Sebuah Kisah Satire
pinterpolitik.com
[dropcap size=big]P[/dropcap]ak Mamat berlari-lari kecil menuju apotek. Cuaca sedang gerimis di sore itu, makanya ia harus cepat-cepat. Pil apa yah yang tadi dipesan istriku. Ia bertanya-tanya dalam hati, mencoba untuk mengingat pesan istrinya tadi. Ah, ya, aku ingat. Obat batuk, lalu obat demam, salep eksem, dan yang terakhir itu pil yang sering didiskusikan anakku Ari dan Andi di meja makan bukan ya? Apa ya namanya?
Persiapan Pemilihan 2017, KPU gelar Rapat Pimpinan dgn KPU prov. @juriardiantoro @ferryfkr @HadarNG @hsym_asyari @mas_abudiman @arifhakim66 pic.twitter.com/nTiK4fjScH
— KPU RI (@KPU_ID) February 1, 2017
Langkahnya terus diayun sambil terus coba mengingat pesanan isterinya.
Ah, kenapa tidak kutulis saja tadi. Ia menyesali keputusannya buru-buru berangkat. Sepuluh langkah kemudian, ia tertegun lagi. Ah, kenapa pula aku lupa bawa payung, sekarang kan gerimis. Dasar si bapak pelupa.
Tapi karena sudah setengah jalan dan gerimisnya pun tidak deras, ia putuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan. Mungkin karena letak apotek yang dekat, hanya sekitar seratus meter di ujung gang, ia pun tidak berpikir untuk menulis daftar obat-obat tersebut sebelumnya, juga tidak berpikir untuk membawa payung.
Akhirnya Pak Mamat pun sampai di apotek tersebut. Seorang perempuan muda penjaga apotek itu tersenyum melihat si bapak yang menerobos gerimis.
“Sore bapak, ada yang bisa saya bantu?”tanya perempuan itu dengan sopan.
“Ah, ya. Saya mau beli obat Mbak. Obat batuk yang biasa, obat demam, salep eksem, sama satu lagi saya lupa,” untuk sesaat pak Mamat tertegun. “Ah ya, Pilkada, ada nggak Mbak?” lanjutnya. Sepertinya ingatannya telah kembali.
Suasana tiba-tiba berubah aneh. Perempuan muda itu tersenyum setengah tertawa.
“Kenapa Mbak? Ada yang lucu?” tanya Pak Mamat penasaran.
“Bapak, tidak ada obat yang namanya Pilkada pak. Pilkada itu Pemilihan Kepala Daerah, pak. Mungkin yang bapak maksud itu Pil KB?” tanya perempuan itu.
“Ah, itu dia Mbak. Baru ingat saya. Maklum lah, faktor ‘U’. Umur dan ujan,” jawab Pak Mamat sambil tersipu malu. Duh Gusti, malu aku, katanya dalam hati.
Setelah membayar semua obat-obat itu, Pak Mamat pun tersenyum keki, hendak cepat-cepat pergi.
Pilkada atau Pil KB: Lelucon Politik
“Bapak tau nggak, apa perbedaan Pilkada dengan Pil KB?”
Ah, si Mbak malah nanya lagi. Pak Mamat menggelengkan kepala, antara tidak paham dan ingin cepat-cepat pergi.
“Pilkada, kalau jadi, lupa. Nah, Pil KB, kalau lupa, jadi”, kali ini perempuan muda itu benar-benar tertawa.
Pilih Pilkada atau Pil KB? pic.twitter.com/Fex1PEQDEy
— IG: @akmalmarhali (@akmalmarhali) December 9, 2015
Pak Mamat pun coba tersenyum, setelah menerima bungkusan obat, ia pun cepat-cepat berlalu. Bungkusan obat itu ia pandang sambil berjalan. Rasa malunya sudah hilang berganti penasaran.
Pilkada, kalau jadi, lupa. Pil KB, kalau lupa, jadi. Apa maksudnya?
Ah, ya, aku ingat. Itu lelucon yang dibicarakan kedua anaknya saat makan malam kemarin. Kalau Pilkada, pasangan calonnya mengumbar janji ini dan itu saat kampanye. Saat terpilih, eh janjinya dilupakan.
Nah, kalau Pil KB kan Keluarga Berencana. Kalau lupa diminum, jadi tambah anak. Pak Mamat tersenyum dalam hati mengingat itu.
Lucu juga ya. Banyak orang mungkin akan mengatakan bahwa dua hal ini tidak sedikit pun berhubungan, kalau pun ada, mungkin Pil KB itu menjadi bagian dari program kerja calon-calon kepala daerah untuk menekan laju pertumbuhan penduduk.
Pilkada Serentak Jilid II
Saat ini memang lagi musim pilkada serentak. Pak Mamat ingat berita yang ia tonton di TV tentang riuhnya suasana Pilkada di Jakarta.
Kampanyenya kayak konser. Ia juga ingat tanggal 15 Februari nanti akan diselenggarakan Pilkada secara serentak di 101 daerah di seluruh Indonesia. Adapun di daerah Pak Mamat, di kabupaten Semarang, belum ikut Pilkada tahun ini. Tidak heran, suasananya juga jadi sepi-sepi saja, bahkan sama dengan daerah lain yang ada pilkadanya. Yang ramai cuma di Jakarta.
Pembaca berita di TV berita itu juga bilang bahwa hal ini patut diwaspadai karena akan memperbesar terjadinya kecurangan di daerah lain di luar Jakarta. Pesta demokrasi – begitu istilah di koran-koran pagi yang Pak Mamat baca – menjadi tidak ramai dan semarak, serta berpotensi menimbulkan kecurangan.
Pembaca berita di TV itu juga bilang bahwa inilah Pilkada serentak kedua dari total tujuh gelombang Pilkada yang direncanakan antara tahun 2015 sampai tahun 2018. Pilkada serentak tahap pertama telah dilakukan pada Desember 2015 lalu.
Pak Mamat sebenarnya tidak terlalu paham soal-soal politik. Ia hanya lulus STM. Beruntung usaha mebelnya bisa menghidupi anak dan isterinya. Namun, ia ingat diskusi Ari dan Andi, kedua anaknya tentang politik. Kebetulan si Ari yang sulung saat ini sedang kuliah di Fakultas Sosial Politik, sementara Andi yang masih SMA juga sangat tertarik pada politik.
Melihat kedua anaknya berdiskusi dengan antusias tentang politik, Pak Mamat jadi ingat masa mudanya dulu yang tidak bisa sepenuhnya bebas berbicara politik. Penguasa saat itu sangat keras dalam hal-hal politik. Politik tidak lebih dari ketakutan. Ari dan Andi adalah gambaran anak muda sekarang yang begitu antusias berbicara politik.
Pilkada dan Politik Lip Service
“Para politisi kita sekarang jago ngibul, Ndi”, begitu diskusi Andi dan Ari dimulai malam itu.
“Iya, kak. Politisi kita banyak yang nggak sejalan antara janji sama yang dilakukan saat ia terpilih. Saat kampanye, mereka ngomongnya A,B,C,D. Pas udah terpilih, yang dilakukan E,F,G,H. Apaan yang kayak gitu, kak,” kata Andi menimpali abangnya.
Pak Mamat ingat bagaimana kedua anaknya itu begitu bersemangat berdiskusi. Ah, andaikan aku juga paham politik, pasti seru diskusinya. Ndak perlu malu-maluin beli Pilkada di apotek.
“Betul, Ndi. Itu yang namanya politik lip service. Alias politik wacana-wacana. Pas kampanye programnya kelihatan bagus banget. Ibarat nulis, hurufnya diukir-ukir. Saat sudah terpilih, janjinya malah dilupakan semua. Janjinya memperjuangkan kepentingan rakyat, eh pas sudah terpilih yang dipikirkan hanya kepentingan kelompok dan golongannya sendiri.
“Lihat para politisi kita di DPR. Ngerjain Rancangan Undang-Undang saja nggak beres-beres. Gajinya besar, tapi yang diributin mereka hanya soal jabatan, pendapatan, atau lobi-lobi kepentingan. Kacau lah negara ini. Makanya, kalau Pilkada nanti, masyarakat harus bisa menilai mana politisi yang hanya manis di mulut saja,” papar Ari.
Saat itu Pak Mamat terkagum-kagum. Gaya bicara anak-anaknya seperti pengamat-pengamat politik di TV-TV yang tajam dan pakai data-data, walau ia pernah dengar juga bahwa ada pengamat politik yang dibayar oleh politisi.
“Kalau dilihat-lihat, kak, sepertinya sudah banyak contoh kasus politik para politisi kita yang kamu bilang lip service itu. Katanya mau meningkatkan kesejahteraan rakyat, eh uangnya malah dikorupsi, dibagi-bagi sama kerabat-kerabatnya. Lihat itu kak politik dinasti di Banten, atau di Klaten.
“Ada juga politisi yang mau potong jari kalau lawannya bisa ngumpulin satu juta KTP, nyatanya jarinya masih buat ngitung di kalkulator, biasanya kalkulasi pemasukan kalau berhasil ngelolosin rancangan Undang-Undang tertentu, atau lobi-lobi tertentu. Ada yang mau potong anu-nya juga, terjun dari monas, dan lain-lain. Bahkan nih kak, dulu ada yang bilang kabinetnya mau ramping dan nggak banyak menteri. Eh, tau-taunya jumlah menterinya 34, sama dengan periode sebelumnya”, kata Andi dengan penuh semangat.
Kalau yang soal potong-potong itu Pak Mamat pernah lihat di TV beritanya. Ngeri juga ngebayangin orang-orang itu motong-motong badannya. Eh, ujung-ujungnya ternyata cuma ngomong doang.
Pilkada untuk Siapa?
“Betul, Ndi. Sebenarnya aku juga bingung dengan kondisi politik kita saat ini. Pilkada ini untuk siapa sebenarnya. Kita milih politisi, tapi ujung-ujungnya bukan kepentingan kita yang dibela mereka. Dosenku pernah bilang bahwa pemilihan umum atau apa pun sebutannya, sudah berlangsung sejak zaman dulu. Masyarakat di Yunani dan Romawi kuno sudah menjalani pemilihan pemimpin walaupun dalam model yang sangat sederhana saat itu.
“Ada satu tokoh yang namanya Cicero hidup di abad ke-1 sebelum Masehi. Dia ini seorang politisi, filsuf, orator, dan pengacara Romawi yang nulis konsep res publica atau republik – mengacu pada sistem pemerintahan yang digariskan oleh rakyat lewat mekanisme-mekanisme keterwakilan suara rakyat dalam pemilihan pemimpin. Orang hebat lah dia ini.
“Mbah Cicero ini pernah nulis dialog yang berjudul De Re Publica yang ditulisnya ada 6 seri antara tahun 54-51 SM. Si Cicero ini menggambarkan bagaimana masyarakat memberikan legitimasi atas suara mereka kepada para elit politik yang menurut mereka bisa dipercaya dan dianggap mampu memperjuangkan kepentingan mereka pada zaman itu.
“Cicero bilang res publica (urusan publik) adalah res populi (urusan rakyat). Walaupun begitu, res publica ini sesungguhnya tidak dijalankan secara sempurna. Res publica itu hanya tampak seperti kalau kita nonton film-film kolosal Romawi kuno. Kamu ingat film yang kakak bawa dulu, yang tentang gladiator-gladiator itu?” tanya Ari.
“Iya, kak. Aku ingat, cerita si jenderal Maximus kalau nggak salah,” jawab Andi.
“Betul, Ndi. Di film itu ada adegan orang-orang di Koloseum kan, yang meminta seorang Gladiator pemenang untuk memenggal kepala lawannya, atau juga sebaliknya membiarkannya tetap hidup. Apa yang diminta penonton, itulah yang dilakukan. Saat itu ada pribahasa yang bunyinya vox populi, vox Dei. ‘Suara rakyat adalah suara Tuhan’. Maka, mendengarkan suara rakyat dan kepentingan-kepentingannya adalah sama dengan mendengarkan perintah Tuhan.
“Sayangnya, kendali elit-elit politik masih terlalu kuat. Makanya pemilihan pemimpin menjadi nggak jelas. Hal ini juga terjadi sekarang, elit-elit politik juga masih menguasai. Jadi nggak heran suara-suara masyarakat belum jelas diperuntukan bagi siapa”, jelas Ari dengan panjang lebar.
Pak Mamat cuma bisa mengamati perbicangan anak-anaknya saat itu. Gila, ini ngomongnya udah sampe ke Cero-cero apa lagi tuh. Ia kagum dengan pengetahuan anak-anaknya tentang politik.
Janji-janji Satire Pilkada
“Iya kak, Pilkada jadinya cuma seperti kisah satire. Kebetulan aku baru belajar dari guru bahasa Indonesia tentang satirisme. Jadi bahan lelucon lah maksudnya, tapi bikin miris dan memprihatinkan. Itu seperti melihat sejarah satirisme dari zaman Horatius yang hidupnya juga sezaman dengan Cicero. Janji-janji saja para politisi kita ini, kayak lagunya Agnes Monica,” ujar Andi.
“Tau juga kamu, Ndi, soal satire. Mantap banget gurumu itu. Iya, setuju, sama kayak lagunya Agnes Monica”, kata Ari setengah tertawa.
Lucu-lucuan Pilkada
“Ini pada ngomongin politik atau artis, sih?” Pak Mamat ingat, ia sempat nyeletuk mendengar pemicaraan anak-anaknya saat itu.
“Politik lagu cinta, yah”, kata Ari, membuat seisi rumah pecah tertawa.
Pak Mamat tersenyum mengingat percakapan kedua anaknya malam itu.
Apa mereka sudah pada di rumah ya? Andi dan Ari biasanya baru pulang sore dari kampus dan sekolah mereka.
Tak terasa, ia sudah sampai di halaman rumah. Seratusan meter dari apotek dan gerimis sore ternyata cukup bisa dipakai untuk merenung, bahkan mungkin bisa ditulis dalam satu tulisan, kalau ada yang tertarik tentunya.
Ah, motor si Ari sudah ada, berarti mereka berdua sudah pulang. Tak sabar Pak Mamat ingin mendengar kedua anaknya berbicara tentang politik lagi. Ia jadi makin tertarik dengan Pilkada kali ini. Ia juga ingin mendengar tentang elit-elit yang mengambil keuntungan dari suara rakyat. Ia juga ingin mendengar tentang janji-janji para politisi yang berbeda dengan apa yang mereka lakukan. Ia ingin mendengar cerita-cerita satire lain tentang pilkada.
Dan tentu saja, ia ingin menceritakan kisah lucunya tentang Pil KB tadi di apotek. Ah, mereka pasti akan menertawakan aku. Ia senyum-senyum sendiri. Mamat, Mamat. Usia memang sudah tidak bisa berbohong. (S13)