HomeNalar PolitikPilkada 2020, Momentum Kejatuhan PDIP?

Pilkada 2020, Momentum Kejatuhan PDIP?

PDIP terpaksa abstain pada beberapa arena di Pilkada serentak 2020 setelah rekomendasi dukungannya terhadap sejumlah bakal pasangan calon “bertepuk sebelah tangan”. Di beberapa daerah, PDIP sebagai partai penguasa nasional juga justru harus tergabung dalam koalisi “minoritas”. Lantas, mengapa hal ini bisa terjadi dan akankah ini berdampak lebih besar bagi PDIP ke depannya?


PinterPolitik.com

Istilah “bertepuk sebelah tangan”, yang dapat bermakna tidak mendapat sambutan positif, diabaikan, atau dinafikkan oleh pihak lain, memang meninggalkan kesan tak mengenakkan bagi siapapun yang mengalaminya.

Kesan itulah yang tampaknya saat ini sedang dirasakan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) saat rekomendasi dukungannya terhadap beberapa pasangan calon dalam Pilkada 2020 ditolak, dikembalikan, atau diabaikan.

Jika terjadi hanya pada satu kasus tentu bukan menjadi soal, karena akan dianggap sebagai dinamika politik biasa. Akan tetapi, fenomena tersebut terjadi hampir serempak di sejumlah wilayah dengan momentum yang bersamaan dengan pendaftaran bakal calon ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). PDIP pun akhirnya terpaksa tidak berpartisipasi atau abstain pada sejumlah Pilkada 2020 mendatang.

Kasus pertama terjadi pada kontestasi pemilihan Gubernur Sumatera Barat (Sumbar). Pasangan Mulyadi-Ali Mukhni yang diusung Demokrat dan Partai Amanat Nasional (PAN), awalnya juga mendapat dukungan langsung dari PDIP.

Bahkan dukungan tersebut disampaikan langsung oleh Ketua Bidang Pemerintahan, Pertahanan dan Keamanan PDIP, Puan Maharani. Akan tetapi, polemik yang dipicu oleh nama terakhir disinyalir membuat rekomendasi PDIP tersebut akhirnya dikembalikan dan membuat partai banteng tak berpartisipasi di Sumbar.

Sementara di Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumbar, petahana Irfendi Arbi yang merupakan kader PDIP gagal berlaga di Pilkada karena tidak didukung oleh satupun partai lainnya. Dua kursi di DPRD yang dimiliki PDIP jauh dari kata cukup untuk mengusung Irfendi dan turut membuat PDIP hanya akan jadi penonton di Pilkada Kabupaten yang terkenal dengan Lembah Harau itu.

Tak hanya di Sumbar, PDIP bahkan seperti dicampakkan di Kota Cilegon saat rekomendasi untuk memasangkan kadernya mendampingi calon dari Partai Berkarya, Helldy Agustian dihiraukan. Helldy memilih berkoalisi dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sekaligus menunjuk Sanuji sebagai wakilnya. PDIP pun absen di Cilegon.

Tak cukup sampai di situ, PDIP juga hanya menjadi minoritas di Kota Surabaya saat hanya didampingi oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) ketika mengusung Eri Cahyadi-Armuji. Mereka harus bertarung dengan Machfud-Mujiaman yang dibekingi koalisi delapan partai.

Meskipun tidak terjadi di seluruh wilayah kontestasi, kredibilitas PDIP tentu menjadi dipertanyakan mengingat seharusnya dukungan dari satu kursi partai politik (parpol) pun sangat berarti pada sebuah pesta demokrasi, terlebih yang berasal dari partai penguasa.

Lalu, mengapa tren penolakan rekomendasi PDIP di sejumlah wilayah tersebut bisa terjadi? Serta apakah hal ini merupakan gejala yang lebih buruk bagi partai besutan Megawati Soekarnoputri itu ke depannya?

Torehkan Sejarah Pahit?

Fenomena “terkucilkannya” PDIP tersebut tampaknya tidak dapat dilepaskan dari perhitungan konsekuensi dalam menghadapi persaingan elektoral Pilkada 2020 itu sendiri.

Baca juga :  The War of Java: Rambo vs Sambo?

Maxime Menuet dan Patrick Villieu dalam Why are Reforms Incomplete? Reputation Versus The “Need for Enemies” menyebut bahwa peluang memenangkan sebuah kontestasi pemilihan umum bergantung pada dua hal, yakni reputasi dan kebutuhan akan eksistensi “musuh”.

Jika reputasi terkait dengan faktor inheren, kebutuhan akan eksistensi musuh menjadi menarik karena dikatakan Menuet dan Villieu menjadi ihwal penting terkait citra positif terhadap konteks tertentu maupun impresi ketika dibandingkan dengan pihak lain.

Dan dalam mendefinisikan “musuh” dalam kontestasi politik, Thorsten Wojczewski dala‘Enemies of the people’: Populism and The Politics of (In)security menggunakan teori sekuritisasi dalam kerangka post-strukturalisme dalam membentuk identitas kolektif atas ketidaksepahaman dengan struktur atau gagasan yang ada.

Sekuritisasi pada konteks ini dikatakan Wojczewski dengan mengedepankan isu political security yang sedang berkembang di publik yang dianggap dapat dijadikan common enemy atau musuh bersama.

Ihwal seperti eksistensi politik yang korup, mencitrakan diri sebagai pihak paling demokratis dan sebagainya, dijadikan sebuah identitas kolektif dalam menentukan visi, citra, serta garis pembeda dengan rival.

Singkatnya, Wojczewski mengatakan jika para kandidat kontestasi politik dapat memanfaatkan isu political security dalam mendefinisikan common enemy demi keuntungan elektoral atau menghindari kerugian secara politik pada sisi berbeda.

Pada kontestasi Pilkada 2020 sendiri, isu political security yang dinilai sedang hangat mengemuka, termasuk di ranah publik, ialah terkait dengan dinasti politik. Dan sayangnya, tendensi minor tersebut sulit dilepaskan dari partai penguasa, PDIP.

Ekspos intensif pada isu dinasti politik – yakni pencalonan Gibran Rakabuming dan Bobby Nasution – turut membuat friksi dan gonjang ganjing internal PDIP dalam menyongsong Pilkada 2020 terkuak. Fenomena kader yang tergusur dan membelot ke partai lain seperti Akhyar Nasution di Medan dan Yusuf Widyatmoko di Banyuwangi jadi variabel yang memperkeruh citra krisis meritokrasi.

Kondisi kemudian diperburuk dengan pernyataan kontroversial dari Ketua DPP PDIP, Puan Maharani terkait isu Pancasila yang dinilai menjadi faktor terkuat partainya dikucilkan di Sumbar.

Getirnya, isu tersebut tampak turut memperparah preseden minor PDIP sebelumnya atas eratnya partai banteng atas wacana ekasila maupun trisila dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) beberapa waktu lalu yang jamak dianggap kontraproduktif.

Isu-isu political security terkait PDIP itu dinilai menjadi pemicu signifikan bagi beberapa kontestan Pilkada dalam mengeksploitasi preseden minor yang juga berkembang pada persepsi publik tersebut, yang kemudian membuat PDIP terdefinisikan sebagai common enemy.

Pengembalian rekomendasi di Sumbar, dihiraukannya dukungan di Cilegon, kandas di Kabupaten Lima Puluh Kota, serta menjadi koalisi minoritas di Surabaya dinilai mengejawantahkan tendensi PDIP sebagai common enemy di wilayah tertentu pada kontestasi politik daerah edisi 2020.

Kendatipun tidak terjadi serempak di seluruh wilayah, berbagai kesan minor yang terlihat dari apa yang dialami PDIP dalam menyongsong Pilkada 2020 seperti yang telah dijelaskan di atas dinilai bukanlah dinamika politik biasa.

Baca juga :  Pilkada 2024: Jokowi’s Next Battle?

Presumsi tersebut seirama dengan pernyataan Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno yang menyoroti kasus pengembalian rekomendasi PDIP sebagai pertanda tersendiri dalam kancah politik Indonesia. Dirinya mengatakan jika fenomena semacam itu baru pertama kali terjadi dalam sejarah Pilkada.

Lalu, implikasi seperti apa yang dapat terjadi atas tren kontraproduktif yang dialami PDIP yang notabene merupakan partai penguasa tersebut?

Tanda Keruntuhan PDIP?

Melakukan komparasi dengan pasang surut parpol lain dalam dinamika politik tanah air agaknya tepat dalam menganalisa implikasi apa yang kiranya terjadi pada PDIP atas tren minor seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Paska reformasi sendiri, hanya Partai Demokrat yang dinilai memiliki posisi serupa dengan PDIP saat ini, yakni sebagai partai penguasa dalam dua periode beruntun.

Dalam publikasinya yang berjudul The Decline of the Demokrats, Jacqui Baker menyoroti Partai Demokrat, yang pada periode kedua berkuasa justru dirundung sejumlah isu kurang positif seperti skandal rasuah yang kebetulan menjerat kader suksesor, kebimbangan regenerasi, hingga desas-desus keretakan faksi internal.

Elektabilitas partai bintang mersi kemudian menurun drastis dalam survei yang bahkan dilakukan sebelum periode terakhir berkuasa ditunaikan. Dan kemudian, hasil akhir pesta demokrasi tahun 2014 menjadi klimaks dari era berakhirnya dominasi Demokrat.

Meskipun tak sepenuhnya serupa, gejala awal tersingkapnya impresi negatif terhadap PDIP dalam menyongsong Pilkada 2020 menjadi pintu masuk dan variabel komparasi yang tampaknya relevan.

Isu regenerasi Megawati yang belum menemukan pengganti dengan kharisma sepadan menjadi diskursus utama. Selain itu terdapat pula isu korupsi yang dikatakan mencoreng kesucian Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu yang menjerat kader seperti Harun Masiku, Saeful Bahri, hingga dugaan keterlibatan Sekretaris Jenderal partai, Hasto Kristiyanto.

Keretakan internal partai dalam isu nasional dinilai menjadi salah satu gejala awal berakhirnya dominasi PDIP. Dua kritik Masinton Pasaribu terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) atas “berantakannya” penanganan pandemi serta terhadap Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly atas “dwifungsi Polri” tampak bukan pertanda biasa.

Serangkaian akumulasi yang semestinya wajib dicermati serius dan diperbaiki oleh PDIP jika tidak ingin benar-benar “tenggelam” di saat periode berkuasa masih empat tahun tersisa.

Akan tetapi, PDIP disebut telah terjebak simalakama dan cukup sulit untuk menemukan jalan keluar yang menyenangkan semua pihak. Pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin menyebut bahwa dalam Pilkada 2020, PDIP terjebak dilema dan buah simalakama atas eksistensi kekuatan lain yang tidak bisa dihindari yang menjegal kader terbaiknya.

Hasil akhir Pilkada 2020 secara makro di mana PDIP terlibat di dalamnya tentu akan menjadi penentu esensial bagi proyeksi lebih lanjut atas nasib partai banteng di sisa masa kekuasaannya. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)


Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Anies Di-summon PKS!

Ahmad Syaikhu in a battle against Dedi be like, “I summon Anies Baswedan!”  #Anies #AniesBaswedan #PilkadaJawaBarat #AhmadSyaikhu #IlhamHabibie #PKS #pinterpolitik #infografis #politikindonesia #beritapolitik #beritapolitikterkini

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

More Stories

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).