Beberapa waktu yang lalu, Bupati Jember menyebutkan hal mengejutkan bahwa untuk mendapatkan rekomendasi partai politik di Pilkada butuh dana miliaran rupiah. Menko Polhukam Mahfud MD juga baru-baru ini menegaskan hal serupa bahwa 92 persen calon kepala daerah didanai oleh cukong. Pertanyaannya, mengapa hal tersebut terjadi?
“Orang-orang yang tidak saling mempercayai akan segera mengakhiri kerja sama mereka” – Francis Fukuyama dalam Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity
Tanggal 10 Oktober 2019 tampaknya adalah momen emas yang melambungkan nama politisi PDIP Arteria Dahlan. Pada saat itu, di acara Mata Najwa Arteria terlibat perdebatan panas dengan dosen pascasarjana Universitas Indonesia (UI) Emil Salim soal Perppu KPK. Karena pernyataan-pernyataan kerasnya yang disebut tidak sopan, Arteria pun dihujani kritik oleh publik.
Dalam debat tersebut, Emil Salim memberikan pernyataan yang sangat relevan untuk direnungkan di tengah gelaran Pilkada saat ini. Untuk mengkritik Arteria, Emil Salim mengutip buku Edward Aspinall dan Ward Berenschot yang berjudul Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia untuk menyebutkan politik telah menjadi ajang transaksi layaknya perdagangan.
Pada 7 September kemarin, Bupati Jember, Faida menyampaikan hal menarik seputar gelaran Pilkada di Indonesia yang mengafirmasi pemaparan Emil Salim. Tegasnya, untuk mendapatkan rekomendasi partai politik untuk maju di Pilkada, dibutuhkan mahar politik sampai miliaran rupiah. Padahal, gaji pokok bupati rata-rata Rp 6 juta per bulan. Hal ini yang kemudian membuat Faida memilih maju melalui jalur independen.
Pada November 2019 lalu, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian juga menyampaikan hal yang sama, bahkan lebih gamblang. Tegasnya, biaya yang harus dikeluarkan untuk maju menjadi bupati mencapai Rp 30-50 miliar. Ini terpaut jauh dari gaji yang diperoleh selama lima tahun yang tidak lebih dari Rp 12 miliar.
Terbaru, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD memberi jawaban mengapa calon kepala daerah dapat tetap maju meskipun ongkos politik jauh melebihi gaji yang mereka dapatkan. Tegasnya, 92 persen calon kepala daerah yang bertarung di Pilkada dibiayai oleh pengusaha besar atau yang kerap disebut cukong.
Besarnya ongkos politik tersebut tidak hanya membuat korupsi uang menjadi rentan, melainkan juga membuat maraknya korupsi kebijakan karena harus melayani kepentingan cukong yang mendanai.
Kendati mengejutkan, pernyataan Faida, Tito ataupun Mahfud sebenarnya telah menjadi rahasia umum yang telah lama diketahui. Berbagai cara untuk mengatasinya seperti wacana penghapusan Pilkada Langsung ataupun partai politik dibiayai negara juga telah diajukan.
Namun, itu sebenarnya tidak menjawab akar masalah, yakni mengapa ongkos politik begitu mahal?
Jebakan Sosial dan Dilema Narapidana
Kerangka teori yang digunakan Tenaga Ahli Utama Kepala Staf Presiden (KSP) Donny Gahral Adian dalam disertasinya yang berjudul Rasionalitas Kerjasama: Kajian Filsafat terhadap Dilema Narapidana dalam Teori Permainan dapat membantu kita menjawab masalah tersebut secara radikal atau mendalam.
Dalam disertasinya, Donny menjelaskan dua konsep penting yang menjadi dasar dari sulitnya terbentuk trust atau kepercayaan di tengah masyarakat, yaitu Jebakan Sosial dan Dilema Narapidana.
Jebakan Sosial adalah konsep yang dirumuskan pertama kali oleh psikolog John Platt. Konsep ini menjadi jawaban mengapa konflik berkepanjangan dapat terjadi di tengah masyarakat. Dalam tesisnya, Jebakan Sosial menerangkan, jika kelompok pertama mengetahui kelompok kedua akan mengingkari janjinya, maka kelompok pertama tidak akan mengikuti kontrak atau perjanjian yang sudah dibuat. Begitu pula sebaliknya.
Masalahnya adalah, dalam realita sosial, tiap kelompok sering kali terjebak dalam assessment atau penilaian negatif, di mana kelompok lainnya dinilai akan mengingkari janji. Atas masalah ini, tiap kelompok mengalami kesulitan dalam membangun kepercayaan dan bekerja sama karena bayang-bayang dikhianati selalu menghantui.
Konsep penting kedua adalah Dilema Narapidana dalam Teori Permainan. Teori Permainan adalah teori pengambilan keputusan oleh interaksi dua individu atau lebih yang masing-masing mempromosikan kepentingan pribadinya sebagaimana didikte oleh fungsi utilitas (maksimalisasi utilitas).
Dilema Narapidana adalah salah satu dari Teori Permainan tersebut. Seperti namanya, konsep tersebut menerangkan perihal dua orang narapidana yang jika mampu bekerja sama dapat meringankan hukuman mereka. Berikut adalah pilihan yang diberikan pihak berwajib kepada narapidana tersebut.
(2)Jika kedua pihak bersaksi, maka masing-masing akan dikenai hukuman penjara 2 tahun.
(3)Jika kedua pihak tidak bersaksi, maka keduanya akan dihukum satu tahun.
Tentu mudah bagi kita untuk menjawab bahwa pilihan ketiga adalah yang terbaik bagi kedua belah pihak. Akan tetapi, masalahnya adalah, setiap narapidana tidak mengetahui bahwa narapidana lainnya juga diberikan pilihan tersebut. Artinya, masing-masing narapidana beranggapan bahwa hanya dirinya yang diberikan pilihan tersebut.
Mengacu pada prinsip utama Teori Permainan, yakni setiap pihak ingin memaksimalkan utilitas (keuntungan), kedua pihak akhirnya melakukan pilihan kedua, yang mana itu membuat hukuman 2 tahun diterima oleh keduanya. Masalah utama yang ditekankan dalam Dilema Narapidana adalah ketiadaan transparansi informasi atau informasi yang tidak lengkap.
Dilema Narapidana kemudian banyak digunakan untuk menganalisis situasi sosial yang lebih besar, bahkan sampai level interaksi antar negara.
Surplus Ketidakpercayaan?
Dalam situasi Pilkada, konsep Jebakan Sosial dan Dilema Narapidana tampaknya terjadi, bahkan terjadi secara bersamaan.
Pertama, terkait Jebakan Sosial, tampaknya masyarakat selaku kelompok pertama telah terjebak dalam penilaian negatif, yang mana politisi begitu dicurigai karena kerap dinilai mengobral janji.
Donny dalam acara Indonesia Lawyes Club (ILC) pada 5 Februari 2019 lalu juga telah menyinggung hal ini. Tuturnya, karena masyarakat Indonesia telah mengalami rezim yang begitu otoriter di bawah kepemimpinan Soeharto, itu membuat masyarakat mengalami trauma politik dan surplus kecurigaan terhadap kekuasaan.
Kedua, terkait Dilema Narapidana, karena tidak adanya transparansi yang dipertontonkan politisi, khususnya perihal penyerapan anggaran, alih-alih bekerja sama dengan pemerintahan, masyarakat kerap kali hanya mengambil kebijakan yang menguntungkan dirinya sendiri.
Pada konteks Pilkada, karena derasnya ketidakpercayaan yang terjadi, politisi yang maju di gelaran Pilkada begitu sulit untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat. Alhasil, uang dijadikan sebagai pemikat untuk menggantikan ketiadaan trust tersebut.
Sosiolog Jerman, Georg Simmel telah lama menerangkan hal tersebut, di mana uang disebut ekuivalen dengan nilai-nilai personal. Singkatnya, uang memiliki kapabilitas sebagai kompensasi emosi, yang dalam konteks ini adalah trust.
Akan tetapi, karena trust yang dihasilkan dari uang bersifat imitasi dan temporer, trust tersebut hanya bertahan ketika uang masih digenggam. Oleh karenanya, ini membuat praktik politisi yang mendulang trust menggunakan uang terus berulang di setiap gelaran Pilkada.
Sadar akan pentingnya trust, Francis Fukuyama dalam bukunya Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity bahkan menjadikan trust sebagai jantung pembahasan. Menurut Fukuyama, trust tidak hanya berguna untuk mengikat individu dalam ikatan sosial, melainkan juga memiliki signifikansi tersendiri dalam pertumbuhan ekonomi.
Di dalam masyarakat yang tumbuh di atas rasa saling curiga, biaya-biaya tambahan untuk melakukan produksi selalu dilakukan. Misalnya, dibutuhkan biaya untuk mengurus kontrak atau izin tertentu. Menurutnya, dalam masyarakat low-trust seperti itu, aktivitas sosial-ekonomi justru dibebani oleh biaya-biaya transaksi tambahan yang dapat dihilangkan. Terlebih lagi, biaya transaksi tambahan, tidak jarang berakhir pada tindakan koersif agar suatu perjanjian ekonomi dapat dilakukan.
Sedangkan dalam masyarakat high-trust, aktivitas ekonomi menjadi lebih efektif dan efisien. Kebijakan ekonomi negara misalnya, tidak lagi harus disibukkan dengan perdebatan-perdebatan politis yang melelahkan, melainkan langsung membahas persoalan teknis agar kebijakan terkait segera dieksekusi.
Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa mahalnya biaya Pilkada terjadi karena surplus ketidakpercayaan tampaknya telah mengakar di tengah masyarakat. Ini kemudian membuat masyarakat selaku kelompok pertama memiliki penilaian negatif kepada politisi, sehingga membuat politisi harus menggunakan uang sebagai biaya transaksi kerja sama.
Getirnya, tidak hanya masyarakat, politisi sebagai kelompok kedua juga terjebak dalam Jebakan Sosial karena mereka selalu memahami bahwa uang adalah cara praktis untuk mendulang massa. Seperti dalam pernyataan Mahfud MD, ini membuat politik uang menjadi tidak terelakkan di perhelatan Pilkada. Mengutip judul buku Aspinall dan Berenschot, ini tampaknya dapat kita sebut sebagai Trust for Sale.
Jika mahalnya biaya politik ini ingin diakhiri, trust di tengah masyarakat harus dibangun. Caranya adalah dengan mengedepankan transparansi agar masyarakat tidak selalu curiga terhadap kekuasaan. Mari kita nantikan apakah itu dapat terwujud atau tidak. (R53)