Adanya evaluasi besar-besaran terkait Pemilihan Umum (Pemilu) langsung 2019 lalu memunculkan wacana akan diubahnya sistem Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun depan. Pilkada asimetris banyak disebut akan menjadi formulasi baru dari pemerintah untuk menjawab berbagai permasalahan pemilu. Akan tetapi, bagaimana sebenarnya sistem ini dapat berjalan?
PinterPolitik.com
Pernyataan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengenai evaluasi pilkada langsung tampaknya memicu perdebatan baru mengenai praktik demokrasi di Indonesia. Ibarat bola salju yang terus bergulir, pernyataan Mendagri tersebut memunculkan banyak tanggapan yang beragam dari banyak pihak.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia merespon hal tersebut dengan pernyataan bahwa memang sedang ada kajian terkait pelaksanaan Pilkada dengan sistem asimetris di Indonesia.
Kondisi diatas kembali memunculkan diskursus dalam praktik pemilihan umum (Pemilu) di Indonesia. Banyak pihak kembali berdebat mengenai sistem apa yang sebenarnya paling tepat dalam pemilu Indonesia.
Sebenarnya, sistem Pilkada ini sudah diterapkan di daerah-daerah khusus di Indonesia seperti DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Aceh dan Papua Barat. Akan tetapi, wacana Pilkada asimetris yang sekarang akan menyasar daerah-daerah yang memiliki praktik pilkada yang tidak efisien.
Selayaknya perdebatan pada tahun lalu, isu Pilkada asimetris ini tampaknya akan kembali menjadi isu yang sangat politis. Pasalnya, rezim pemilu merupakan aspek yang sarat akan kepentingan karena merupakan faktor vital dalam alokasi kekuasaan.
Lantas, apa efek dari wacana ini bagi kelangsungan demokrasi di Indonesia? Dan siapakah kelompok yang paling berkepentingan dalam kebijakan ini?
Pilkada Asimetris, Mungkinkah?
Pilkada asimetris merupakan sistem yang memungkinkan adanya perbedaan pelaksanaan mekanisme pilkada antar daerah. Perbedaan tersebut bisa muncul dikarenakan suatu daerah memiliki karakteristik tertentu seperti kekhususan dalam aspek administrasi, budaya ataupun aspek strategis lainnya.
Misalnya, seperti di DKI Jakarta yang wali kota dan bupati tidak dipilih melalui Pilkada. Hal tersebut dikarenakan status daerah tingkat II di DKI Jakarta bukanlah berstatus daerah otonom tetapi sebagai daerah pembantu. Kondisi ini membuat posisi wali kota dan bupati ditentukan oleh gubernur dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Wacana akan diterapkannya Pilkada asimetris secara luas di Indonesia menimbulkan pertanyaan mengenai urgensi dan kemungkinan dari kebijakan tersebut untuk diaplikasikan.
Dari berbagai pernyataan pemangku kepentingan, adanya evaluasi buruk dari diterapkannya pilkada langsung di daerah merupakan alasan kuat untuk menerapkan aturan ini. Selain itu, rezim pemilu di Indonesia saat ini menerapkan aturan yang sama antar daerah terkait penyelenggaraan pilkada.
Akan tetapi, wacana Pilkada asimetris tentu merupakan isu yang tidak akan mudah untuk diaplikasikan di Indonesia. Hal ini dikarenakan Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan harus mengedepankan prinsip semua subnasional memiliki status yang sama.
Selain itu, pemerintah juga harus merumuskan secara pasti indikator-indikator apa saja yang menjadi ukuran suatu daerah melaksanakan Pilkada langsung atau tidak. Bukan tidak mungkin, aturan ini akan memicu adanya konflik antara daerah dan tensi politik yang besar dari berbagai kalangan.
Kebijakan ini juga harus didukung dengan perubahan rezim pemilu di Indonesia. Faktanya, hingga saat ini aturan dan mekanisme dalam pemilu di Indonesia sangatlah elitis. Pemerintah pusat menjadi pihak yang paling otoritatif dalam menentukan setiap aspek dalam pemilu dan daerah seolah hanya mendapat dikte dari pusat.
Dilema Demokrasi
Adanya pemilu langsung di Indonesia merupakan perjuangan panjang yang dilakukan sejak pasca reformasi, hingga akhirnya hal tersebut dapat terwujud dalam pemilu pertama secara demokratis pada tahun 2004.
Sejak diadakannya pemilu 2004, indeks pembangunan demokrasi mengalami peningkatan yang signifikan. Pemilu secara langsung juga secara nyata berkontribusi pada munculnya pemimpin alternatif yang berhasil memajukan banyak daerah di Indonesia.
Akan tetapi, Pilkada langsung yang selama ini dijalankan di Indonesia juga masih menghadapi banyak permasalahan yang pelik. Banyaknya praktik politik uang, maraknya konflik horizontal serta tingginya pelanggaran dalam Pilkada merupakan tiga masalah utama yang belum dapat diselesaikan. Selain itu, pilkada yang selama ini dijalankan juga belum bisa meningkatkan kecerdasan politik masyarakat di daerah.
Pilkada asimetris mungkin merupakan salah satu jawaban yang bisa menjadi pemecahan permasalahan diatas. Hal ini didasarkan pada asumsi tidak mungkin adanya one size fits all di negara yang sangat majemuk dan plural seperti Indonesia.
Dalam melihat realitas pilkada di Indonesia tampaknya memang tidak cukup hanya dengan menggunakan pendekatan politik semata. Banyak variabel-variabel yang mungkin juga harus dipertimbangkan seperti aspek sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat.
Oleh karena itu, wacana ini kembali populer karena realitasnya Pilkada di beberapa daerah di Indonesia yang seharusnya menciptakan peluang menuju pembangunan demokrasi justru malah menciptakan permasalahan.
Guilermo O’Donnell dalam Human Development, Human Rights, and Democracy melihat salah satu instrumen penting dalam demokrasi ialah civil society atau masyarakat. Dalam sebuah iklim demokrasi masyarakat harus memiliki kapabilitas dan supremasi dalam menjalankan demokrasi. Aspek ini menjadi sangat krusial karena masyarakat lah yang menentukan arah pembangunan dan menetukan pemimpin.
Di tengah adanya perdebatan bahwa pilkada asimetris akan mereduksi nilai demokrasi dan mencederai kedaulatan rakyat, adanya pilkada asimetris juga bisa jadi merupakan bentuk intervensi politik yang diperlukan dalam penataan proses politik. Hal ini khususnya pada daerah-daerah yang memiliki rekam jejak pilkada yang buruk dan ketidakmampuan masyarakat untuk memuculkan pemerintahan daerah yang efektif dalam pembangunan.
Siapa Paling Diuntungkan?
Tidak diaturnya mengenai Pilkada harus dilakukan secara langsung dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 tampaknya menjadi celah. Dalam UUD 1945 hanya dijelaskan bahwa kepala daerah harus dipilih secara demokratis. Hal ini yang tampaknya selama ini memunculkan perdebatan panjang tentang isu ini.
Berdasarkan penelitian dan rekomendasi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Terdapat beberapa daerah yang mengalami kerawanan jika terus melakukan Pilkada langsung.
Penelitian LIPI tersebut didasarkan pada dua indikator yaitu indeks pembanguanan manusia dan kemampuan keuangan daerah. Asumsi yang muncul ialah daerah dengan tingkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan keuangan daerah yang rendah akan menghasilkan pilkada yang tidak efisien dan harus memiliki asistensi ekstra dari pusat.
Jika penentuan pilkada asimetris oleh pemerinahan akan didasarkan pada rekomendasi LIPI daerah-daerah seperti Maluku Utara (Malut), Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Tengah (Sulteng), Sulawesi Tenggara (Sultra), Gorontalo dan Papua bisa jadi akan melaksanakan pemilu melalui DPRD.
Muhadam Labolo dan Muhammad Afif Hamka dalam Reconsidering the Indirect Elections for the Head of Region, Response towards the Current Direct Democration Mechanism System in Indonesia memaparkan jika terjadi pilkada dilakukan melalui DPRD maka partai politik (parpol) merupakan aktor yang paling diuntungkan.
Pasalnya, mekanisme di atas akan secara signifikan meminimalisir ongkos parpol dalam pemilu. Selain itu, mekanisme ini juga akan menjadikan parpol sebagai aktor tunggal yang dapat menjadi agen politik serta penentu dalam penetuan kepala daerah.
Meski wacana tersebut tergolong baik, hal ini bisa saja menguntungkan keuntungan tersendiri bagi partai politik, terutama di daerah-daerah yang mengalami perubahan sistem. Sejauh ini partai-partai di DPR memang cenderung terbuka dengan sistem tersebut.
Melihat besarnya dukungan elite akan wacana Pilkada asimetris, bukan tidak mungkin wacana ini akan terealisasi pada pilkada tahun depan. Berkaca dari dibentuknya UU KPK ketika DPR dan pemerintah memiliki visi yang sama perundangan akan sangat cepat dan cenderung tidak dapat dihentikan.
Akan tetapi, yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah ialah terus melakukan evaluasi dan memperbaiki sistem pemilu yang telah ada. Bukan justru terus kembali bereksperimen yang bisa jadi mungkin akan mengalami ketidaksuksesan yang sama seperti sebelumnya.
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut