengan Pil KB yang bila lupa meminum sebelum berhubungan, malah menghasilkan keturunan.

Nah, fenomena ini sangat mudah ditemui pada masa pemilihan kepala daerah di tahun 2018. Di antara fenomena yang ada, polemik cantrang merupakan salah satu permasalahan yang ikut digasak oleh calon kepala daerah untuk memoles citra dan meraup suara dari masyarakat pemilihnya.

Cantrang atau jala, merupakan alat penangkap ikan yang biasa digunakan para nelayan. Cantrang dianggap berbahaya karena jarak jaringnya sangat rapat, sehingga ikan-ikan yang masih kecil dan masih bisa tumbuh, ikut terjaring. Pemakaian jaring jenis ini, sangat mengancam ekosistem dan siklus biota laut, sebab ikan akan cepat habis ditangkapi. Bila tidak ada regenerasi, di masa datang dampaknya tentu akan merugikan nelayan sendiri.

Ironisnya, cantrang ini menjadi alat penangkap ikan yang paling banyak digunakan oleh para nelayan Indonesia. Jawa Tengah, sebagai daerah dengan populasi nelayan terbesar setelah Jawa Timur, juga didominasi oleh nelayan pengguna cantrang.

Meski begitu, pemerintah tetap menerbitkan aturan yang melarang penggunaan cantrang, melalui Inpres Nomor 7/2016. Keluarnya aturan ini, tentu langsung dikeluhkan para nelayan. Wajar, sebab tanpa menggunakan cantrang penghasilan nelayan akan menurun drastis. Apalagi rata-rata cantrang yang mereka miliki, masih harus dicicil karena belum lunas. Belum lagi pemasukan yang menurun akibat tidak bisa melaut.

Walau pemerintah telah menunda pemberlakuan larangan cantrang tanpa batas waktu, namun isu ini tentu sangat empuk untuk dijadikan ‘dagangan’ oleh para calon gubernur yang akan berlaga di Pilkada Serentak mendatang. Salah satu yang melakukannya adalah Gubernur Jateng yang juga pertahana dari Partai PDI Perjuangan, serta rivalnya, Sudirman Said dari Gerindra.

Berebut Suara Nelayan

Ganjar Pranowo yang sebelumnya tak pernah kelihatan batang hidungnya saat para petani Kendheng dan Rembang berdemonstrasi memperjuangkan nasib wilayahnya, terkait pembangunan Pabrik Semen, kini terlihat aktif bersuara terkait nasib nelayan cantrang di Jawa Tengah.

Ganjar secara khusus menyampaikan rasa terima kasihnya kepada Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, karena telah mengizinkan penggunaan cantrang sebagai alat penangkap ikan. Ia bahkan menambahkan bila dirinya akan selalu berada di belakang kepentingan para nelayan. “Saya sampaikan terima kasih dan saya akan membantu yang penting nelayan bisa makan,” begitu ucapnya.

Seperti yang diketahui bersama, polemik cantrang sudah berlangsung selama tiga tahun terakhir. Persoalan yang sudah bergulir lebih dari 30 tahun ini, tak kunjung mendapatkan solusinya. Padahal Aliansi Nelayan Indonesia (ANI) berkali-kali melayangkan protes kepada Menteri Susi. Keputusan perpanjangan izin pemakaian cantrang inilah yang kemudian direspon oleh beberapa politisi.

Tak hanya Ganjar, calon gubernur lain, yakni Sudirman Said juga tak mau kalah berkomentar seputar nelayan dan cantrang. Melalui twitter-nya, mantan menteri ESDM mengatakan kalau masyarakat sudah sepatutnya berterima kasih kepada petani dan nelayan yang telah memenuhi kebutuhan hidup orang banyak. Tak lupa, Sudirman juga menambahkan kalau kehidupan nelayan di Jawa Tengah masih sangat memprihatinkan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), dari total populasi sebesar 33 juta lebih jiwa, per 16 Januari 2017, penduduk miskin di Jateng masih mencapai 4,5 juta jiwa. Dengan keadaan tersebut, tentu saja isu mengenai kesejahteraan akan terus menjadi tema kampanye yang menarik.

Ramai-Ramai Raup Suara Rakyat

Aksi Ganjar dan Sudirman yang lantang membela nelayan agar bisa terus menggunakan cantrang, sebenarnya juga tidak membantu melepaskan mereka dari jeratan hutang pada pengusaha cantrang atau meringankan pinjaman uang yang membelit para nelayan. Bisa dibilang, pernyataan mereka hanyalah strategi untuk menggaet suara di Pilkada semata. Dapat dikatakan, keduanya sebenarnya tengah mengobarkan semangat populisme politik.

Secara definitif, populisme adalah posisi politik yang menempatkan ‘rakyat kebanyakan’ dan ‘elit yang korup’ dalam posisi antagonistik, serta melihat politik sebagai ekspresi dari keinginan rakyat kebanyakan. Cara termudah untuk mendeteksi ‘permainan’ populisme politik adalah dari retorika anti kemapanan atau upaya untuk mewakili ekspresi kelompok termarjinalkan.

Ciri-ciri lainnya, bisa dilihat dari adanya otoritas pemimpin tersebut. Misalnya dari bagaimana ia menggunakan karisma, figur personal, maupun pesan yang bersifat “apokaliptik”. Misalnya, kerap menyatakan “negara sedang bangkrut” atau “adanya ancaman dari luar”. Terakhir, bisa juga dicirikan dengan kuatnya perasaan in-group dan melalui sentimen ‘kita vs mereka’.

Berdasarkan ciri-ciri tersebut, apa yang dilakukan Ganjar dan Sudirman adalah populisme politik yang menggunakan strategi pendekatan anti kemapanan, alias berusaha mewakili ekspresi kelompok yang termarjinalkan. Dalam hal ini, kelompok yang termarjinalkan tersebut adalah masyarakat nelayan.

Padahal sebelumnya, baik Sudirman maupun Ganjar, tak pernah sekalipun memberikan perhatian maupun peduli terhadap nasib para nelayan atau petani. Ganjar yang sudah beberapa kali didatangi oleh para Petani Kendheng dan Rembang misalnya, bahkan tak pernah mau menemui mereka saat mengadakan demo di depan kantor gubernur.

petani kendheng (sumber: Tribun)

Sekalinya berkomentar, ia malah mengalihkannya kepada keberadaan nama-nama “ultraman” dan “superman” dalam daftar nama-nama penolak PT. Semen Indonesia (SI). Sementara Sudirman yang sebelumnya menjadi penguasa di Kementerian ESDM, tak pernah bersuara apapun mengenai keberadaan masyarakat miskin di Jateng.

Respon mengenai cantrang, tentu mengandung niatan politis di dalamnya sebab penggunaan cantrang dibatasi hanya untuk di daerah Jawa Tengah, yakni Batang, Regal, Rembang, Pati, Juwana, dan Lamongan. Semua wilayah tersebut berada di kawasan Pantai utara (Pantura) Jawa Tengah.

Pengamat politik dari Universitas Jenderal Soedirman, Ahmad Sabiq, mengamini bahwa polemik cantrang sangat rentan dipolitisasi. Terlebih, Indonesia kini memang memasuki tahun politik di mana Pilkada Serentak akan berlangsung, begitu pula dengan Pilpres pada 2019. Ibarat petani, lanjut Sabiq, nelayan adalah lumbung pemilih yang diincar untuk didulang suaranya.

Pernyataan Sabiq, jika dihubungkan dengan data dari BPS, memperlihatkan kalau suara nelayan sangat signifikan. Sebab jumlah nelayan di Jawa Tengah mencapai lebih dari 203 ribu jiwa. Jumlah ini sebenarnya ‘hanya’ mewakili sekitar 0,7 persen suara dari total pemilih, yaitu 26 juta jiwa, berdasarkan daftar pemilih tetap 2014.

Walau kecil, namun suara nelayan Jateng terkait kebijakan cantrang ini sangat potensial dan berpengaruh, karena mempresentasikan suara langsung dari kalangan masyarakat bawah. Menurut Sabiq, pengaruhnya pun tak hanya sebatas di Jateng saja, tetapi juga akan memberi ekses pada nelayan di seluruh Indonesia.

Nah, di sinilah perlunya kembali pada pegangan kepada penjelasan soal praktik politik populisme. Seperti halnya perbedaan antara Pilkada dan Pil KB, politisi yang bertarung di Pilkada umumnya hanya akan mengumbar janji di awal-awal kampanyenya dan melupakan janji tersebut setelah berhasil menjadi penguasa.

Jokowi dan Prabowo (sumber: Kompas)

Narasi populisme memang sulit untuk dilepaskan dari politik Indonesia. Jangankan Ganjar dan Sudirman, bahkan dua politisi yang beradu untuk merebut posisi sebagai presiden RI tahun 2014 lalu saja, juga meniupkan populisme walau dengan tensi yang berbeda.

Dengan demikian, sebaiknya kita tak perlu kaget bila melihat banyak politisi yang belakangan ini menunjukkan kepeduliannya terhadap suatu kelompok masyarakat tertentu. Tapi bila mereka pada akhirnya terpilih, jangan kaget pula bila janji-janji itu hanya menjadi “cita-cita tanpa hasil” semata. Terutama bagi  masyarakat yang termajinalkan, seperti para nelayan cantrang tersebut. (Berbagai Sumber/ A27)

Exit mobile version